Oleh : Abu Fikri  (Aktivis Gerakan Revivalis Indonesia)
 arrisalah13.blogspot.com – Menarik mencermati apa yang disampaikan oleh Wakapolri Oegroseno menanggapi beberapa penembakan polisi yang diduga berkaitan dengan terorisme. Termasuk juga sikap yang seharusnya dimiliki oleh aparat maupun Densus 88 terhadap beberapa penembakan polisi. “Makanya sekarang kita harus ekstra hati-hati, kita tidak berani untuk terlalu menggiring pagi-pagi bahwa ini adalah teroris, ini adalah bukan teroris, dan sebagainya. Ini tidak bisa kita ungkapkan, karena sekarang terungkap nanti setelah ketemu pelakunya, motifnya apa,” kata Oegroseno di Mabes Polri, Jakarta, Senin (19/8/2013).

Pernyataan Oegroseno ini selaras dengan apa yang disampaikan oleh IPW (Indonesian Policy Watch). “Kasus teror terhadap polisi ini menjadi peristiwa yang sangat memprihatinkan. Namun begitu IPW menganalisa kasusnya tidak terkait aksi para teroris yang dikenal selama ini,” ujar Ketua Presidium IPW Neta S Pane di Jakarta, Sabtu (17/8). IPW mencatat angka polisi yang tewas saat bertugas terus meningkat. Di tahun 2012 ada 29 polisi tewas dan 14 lainnya luka-luka. Sebagian besar petugas yang tewas  adalah polisi jajaran bawah akibat dibunuh pelaku kriminal. Angka ini mengalami kenaikan jika dibanding tahun 2011, dimana jumlah polisi tewas saat bertugas hanya 20 orang.
Sementara dalam tiga bulan terakhir sudah enam kali terjadi aksi kekerasan. Empat polisi ditembak, satu kasus polisi dirampok saat sedang tugas dan satu lagi rumah polisi ditembak.
Apa yang disampaikan oleh Wakapolri berbeda dengan keterangan Mabes Polri sebelumnya melalui Karo Penmasnya Boy Rafly Amar. Hal itu disampaikan menanggapi beberapa penembakan terhadap polisi dalam 3 pekan lebih terakhir. Walaupun sebelumnya juga sudah disampaikan melalui berbagai temuan IPW bahwa tidak ada kaitan penembakan-penembakan itu dengan terorisme. Tetapi terkait dengan kriminal.
Boy mengatakan adanya indikasi keterkaitan pelaku penembakan tersebut dengan jaringan teroris. “Bisa jadi kaitan dengan kelompok berbeda tapi dengan misi teror, memberi efek rasa tidak aman. Yang jelas, ini perbuatan yang masuk tindak extraordinary crime [kejahatan luar biasa], yakni terorisme,” ujarnya, Minggu (18/8/2013). Adapun mengenai keterkaitannya bahwa pelaku merupakan sisa-sisa teroris yang mendapatkan pelatihan di Poso, Sulawesi Tengah, Boy tidak menampiknya.
Apa yang disampaikan oleh Boy senada dengan yang disampaikan oleh pengamat terorisme, Al Chaidar, yang menyatakan bahwa pelaku penembakan terhadap polisi di Pondok Aren, Tangerang Selatan, pekan lalu, adalah teroris. Menurutnya, hal itu berdasarkan jenis kaliber peluru yang digunakan pelaku. “Pelaku menggunakan jenis peluru berkaliber 9,9 milimeter. Peluru itu biasanya menggunakan pistol jenis FN,” kata Al Chaidar, kepada Kompas.com, Selasa (20/8/2013). Selain pistol jenis FN, menurutnya, ada sejumlah senjata yang biasa digunakan para teroris dalam setiap aksinya, seperti AK 47 dan AK 49. Al Chaidar mengatakan, senjata jenis itu relatif fleksibel dan mudah untuk di bawa ke mana saja. 
Statement Al Chaidar juga selaras dengan yang disampaikan Kadiv Humas Polri Irjen Pol Ronny Franky Sompie dan anggota Komisi Kepolisian Nasional, Adrianus Meliala. Menurut Ronny, setiap tindakan teror yang ditujukan kepada petugas apa pun bentuknya dilakukan oleh kelompok teroris. Namun, sampai saat ini polisi belum dapat memastikan dari kelompok mana para pelaku itu berasal. “Sampai saat ini masih didalami,” kata Ronny di sela-sela kegiatan penyerahan penghargaan Kak Seto Award bagi Ipda (anumerta) Kushendratna di Jakarta.
