arrisalah13.blogspot.com — Pekan lalu, juru bicara ISIS, Syaikh Abu Muhammad Al-Adnani memberikan tanggapan atas rilis audio pemimpin Al-Qaidah, DR. Aiman Azh-Zhawahiri. Seperti sebelum-sebelumnya, isi tanggapan tersebut lebih berupa “bantahan” dari statemen sebelumnya. Ada beberapa hal yang menarik untuk dikupas, di antaranya:
“Karena itulah, Daulah Islam tidak menyerang Rafidhah di Iran sejak didirikan. Orang-orang Rafidhah di Iran dibiarkan hidup tenang.Daulah harus menahan pasukannya dengan darah yang bergejolak. Meskipun Daulah ketika itu mampu menyerbu Iran. Selama bertahun-tahun Daulah menahan diri dan menerima tuduhan sebagai antek Iran karena tidak pernah menargetkannya, membiarkan Rafidhah hidup aman.”
Kalimat Al-Adnani bila dibaca dan dipahami secara telanjang, dapat membuat pembaca sampai dan berhenti pada kesimpulan: Al-Qaidah berdamai dengan Iran. Atau, “sebenarnya ISIS mau dan mampu membabat habis Iran, tapi untuk alasan mematuhi Al-Qaidah, diurungkan.” Lalu, bila memang demikian, ada apa dengan Al-Qaidah?
Untuk dapat memahami sebuah permasalahan secara utuh, diperlukan wawasan yang utuh pula, bukan potongan adegan per adegan. Sebagai contoh, dalam buku “Generasi Kedua Al-Qaidah,” pasca serangan 11 September 2001, Al-Qaidah menghadapi tsunami cukup dahsyat dari Amerika. Serangan balik Amerika bak ular kesurupan setelah digetok kepalanya. Ringkas kata, Afghanistan pun jatuh. Al-Qaidah “kocar-kacir”harus menyelamatkan diri ke titik-titik aman dan perbatasan, termasuk Iran.
Syiah Rafidhah di Iran adalah musuh. Pada saat yang lain, Al-Qaidah juga menghadapi musuh bernama Amerika. Siapa yang harus dihadapi terlebih dahulu? Skala prioritas itu pulalah, mungkin, yang membuat pimpinan Al-Qaidah saat itu memutuskan untuk tidak mengganggu Iran. Pada saat bersamaan, kebijakan Iran untuk tidak menyerahkan orang-orang Al-Qaidah yang melintasi wilayahnya dapat dipahami sebagai bargaining politik terhadap Amerika.
Keputusan Al-Qaidah untuk tidak mengganggu Iran terlebih dahulu adalah langkah politik tentu saja diberi ruang dalam syariat Islam. Mengadakan perjanjian damai dengan kelompok kafir hukumnya boleh, selama membawa kemaslahatan bagi kaum Muslimin. Hal serupa banyak kita temui dalam sirah Nabi kita, Muhammad SAW. Di mana beliau menahan diri dari satu musuh untuk fokus ke musuh lain yang lebih strategis.
Justru yang agak membingungkan adalah statemen Al-Adnani yang mengkritisi Al-Qaidah yang membiarkan (tidak menyerang) Iran dan negara-negara Arab lainnya yang berstatus taghut dan antek-antek Amerika. Misalnya pernyataan berikut ini:
“Karena Al-Qaidah juga, Daulah tidak beroperasi di Mesir, Libya, dan Tunisia. Selama bertahun-tahun, Daulah dan tentaranya menahan marah. Kesedihan mengisi sudut-sudut dan batas Daulah karena banyaknya orang-orang lemah yang meminta bantuan. Di sisi lain, para sekularis menanam thaghut-thaghut baru yang lebih kafir dari sebelumnya di Tunisia, Libya, dan Mesir, karena para pemimpin dan simbol yang mewakili Al-Qaidah yang memegang kendali jihad global tidak menyelisihi mereka (orang-orang sekuler; red), padahal beban apa jihad di negara tersebut berada di pundak mereka.”
Semua dapat memaklumi mengapa Al-Qaidah tidak “beroperasi”di negara-negara yang disebut Al-Adnani di atas, termasuk Saudi Arabia, yaitu faktor kemampuan yang terbatas sehingga harus memakai skala prioritas. Yang masih agak sulit dipahami adalah, benarkah ISIS, sebagaimana diterangkan Al-Adnani, tidak menyerang negara-negara tersebut karena ketundukan kepada Al-Qaidah semata? Benarkah: sebenarnya ISIS mampu melumat negara-negara tersebut, tetapi karena instruksi Al-Qaidah untuk menahan diri, akhirnya ISIS mengurungkan niat menyerang?
Sebagai organisasi jihad yang sedang naik daun, kita sulit mengukur sejauh mana kekuatan riil yang dimilikinya sehingga Syaikh Al-Adnani sesumbar ingin menghajar negara-negara di atas. Yang pasti, kekuatan ISIS di Suriah masih sama dengan faksi-faksi lainnya yang belum mampu menembus Damaskus.
Statemen Syaikh Al-Adnani yang menanggapi Azh-Zhawahiri telah mengundang banyak reaksi dan pengkritisan balik. Salah satunya di link ini. Namun, kata berbalas kata, kalimat bersahut kalimat, sesungguhnya makin memperbesar tanda tanya selama ini: apakah statemen Syaikh Al-Adnani selama ini benar-benar mewakili pemikiran ISIS dan pemimpinnya, Syaikh Abu Bakar Al-Baghdadi?
sumber : kiblat.net
0 komentar:
Posting Komentar