Selasa, 17 Februari 2015

Wejangan Abu Hafs Al-Maqdisi: Bekal Umat Meraih Kemenangan (2/2)


By on 19.54

Wejangan Abu Hafs Al-Maqdisi: Bekal Umat Meraih Kemenangan (2/2)Syaikh Al-Mujahid Ismail bin Abd Rahim Hamid, Amir Jaisyul Ummah As-Salafi di Baitul Maqdis.

arrisalah13.blogspot.com -
Ringkasan sebelumnyaKeimanan, mendengar sekaligus taat, dan kemauan kuat adalah tiga dari enam hal bekal meraih kemenangan. Sifat tersebut harus ada dalam diri umat Islam. Kejayaan Islam hanya sebuah diraih dengan usaha yang keras. Oleh karena itu, demi melengkapi tiga hal selanjutnya akan dipaparkan di bawah ini. 
4. Asy-Syuja’ah (Keberanian)
Keberanian sangat berkaitan erat dengan keimanan seseorang. Muslim yang keimanannya telah teruji, akan tampil berani menghadapi berbagai cobaan dalam dakwah. Begitu pula karena keimanan yang kokoh, keberanian untuk membela Islam akan membaja. Segala apa yang mereka punyai akan dipersembahkan demi Izzatul Islam.