Sementara itu, Adrianus mengatakan, setidaknya ada tiga faktor yang menyatakan bahwa pelaku penembakan dilakukan kelompok teroris. Pertama, dilihat dari modus kerja dan pembuatan bom yang sama dilakukan oleh kelompok teroris. Kedua, pelaku potensial (potential player) mengetahui cara penggunaan senjata dan membuat bom yang baik. Hal itu, menurutnya, hanya dapat diperoleh karena telah menjalani proses pelatihan (i’dad) sebelumnya.Ketiga, kata Adrianus, dilihat dari motif penembakan yang dilakukan terhadap polisi. “Siapa benci terhadap polisi? Siapa yang menyatakan bahwa darah polisi itu halal. Banyak yang benci polisi, ya pelaku kejahatan, tapi enggak (banyak) yang punya akses terhadap senjata. Cara gerebek beda.” paparnya.
Al Chaidar juga menambahkan, senjata yang digunakan oleh para teroris itu biasanya berasal dari Filipina. Senjata itu diselundupkan ke Indonesia melalui jalur Tawau, Sebatik, dan Manado. Untuk membeli senjata-senjata tersebut, ada sejumlah cara yang dilakukan para teroris untuk mengumpulkan dananya, mulai dari mengumpulkan hingga kas organisasi yang berasal dari setoran anggota. Setoran itu biasanya diperoleh dengan cara merampok (fa’i).
Meski seolah aksi teroris selama ini ditujukan kepada aparat kepolisian, menurut Al Chaidar, hal itu bukan ditujukan untuk membalas dendam. Ia berpendapat, aksi penembakan polisi itu murni atas dasar perintah pimpinan pelaku. Selain itu, ada doktrin bahwa polisi, khususnya Densus 88, layak dibunuh.
“Dalam pemahaman mereka, tidak diperbolehkan jihad atas dasar balas dendam,” katanya. Sebelumnya, Aipda Kushendratna ditembak orang tak dikenal di Jalan Graha Raya, tepat di depan Masjid Bani Umar, Kelurahan Perigi Baru, Kecamatan Pondok Aren, Tangerang Selatan, Jumat (16/8/2013) pukul 22.00. 
Dengan mengendarai mobil Toyota Avanza warna hitam, tim Buser memburu pelaku. Namun, pengejaran itu menyebabkan mobil tim Buser terperosok ke got di pinggir jalan. Pelaku kemudian menembak sopir Avanza (Bripka Maulana) yang baru keluar dari mobil. Setelah itu, sempat terjadi baku tembak. Pelaku kemudian melarikan diri dengan merampas sepeda motor milik warga bernomor polisi B 6620 SFS
Apa yang disampaikan oleh Oegroseno sesungguhnya merupakan bentuk sikap kehati-hatian menanggapi isu terorisme. Tidak gegabah. Dan tidak cepat mengembangkan opini demi desakan kepentingan tertentu. Benar-benar upaya untuk memilah memilih mana yang faktual dan mana yang rekayasa. Menempatkan secara proporsional dan obyektif bagaimana motif sebenarnya di balik terorisme.
Tetapi sebaliknya baik statement Al Chaidar maupun Ronny Franky Sompie seperti “setali tiga uang”. Diperkuat belakangan oleh Adrianus Meliala. Termasuk juga oleh BNPT melalui ketuanya Ansyaad Mbai yang menyatakan bahwa penembakan polisi di Pondok Aren dipercaya dilakukan oleh jaringan teroris.
