Rabu, 30 Januari 2013

Keseimbangan Dalam Hidup Muslim


By on 18.32

إِنَّ الْحَمْدَ للهِ ، نَحْمَدُهُ ، وَنَسْتَعِيْنُهُ ، وَنَسْتَغْفِرُهُ ، وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا ، وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا .
مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ .وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ
.يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
.
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمْ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِي تَسَاءلونَ بِهِ وَالأَرْحَامَ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
أ للَّهُمَّ صَلِّ عَلىَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَيْتَ عَلىَ إِبْرَاهِيْمَ وَعَلىَ آلِ إِبْراَهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْد ٌمَجِيْدٌ ، أ للَّهُمَّ ٌ وَبَارِكْ عَلىَ مُحَمَّدٍ وَعلَىَ آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلىَ إِبْرَاهِيْمَ وَعَلىَ آلِ إِبْرَاهِيْمَ في العالمين إِنَّكَ حَمِيْد ٌمَجِيْدٌ
Ma’asyiral Muslimin...Jama’ah Sholat Jum’at Rahimakumullah...
Marilah pertama-tama,  kita mengucapkan syukur kepada Allah atas segala nikmat yang telah diberikan kepada kita, nikmat Iman, nikmat Islam dan nikmat kesehatan, sehingga kita bisa hadir untuk melaksanakan sholat Jum’at di masjid yang dimuliakan Allah ini.
Yang kedua, marilah kita selalu meningkatkan ketaqwaan kita kepada Allah swt, yaitu dengan menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.
Ma’asyiral muslimin rahimakumullahu...
 Allah telah memberikan  predikat kepada umat Islam sebagai umat yang pertengahan, yaitu umat yang berada di tengah-tengah antara umat-umat lainnya. Umat yang berada di tengah karena mampu menyeimbangkan dan meratakan amal dalam seluruh aspek kehidupan ini. Allah swt berfirman :
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِّتَكُونُواْ شُهَدَاء عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا
“ Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang pertengahan,  agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.” ( Qs Al Baqarah : 143 )
Umat Islam menjadi umat yang pertengahan dan mampu menjadi saksi bagi umat-umat yang lainnya, karena mempunyai beberapa kelebihan, diantaranya adalah :
Pertama : seimbang antara imu dan amal.
Umat Islam dalam hidupnya harus bisa menyeimbangkan antara ilmu dan amal. Tidak boleh - umpamanya - hanya menekankan pada ilmu saja, tanpa diimbangi dengan amal perbuatan yang nyata dalam kehidupan ini.
Sifat seperti ini adalah sifat yang dimurkai oleh Allah swt, sebagaimana firman-Nya :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ كَبُرَ مَقْتًا عِندَ اللَّهِ أَن تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ
“ Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan. “ ( Qs Ash Shof : 2-3 )

Mengatakan sesuatu yang tidak dikerjakan, artinya seseorang hanya berkutat pada teori belaka dan berjalan di atas konsep yang kosong. Dia menjadikan ajaran Islam hanya sebagai islamologi, ilmu pengetahuan tentang Islam yang hanya dibicarakan, didiskusikan dan diseminarkan tanpa ada prkteknya dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan ironisnya lagi, amalan sehari-harinya justru bertentangan dengan ajaran Islam yang biasa ia bicarakan di berbagai tempat.
Ini adalah sifat orang-orang Yahudi, dimana mereka dikarunia oleh Allah ilmu yang sangat banyak, tetapi perbuatan mereka tidak mencerminkan ilmu yang mereka miliki, bahkan justru ilmu karunia Allah tersebut, mereka gunakan untuk membuat kerusakan di muka bumi ini dengan menipu dan membodohi orang lain demi kepentingan dunia mereka. Orang-orang Yahudi inilah yang dimurkai Allah di banyak tempat dalam Al Qur’an.
Di sisi lain, umat Islam juga tidak boleh hanya menekankan amal ibadah saja, tanpa diimbangi dengan ilmu yang cukup. Sebelum beramal harus diketahui dulu teori dan ilmunya, sehingga diharapkan amal yang dilakukan tersebut benar dan tidak menyeleweng, sehingga dia akan berjalan pada jalan yang lurus dan benar yang akan mengantarkannya pada tujuan. Beramal tanpa disertai ilmu yang cukup akan menyebabkan seseorang tersesat di jalan, sehingga tujuannyapun tidak akan tercapai. Inilah yang dilakukan oleh orang-orang Nashrani yang bersemangat di dalam beribadah, tetapi malas menuntu ilmu sehingga dicap oleh Allah semoga umat yang sesat.