Keberanian juga melekat dengan kenabian. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terkenal pemberani  semasa hidupnya. Manakala berdakwah di Makkah, berbagai cobaan dan tantangan dihadapi dengan keberanian dan ketabahan. Beliau berani menghadapi segala gangguan dari orang kafir Quraisy berbekal keimanan yang kuat.
Umat ini akan jauh dari kejayaan jika keberanian untuk membela diennya belum terbentuk. Apalagi tergoda kenikmatan duniawi, sekaligus menghapus mental keberanian kaum muslimin. Begitu pula masuknya paham-paham yang merusak tashawwur seorang muslim, hal ini berdampak signifikan terhadap tingkah laku dan cara pandang hidupnya.
Padahal generasi terbaik umat ini telah memberikan berbagai  teladan dalam keberanian. Para mujahid sepanjang masa telah banyak memperagakan keberanian yang luar biasa. Singa-singa Allah tak pernah gentar memperjuangkan Diennya. Kecintaannya pada Allah, Rasul-Nya dan Islam melepaskan rasa takut dalam hatinya. Hanya tersisa keberanian yang bermuara pada keimanan yang kokoh.
Syaikh Abdullah Azzam menuturkan keberanian para mujahidin dan rakyat Afghanistan demi membela keimanannya, “Saya belum pernah melihat kesabaran yang melebihi kesabaran mereka. Saya tidak pernah melihat bangsa yang lebih perkasa daripada jiwa mereka. Dan saya tidak pernah melihat bangsa muslim mukmin seperti mereka, yang tidak mau menundukkan kepala mereka kecuali kepada Rabb bumi dan langit.”
Beliau menceritakan, ” Di sebuah desa di Propinsi Lugar, kaum komunis Afghan menyembelih empat puluh tiga orang yang terdiri para lelaki jompo, ulama, kaum wanita dan anak-anak, kemudian jenazah tersebut mereka bakar pada hari I’edhul Adha atau beberapa hari sebelumnya. Dalam pembantaian itu ada anak laki-laki berusia dua belas tahun bersembunyi di bawah tempat tidur.  Orang-orang Rusia masuk ke dalam rumah dan menggeledah isiya. Secara kebetulan mereka mendapati Mushaf Al-Qur’an, lantas mushaf tersebut dibanting dengan keras sebagai penghinaan atasnya. Tiba-tiba anak yang bersembunyi tadi bergerak dari bawah tempat tidur dan keluar ke depan Rusia yang membanting  mushaf tadi dan memegang erat mushaf tersebut dengan kedua tangannya.
Lantas dia berkata, “Ini adalah kitab Rabb kami, kitab ini adalah kemuliaan dan syiar kami.” “Buang kitab itu!” perintah Syetan  tersebut. Maka dia menjawab, “Meski engkau potong-potong tubuhku, demi Allah aku tidak akan melepaskannya dari tanganku.”  “Karena hormat dan keberanian anak itu kepada agama ini, maka si Rusia pun menghormati anak tersebut.  Lantas dia sembelih semua yang ada dalam rumah dan membiarkan anak tersebut tetap hidup.” lanjut beliau
Buya Hamka juga pernah menuliskan kisah keberanian seorang muslim India utara dalam bukunya “Cemburu” yang diterbitkan tahun 1962. Salah seorang muslim yang bernama Abdul Qayyum dengan keberaniannya menghujamkan pisau untuk membunuh penghina Nabi Muhammad di tengah persidangan. Hukuman yang diberikan hakim tidak sesuai dengan syariat Islam bagi para pencela Nabi.
Keberanian yang dimiliki Abdul Qayyum terlahir dari kecintaanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Keimanannya membuncah dan kemarahannya membara ketika orang yang paling dicintainya dihinakan. Ia tidak menggubris apa yang terjadi setelah perbuatan terpujinya itu. Ia telah menempatkan kecintaannya pada Rasul melebihi cinta pada dirinya sendiri.
Allah berfirman,
ٱلَّذِينَ يُبَلِّغُونَ رِسَٰلَٰتِ ٱللَّهِ وَيَخْشَوْنَهُۥ وَلَا يَخْشَوْنَ أَحَدًا إِلَّا ٱللَّهَ ۗ وَكَفَىٰ بِٱللَّهِ حَسِيبًۭا
“(yaitu) orang-orang yang menyampaikan risalah-risalah Allah, mereka takut kepada-Nya dan mereka tiada merasa takut kepada seorang (pun) selain kepada Allah. Dan cukuplah Allah sebagai Pembuat Perhitungan.” (Al-Ahzab : 39)
5. Akhlaq
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia.
إنما بعثت لأتمم صالح الأخلاق
“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak.” (HR Ahmad dari Shahabat Abu Hurairah)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai panutan kita telah memberikan contoh yang gamblang dalam berakhlak mulia. Akhlak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Al-Qur’an, hingga Allah sendirilah yang menggambarkannya.
وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ
“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (Al-Qolam : 4)
Pertolongan Allah akan segera datang jika umat Islam berakhlak mulia. Dakwah Islamiyah akan berjalan lancar jika para dai memiliki akhlak karimah. Sebagaimana dakwah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sikap santun, adil dan senantiasa menjaga lisan selalu teriring dalam kehidupan sehari-hari.