Penyerangan terhadap aparat negara seperti ini menurut Asyaad merupakan gejala internasional yang tak hanya terjadi di Indonesia. Hal itu menurutnya dipengaruhi oleh adanya perubahan strategi jaringan teroris setelah Osama bin Laden tak lagi memimpin. “Teroris sedang bergejolak, seperti di Irak puluhan polisi ditembaki, markas polisi di bom. Di Afganistan, Mendagri yang merupakan pimpinan polisi tewas dalam satu pesta. Begitu juga di Afrika Utara, Mesir dan Pakistan ini terjadi. Jadi ini memang gejala internasional, ada perubahan strategi setelah Osama bin Laden tak ada,” ujar Ansyaad dalam acara diskusi BNPT dengan jurnalis dengan tema ‘Damailah Indonesiaku Bersama Cegah Terorisme’ di Resto Bober di Jalan Sumatera, Selasa (20/8/2013). Mbai juga menuturkan, kebijakan Osama sebelumnya melarang untuk menyerang pemerintah Islam. Namun kini penyerangan terhadap pemerintah Islam jadi dihalalkan. “Sejak 2010, pembunuhan dan penembakan pada polisi makin sering terjadi,” katanya. Polisi, sebagai penegak hukum dianggap sebagai thogut atau orang yang menghalang-halangi usaha mereka. Sehingga mendapatkan serangan-serangan dari para teroris. “Apalagi kalau thogutnya itu dianggap bekerjasama dengan toghut yang lebih besar yaitu Amerika,” tutur Ansyad. Pernyataan-pernyataan yang disampaikan baik oleh Al Chaidar, Ronny, Adrianus, dan Mbai menguatkan opini bahwa penembakan polisi di Pondok Aren benar-benar terkait dengan teroris.
Memang sepintas rasional, gabungan opini berbasis fakta yuridis apa yang disampaikan oleh keempat orang ini (Al Chaidar, Ronny, Adrianus dan Mbai) tetapi menyisakan beberapa kejanggalan antara lain :
Pertama, jika memang benar penembakan polisi di Aren itu terkait dengan teroris kenapa sasaran tembaknya adalah polisi bawahan. Dan seolah tidak ada sasaran yang jelas misalnya dalam bentuk simbol-simbol AS dan para sekutunya. Sebagai simbol sebenarnya perlawanan Islam. Ini lebih mirip sebagai bentuk perlawanan sporadis yang lebih didorong oleh motivasi “balas dendam” dan “responsif” ketimbang sebuah gerakan yang sistematis.
Kedua, para mujahidin yang pernah mengikuti jihad di beberapa negara dan dituduh sebagai otak pelaku terorisme bukanlah seorang yang berkarakter seperti “seorang preman”. Yang menghalalkan segala cara termasuk melakukan perampokan atau merampas hak orang lain untuk menjalankan jihad. Apalagi merampas sepeda motor orang lain yang bukan menjadi haknya. Termasuk dugaan tidak terbukti adanya sindikasi jaringan bisnis narkoba dengan terorisme seperti yang dituduhkan Mbai beberapa waktu yang lalu dengan istilah “narcoterrorism”. Ini sangat bertentangan dengan aturan-aturan dalam Islam bagaimana fiqih jihad itu. Dan itu menjadi pemahaman yang umum di kalangan mujahidin. Metode “fa’I” hanya dikenal di kalangan jaringan “teroris bentukan” dan tidak dikenal sama sekali di jaringan para mujahidin.
Ketiga, di tengah bobroknya lembaga peradilan negeri ini dimana mafia hukum dan mafioso peradilan menggurita maka mudah bagi yang memiliki kekuasaan untuk membuat rekayasa BAP (Berita Acara Pemeriksaan), rekayasa alat bukti, merekayasa kesaksian palsu dan segudang permainan hukum yang lain. Hukum bisa dibeli. Hukum tebang pilih. Hukum milik yang punya duit. Dan hukum punya yang berkuasa (status quo). Secara psikologi sosial politik seperti itu, maka sangat mungkin terjadi sebuah rekayasa-rekayasa tertentu. Namanya saja proyek. Kalau orang sipil proyeknya bangunan gedung dan lain-lain. Kalau politisi proyeknya legislasi. Kalau Densus 88 dan BNPT proyeknya “war on terrorism”. Apalagi disinyalir ada orang-orang tertentu di belakangnya yang memback up dari belakang.