Allah swt telah menggambarkan ketiga umat ini dengan cirri-cirinya masing-masing di dalam surat Al Fatihah :
اهدِنَــــا الصِّرَاطَ المُستَقِيمَ صِرَاطَ الَّذِينَ أَنعَمتَ عَلَيهِمْ غَيرِ المَغضُوبِ عَلَيهِمْ وَلاَ الضَّالِّينَ
“Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat. “ ( Qs Al Fatihah : 6-7 )
Jalan yang lurus adalah jalannya umat Islam, yaitu umat yang menggabungkan antara ilmu dan amal secara bersamaan. Sedang jalan orang-orang  yang dimurkai oleh Allah adalah jalannya umat Yahudi yang hanya menekankan keilmuan tapi kosong dari pengamalan. Sedang jalan orang-orang yang sesat adalah jalannya umat Nashara yang hanya semangat di dalam beribadah, tapi tidak punya bekal ilmu yang cukup.
Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah....
Kedua : Seimbang antara rasa takut dan harapan.
Seorang muslim di dalam hidupnya tidak boleh selalu diliputi rasa takut terhadap dosa-dosa yang selama ini dikerjakannya secara berlebihan, sehingga menimbulkan rasa putus asa terhadap rahmat dan ampunan dari Allah swt. Sebaliknya pula, dia juga tidak boleh berlebihan di dalam mengharap rahmat dan ampunan Allah sehingga meremahkan dosa-dosa yang selama ini dia kerjakan, bahkan menganggap enteng dosa besar dengan dalih bahwa Allah Maha Pengampun.
Seorang muslim yang baik adalah yang menggabungkan antara kedua hal di atas, yaitu menggabungkan antara rasa takut terhadap siksaan Allah karena dosa-dosanya dan dalam waktu yang sama, dia sangat mengharap rahmat dan ampunan dari-Nya. Dua hal ini merupakan dua sayap orang muslim yang baik, sehingga dengan keduanya dia mampu terbang ke angkasa dengan bebas dan penuh percaya diri. Jika salah satu dari kedua sayap itu tidak ada, maka secara otomatis  dia akan terjatuh di jurang kehancuran di dunia dan di akherat kelak.
Allah swt telah menggambarkan dengan indah kedua hal tersebut yangterdapat dalam diri seorang muslim yang baik.
أُولَـئِكَ الَّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ إِلَى رَبِّهِمُ الْوَسِيلَةَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ وَيَرْجُونَ رَحْمَتَهُ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُ إِنَّ عَذَابَ رَبِّكَ كَانَ مَحْذُورًا
“ Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan mereka siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya; sesungguhnya azab Tuhanmu adalah suatu yang (harus) ditakuti.” ( Qs Al Isra’ : 57 )
Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah…
Ketiga : Seimbang di dalam menjalankan ajaran agama, sehingga tidak bersikap berlebihan ( Ifrath )  dan juga tidak bersikap meremehkan ( Tafrith ).
Seorang muslim di dalam hidupnya tidak boleh terlalu berlebih-lebihan dalam menjalankan ajaran Islam, yaitu melampaui batas dari apa yang telah ditetapkan oleh Allah dan rasul-Nya. Tidak boleh – umpamnya – dia berlebih-lebihan di dalam melaksanakan sholat tahajud sehingga tidak ada waktu tidur sama sekali, akhirnya pagi hari dia dalam keadaan lemah dan kusut, serta tidak semangat menjalani kehidupan sehari-hari karena belum istirahat semalam penuh. Begitu juga seorang muslim tidak boleh – umpamanya- melakukan puasa ngebleng ( puasa tiap hari ) tanpa berbuka sedikitpun, atau membujang selamanya, tidak mau menikah dengan seorang perempuan dengan dalih bahwa menikah itu akan melalaikan ibadahnya.
