Rabu, 03 Juli 2013

Ibnu Asakir, Ahli Hadis, Wara’ dan Tidak Gila Jabatan


By on 23.25



alqud






arrisalah13.blogspot.com – Imam Ibnu Asakir adalah ulama’ ahli fikih dan hadits dari madzhab Syafi’i. Ia termasuk ulama yang terkenal wara’ dan tidak menyukai jabatan. Keteguhan dalam prinsipnya tersebut  menjadikan ia seorang yang tidak mempedulikan siapa pun ketika ber-amar ma’ruf nahi munkar.

Nama lengkapnya adalah, Abu al-Qasim Ali bin al-Hasan bin Hibatullah bin Abdullah bin al-Husein al-Dimasyqi. Lahir di kota Damaskus pada tahun 499 H/1105 M, ketika sedang pecah perang Salib pertama. Kelahirannya hampir bersamaan dengan tampilnya Dinasti Saljuk menguasai Abbasiyah.
Ia lahir dari keluarga pecinta ilmu. Ayahnya, Hasan bin Hibatullah adalah seorang ulama di kota Damaskus yang dikenal shaleh, adil dan mencintai orang-orang yang berilmu. Ibunya merupakan anak dari seorang ulama besar dari suku Quraisy yaitu Yahya bin Ali bin Abdul Aziz, ahli fikih, gramatika bahasa Arab dan pernah menjabat sebagai qadhi (hakim). Pamannya, Abu al-Ma’ali bin Yahya seorang ahli hadis di Damaskus yang juga pernah menjadi hakim. Kakaknya, Imama Shainuddin Hibatullah adalah ulama ahli bidang fiqih, dan hadis, pernah menjabat sebagai mufti. Saudara laki-laki satunya, Muhammad bin al-Hasan juga ahli hadis. Dari keluarganya inilah, Ibnu Asakir banyak belajar. Terutama di usia mudanya.
Imam Ibnu Asakir dibesarkan dalam keluarga yang berpendidikan tinggi. Beliau mulai belajar ketika berumur 6 tahun kepada kakak laki-lakinya (Syeikh al-Sha’in) dalam bidang fikih, dan dalam bidang bahasa dan sastera Arab di bawah bimbingan kakeknya sendiri, Abu Al-Mufaddhal al-Qurasyi. Ibnu Asakir dikenalkan kakaknya majelis Syaikh al-Imam Abu al-Hasan Ali bin al-Muslim al-Salami, pakar fikih yang pernah berguru langsung kepada Imam al-Ghazali.
Ketika beliau berumur 20 tahun iaitu setelah ayahnya wafat, beliau mengembara ke negara-negara Islam untuk memperdalami ilmu hadis dan turut mengerjakan haji di Mekkah. Ia pernah menetap di Baghdad untuk mencari ilmu dan mendatangi ahli hadis. Setelah itu ia pulang ke Damaskus. Tidak lama di Damaskus, ia meneruskan pengembaraannya ke beberapa negeri di antaranya; daerah Ajam, Ashbiha, Nisapur, Marwa, Tibriz, Ray, Baihaq, dan Afghanistan. Ia baru pulang ke Damaskus pada usia 34 tahun, dimana keilmuannya telah mencapai kematangan.
Setelah tahun 533 H sampai 571 H, Ibnu Asakir menyibukkan dirinya dengan mengarang kitab, mengumpulkan hadith dan riwayat, serta mengajar hadis di masjid Umayyah, Damaskus, dan madrasah Dar al-Sunnah yang didirikan oleh al-Malik al-Adil Nur Al-Din Mahmud bin Zanki. Kepakarannya dalam ilmu hadis telah menjadi perbincangan hangat para ulama di negeri Syam. Sehingga ia diberi gelar “al-Hafidz”.  Ia memiliki murid yang menjadi sultan dan panglima besar Perang Salib, yaitu Sultan Shalahuddin al-Ayyubi.
Gaya bahasa Ibnu Asakir dalam menjelaskan hadis-hadis Nabi diakui memiliki kekhasan sendiri, indah dan mudah dimengerti. Sehari-hari, sepulang dari keliling Negara-negara, dihabiskan dengan mengajar ilmu hadis dan menulis kitab. Ia ulama yang memiliki produktifitas tinggi. Total karyanya mencapai 100 judul lebih. Di antara karya-karyanya adalah:
1.   Tarikh Dimasy(80  jilid)
2.  Al-Muwafaqaah(2 jilid)
3.  Gharaib Malik(10 jilid)
4.  Al-Mu’jam(12 jilid)
5.  Al-Musalsalat
6. Tarikh al-Mazah
7. Mu’jam an-Niswan
8. Mu’jam as-Syuyukh wa an-Nubula
9. Al-Mu’jam al-Musytamil ‘Ala Asma’ al-Kutub as-Sittah.
Karya yang paling monumental adalah Tarikh Madinah Dimasyq, yang ditulis sampai 105 jilid. Kitab ini memaparkan sejarah kota Damaskus dan mencatat laporan-laporan tentang tokoh-tokoh dan ulama serta penguasa yang pernah mendiami Damaskus. Kitab ini jauh lebih besar daripada kitab Tarikh Baghdad yang ditulis oleh Khatib al-Baghdadi.
Jilid awal Kitab Tarikh Dimasqh ini menyebutkan Futuh al-Syam dan keindahannya. Manakala sebagian jilid kedua menceritakan orang-orang terkemuka dan termasyhur yang pernah memerintah kota Damsyik serta orang-orang yang pernah tinggal dan singgah sementara di kota tersebut. Mereka terdiri daripada ulama fikih, Qadhi, dan ulama.
Kitab ini memiliki kekhasan dan keistimewaan. Di antaranya; Dimulai dengan kisah pembebasan kota Syam, mendatangkan sanadnya dulu kemudian khabarnya, dan menyebutkan nama ayah,datuk, gelaran, kerakyatan setiap orang yang terdapat dalam kitab ini.
Selain kitab Tarikh al-Dimasq, kitab terkenal dari Ibnu Asakir adalah kitab Tabyin Kidzb al-Muftari fima Nusiba ila al-Imam Abi al-Hasan al-Asy’ari. Kitab ini ditulis sebagai respon terhadap perkembangan pemikiran pada masa itu, terutama berkaitan dengan tuduhan yang dialamatkan kepada al-Asy’ari. Kitab ini merupakan pembelaan Ibnu Asakir sebagai pengikut madzhab al-Asy’ari.
Pribadi Ibnu Asakir terkenal dengan wara’. Ia menolak diangkat sebagai hakim dan pejabat kenegaraan. Kehidupan dan rumahnya sederhana. Pergaulannya dengan orang lain penuh dengan akhlak. Ibnu Khalkan (w.681 H) memuji Imam Ibnu Asakir  dengan berkata : “ Beliau adalah ahli fikih mazhab Syafi’i, ahli hadis, pejuang hadis sejati yang pantang menyerah, pencari ilmu, penjaga agama, tutur katanya halus dan sopan.
Imam Ibnu ‘Asakir meninggal dunia sewaktu berusia 72 tahun iaitu pada tahun 571H bersamaan dengan masa awal pemerintahan Shalahuddin al-Ayyubi. Shalahuddin pun turut sama mengurus jenazah Imam Ibnu Asakir yang menjadi gurunya.
Oleh: Kholili Hasib – Peneliti InPAS Surabaya, Wakil Sekjen MIUMI Jawa Timur

0 komentar:

Posting Komentar