arrisalah13.blogspot.com - JAKARTA  – Seorang anggota Provost Polair, Bripka Sukardi, Selasa 9 September 2013 malam ditembak orang tak dikenal ketika sedang mengawal 6 tronton pengangkut elevator part di depan Gedung KPK, Jl HR Rasuna Said, Jakarta Selatan. Penembakan Bripka Sukardi ini dinilai sebagai reaksi keras kinerja kepolisian.

Demikian disampaikan pengamat kepolisian Universitas Indonesia, Bambang Widodo Umar. Menurut Widodo, kinerja kepolisian harus segera dibenahi, khususnya Datasemen Khusus Anti Teror 88.
“Tetap saya melihat kali ini sebagai aksi-reaksi daripada cara kerja Polri itu sendiri. Khususnya bagi Densus 88. Tindakan Densus 88 itu perlu dibenahi, jangan terlalu eksistensi atau terlalu berlebihan” kata Bambang di lokasi penembakan depan gedung KPK, Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, Rabu (11/9/2013).
Bambang menghimbau Polri segera melakukan pembenahan kinerjanya. Selain itu, Polri juga dituntut meningkatkan pengawasan terhadap setiap anggotanya.
“Cara-cara bekerja Densus di dalam menyikapi terorisme ini harus lebih manusiawi. Tindakan penembakan ini sebagai pelajaran, cuma akibatnya ini kan sasaran pelaku ke polisi lalu lintas, polisi Samapta,” tambah Bambang. (Rmn/Ism)

Akibat Konflik Poso

Sementara itu, mantan Wakil Kepala BIN As’ad Said Ali mengatakan pelaku penembakan Bripka Sukardi diduga merupakan anggota kelompok teroris. Namun, kelompok tersebut bukanlah jaringan teroris internasional Al-Qaeda.
“Ini campuran dendam Konflik Poso,” kata As’ad Said Ali usai kegiatan syukuran hari ulang tahun ke X PPAD di Gedung Pertemuan Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta, Rabu (11/9/2013).
As’ad menilai cara polisi menanggulangi konflik Poso dan kelompok teror Jamaah Islamiyah  menimbulkan rasa dendam. Kelompok teror itu mengganggap cara Polri tidak manusiawi.
Wakil Ketua Umum PBNU itumenyarankan kepolisian untuk mengubah strategi pemberantasan terorisme dengan mengambil hati masyarakat. “Dengan operasi sedikit korban,” katanya.
Ia mencontohkan era 90-an dimana gerakan Jemaah Islamiyah di Indonesia dapat diredam dengan pendekatan para ulama. Kegiatan deradikalisasi juga tidak diekspos sehingga kelompok tersebut akhirnya bertobat.
“Kuncinya yang bisa mengatasi itu diperlukan peran ulama bukan polisi atau BNPT,” ujarnya.