Kerusakan moral dan bobroknya akhlak telah mewarnai kehidupan masyarakat. Tak terkecuali umat Islam yang menjadi sasaran pengrusakan oleh musuh-musuhnya. Ketika seorang muslim jauh dari akhlak Islami, segala tindak tanduknya dilakukan secara serampangan. Syariat Islam diterjang, kemaksiatan dianggap biasa dan sudah dapat dipastikan pertolongan Allah tidak akan turun padanya.
Akhlak ibarat pakaian bagi seseorang. Dia akan dihormati, disegani dan kata-katanya didengar karena akhlak yang mulia. Sebaliknya jika seseorang berakhlak buruk, maka seolah dia berpakaian compang-camping dan diacuhkan orang lain. Untuk itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengajarkan agar selalu berakhlak yang mulia. Dari situlah, pertolongan Allah diharapkan segera tiba.
Apa yang terlihat dalam sikap mujahid Al-Qaidah di Yaman (AQAP) mungkin bisa menjadi renungan. Amalan jihad yang mulia jika dibarengi dengan perlakuan dan akhlak yang baik dari para mujahid, akan mudah diterima.
Tidak hanya penguasaan terhadap sebuah wilayah, pengayoman, perlindungan keamanan, dan santunan finansial juga diperlukan. Inilah strategi baru Al-Qaidah berkaca masa lalu yang gagal di Iraq. Sebuah contoh riil, bahwa jihad, dakwah dan pertolongan Allah dapat diraih dengan akhlak yang mulia.
6. Ash-Shidqu (Kejujuran)
Ash-Shidqu adalah asas dari kehidupan. Jiwa-jiwa yang shiddiq dan teladan yang tinggi inilah yang dapat menjaga dan melindungi masyarakat Islam dari kehancuran. Di samping itu, akan mempertahankan eksistensi masyarakat Islam yang tersembunyi dan jumlahnya tidak banyak.
Allah ta’ala berfirman,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ وَكُونُوا۟ مَعَ ٱلصَّٰدِقِينَ
Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang shiddiq (benar).” (At Taubah : 119)
Ash-Shidqu dalam ayat ini ialah kesuaian antara kenyataan dan hakikat, antara yang lahir dan batin. Seandainya dada seorang manusia yang shiddiq itu dibuka, lalu Allah memberikan kepadamu kesempatan untuk melihatnya, niscaya engkau tiada dapati pertentangan antara lahir dan batinnya. Itulah keadaan orang yang benar.
Jika seluruh umat Islam memiliki sifat shiddiq di hatinya, niscaya Allah segera menurunkan pertolongannya. Karena orang yang bersifat shiddiq tidak pernah melakukan suatu hal berdasar nafsunya. Ia senantiasa beramal hanya untuk Allah semata. Rasa ikhlas yang tinggi dan kejujuran dalam melakukan perintah dan menjahui larangan-Nya.
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا
“Supaya Dia menguji kamu, siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya.” (Al-Mulk : 2)
Fudlail bin ‘Iyadl  menjelaskan tentang ”Ahsanu ‘amalan”, maknanya adalah “ashwabuhu wa akhlashuhu”. Akhlashuhu  artinya bersih dari riya’ danashwabuhu artinya benar, ash shawab maksudnya sesuai dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah dibawa oleh Jibril dari sisi Rabbul ‘Alamin, yakni Al-Qur’an.
Alangkah indahnya jika sifat ini telah mendarah daging di dada kaum muslimin. Sebab tanpa ash-shidqu, sebuah urusan tidak akan bisa tegak dan tidak akan mampu mempertahankan keteguhan tekad. Allah enggan memberikan pertolongan bagi hamba-Nya karena ibadah yang dilakukan tidak semata-mata untuk-Nya.
Banyak manusia mungkin terbiasa berkhutbah di mimbar-mimbar, yang dikaruniai Allah “Jawami’ul kalam”. Perkataan mereka membuat sebuah kekaguman, kecakapan bicaranya pun melenakan para pendengar, orang-orang berkumpul pun lantaran terpesona. Namun, perkataan itu hakekatnya tidak akan bertahan lama, karena buih selamanya tidak akan mapan di muka bumi.
فَأَمَّا الزَّبَدُ فَيَذْهَبُ جُفَاءً ۖ وَأَمَّا مَا يَنفَعُ النَّاسَ فَيَمْكُثُ فِي الْأَرْ‌ضِ
“Adapun buih, akan hilang sebagai sesuatu yang tak ada harganya; adapun yang memberi manfaat kepada manusia, maka ia tetap (mapan) di bumi”. (Ar-Ra’ad : 17)
Pertolongan Allah itu berakar kepada kejujuran dan ketulusan seseorang dalam beramal. Jika ia beramal untuk dunia maka hanya itu yang ia dapatkan, jika ia beramal untuk Allah semata, maka Dia akan selalu menolongnya dalam segala hal yang dia inginkan. Bukan hal yang mustahil, jika umat Islam telah terpatri di hatinya sifat ash-shidiq, maka kemenangan demi kemenangan pun akan diraih, walaupun belum mapan dalam kekuatan materi.
Kejayaan Islam tidak mungkin didapat tanpa pertolongan dari Allah. Dengan melazimi sifat-sifat ini – iman, as-sam’u wa tha’ah, al-himmah, asy-syuja’ah, akhlak dan ash-shdiqu – Insya Allah harapan itu akan tiba. Jika engkau menolong agama Allah, Dia akan menolongmu dan meneguhkan langkahmu.

Penulis : Dhani El_Ashim
Disarikan dari Kitab “Ash Shifaatul Muhimmah Lijaili Nashril Ummah” karya Syaikh Al-Mujahid Ismail bin Abd Rahim Hamid, Amir Jaisyul Ummah As-Salafi di Baitul Maqdis.
Sumber : kiblat.net

0 komentar:

Posting Komentar