Keempat, jika Erdogan yang sekuler berani mengatakan bahwa di Mesir saat ini telah terjadi terorisme oleh negara. Maka di negeri ini kalau kita mau obyektif maka terjadi hal yang sama. Meski dengan tensi dan formulasi yang berbeda. Lebih smart dan smooth. Gabungan dan kombinasi yang kuat antara institusi Mabes Polri melalui Densus 88 yang digerakkan dan diback up oleh orang-orang tertentu. Ada pengamat langganan. Ada LSM pengawal. Ada media yang masif. Ada politisi penggiat. Ada BNPT yang terus bermain opini dan wacana. Pengabaian konstitusi maupun undang-undang, beberapa tindakan yang melanggar hukum atas nama “war on terrorism” dalam bentuk beragam ekstra judicial killing dan ekstra judicial action kepada masyarakat sipil adalah terorisme oleh negara secara sistematis. Padahal jelas-jelas bahwa tindakan-tindakan itu melanggar aturan-aturan yang dibikin oleh negara sendiri seperti pasal 28 A sampai dengan pasal 28 J, UU Nomer 5 tahun 1988, UU Nomer 39 tahun 1999, UU Nomer 23 tahun 2002, UU Nomer 11 tahun 2005, UU No 12 tahun 2005, Keppres Nomer 36 tahun 1990, Peraturan Kapolri Nomer 8 tahun 2009. Termasuk juga pelanggaran terhadap konvensi internasional seperti DUHAM (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia).
Kelima, jika kita cermati secara jeli dalam konteks peta opini media ditemukan rangkaian peristiwa yang diduga terorisme “secara ajeg”. Seperti sengaja dibuat sebuah cerita demi kepentingan target memperkuat opini “war on terrorism”. Ada bom mercon. Ada penembakan pada polisi. Ada penangkapan terduga teroris. Memang dari rangkaian peristiwa yang dianggap terorisme bisa jadi ada yang faktual. Tetapi dengan melihat performa kinerja penanganan terorisme oleh Densus 88 seperti yang kita saksikan sekarang. Bukan mustahil terjadi rekayasa-rekayasa sebagai pembenaran.
Akhirnya penting untuk melihat dan menguak secara obyektif apa dan bagaimana sebenarnya di balik terjadinya terorisme di dunia termasuk di Indonesia. Sebagai negeri yang muslimnya terbesar di dunia, Indonesia jangan terjebak dalam permainan berbahaya war on terrorism. Masifnya penanganan terorisme oleh Densus 88 yang disinyalir banyak melakukan pelanggaran hukum,  justru akan memunculkan dan memantik perlawanan dan memicu siklus kekerasan yang tidak berujung. Dan jika ini terus muncul kekerasan dilawan dengan kekerasan, maka bukan mustahil negeri ini akan berada dalam kondisi pergolakan sebagaimana yang terjadi di timur tengah. Semuanya berpulang pada good will dan political will penguasa secara independen. Tidak dipengaruhi oleh intervensi asing dalam mengambil keputusan negeri ini. Inilah jaminan atau prasyarat penguasa mampu secara obyektif mendedah akar terorisme sekaligus memahami cara tuntas untuk menyelesaikannya. Penting direnungkan apa yang disabdakan oleh Rasullullah shallallahu ‘alaihi wa sallam :
عَنِ ابْنِ عُمَرَعَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم؛ أَنَّهُ قَالَ : أَلاَ كُلُّكُمْ رَاعٍ. وَكُلُّكُمْ مَسْئُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ. فَاْلأَمِيْرُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ،وَهُوَ مَسْئُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ. وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ، وَهُوَ مَسْئُوْلٌ عَنْهُمْ. وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ بَعْلِهَا وَوَلَدِهِ، وَهِيَمَسْئُوْلَةٌ عَنْهُمْ. وَالْعَبْدُ رَاعٍ عَلَى مَالِ سَيِّدِهِ، وَهُوَ مَسْئُوْلٌ عَنْهُ. أَلاَ فَكُلُّكُمْ رَاعٍ. وَكُلُّكُمْ مَسْئُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
Hadits riwayat Ibnu Umar Radhiyallahu’anhu :
Dari Nabi Shallallahu alaihi wassalam bahwa beliau bersabda: Ketahuilah! Masing-masing kamu adalah pemimpin, dan masing-masing kamu akan dimintai pertanggungjawaban terhadap apa yang dipimpin. Seorang raja yang memimpin rakyat adalah pemimpin, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap yang dipimpinnya. Seorang suami adalah pemimpin anggota keluarganya, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap mereka. Seorang istri juga pemimpin bagi rumah tangga serta anak suaminya, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap yang dipimpinnya. Seorang budak juga pemimpin atas harta tuannya, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap apa yang dipimpinnya. Ingatlah! Masing-masing kamu adalah pemimpin dan masing-masing kamu akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya. Wallahu a’lam bis shawab.