Itu semua adalah bentuk-bentuk berlebihan di dalam menjalankan ajaran agama yang dilarang di dalam Islam. Islam mengajarkan kepada umatnya untuk selama seimbang di dalam ibadah dan amalannya. Dalam suatu hadist yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik ra, bahwasanya ia berkata :
جَاءَ ثَلَاثَةُ رَهْطٍ إِلَى بُيُوتِ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْأَلُونَ عَنْ عِبَادَةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا أُخْبِرُوا كَأَنَّهُمْ تَقَالُّوهَا فَقَالُوا وَأَيْنَ نَحْنُ مِنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ قَالَ أَحَدُهُمْ أَمَّا أَنَا فَإِنِّي أُصَلِّي اللَّيْلَ أَبَدًا وَقَالَ آخَرُ أَنَا أَصُومُ الدَّهْرَ وَلَا أُفْطِرُ وَقَالَ آخَرُ أَنَا أَعْتَزِلُ النِّسَاءَ فَلَا أَتَزَوَّجُ أَبَدًا فَجَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَيْهِمْ فَقَالَ أَنْتُمْ الَّذِينَ قُلْتُمْ كَذَا وَكَذَا أَمَا وَاللَّهِ إِنِّي لَأَخْشَاكُمْ لِلَّهِ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ لَكِنِّي أَصُومُ وَأُفْطِرُ وَأُصَلِّي وَأَرْقُدُ وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي
Ada tiga orang mendatangi rumah isteri-isteri Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan bertanya tentang ibadah Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Dan setelah diberitakan kepada mereka, sepertinya mereka merasa hal itu masih sedikit bagi mereka. Mereka berkata, "Ibadah kita tak ada apa-apanya dibanding Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, bukankah beliau sudah diampuni dosa-dosanya yang telah lalu dan juga yang akan datang?" Salah seorang dari mereka berkata, "Sungguh, aku akan shalat malam selama-lamanya." Kemudian yang lain berkata, "Kalau aku, maka sungguh, aku akan berpuasa Dahr (setahun penuh) dan aku tidak akan berbuka." Dan yang lain lagi berkata, "Aku akan menjauhi wanita dan tidak akan menikah selama-lamanya." Kemudian datanglah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam kepada mereka seraya bertanya: "Kalian berkata begini dan begitu. Ada pun aku, demi Allah, adalah orang yang paling takut kepada Allah di antara kalian, dan juga paling bertakwa. Aku berpuasa dan juga berbuka, aku shalat dan juga tidur serta menikahi wanita. Barangsiapa yang benci sunnahku, maka bukanlah dari golonganku." ( HR Bukhari, no : 4675 )
Dalam hadist Abu Hurairah ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda :
إِنََّّ الدِّينَ يُسْرٌ وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلَّا غَلَبَهُ فَسَدِّدُوا وَقَارِبُوا وَأَبْشِرُوا وَاسْتَعِينُوا بِالْغَدْوَةِ وَالرَّوْحَةِ وَشَيْءٍ مِنْ الدُّلْجَةِ
"Sesungguhnya agama itu mudah, dan tidaklah seseorang  ( mempersulit diri ( berlebih-lebihan) di dalam mengamalkan agama ini, kecuali dia akan dikalahkan (semakin berat dan sulit). Maka berlakulah lurus kalian, mendekatlah (kepada yang benar) dan berilah kabar gembira dan minta tolonglah dengan Al Ghadwah (berangkat di awal pagi) dan ar-ruhah (berangkat setelah zhuhur) dan sesuatu dari ad-duljah ((berangkat di waktu malam) ".( HR Bukhari, no : 38 )
Allah swt juga melarang umat-umat terdahulu untuk tidak berlebihan di dalam mengamalkan agama, sebagaiman larangan Allah kepada ahlul kitab di dalam firman-Nya :
قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لاَ تَغْلُواْ فِي دِينِكُمْ غَيْرَ الْحَقِّ وَلاَ تَتَّبِعُواْ أَهْوَاء قَوْمٍ قَدْ ضَلُّواْ مِن قَبْلُ وَأَضَلُّواْ كَثِيرًا وَضَلُّواْ عَن سَوَاء السَّبِيلِ
“ Katakanlah: "Hai Ahli Kitab, janganlah kamu berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan cara tidak benar dalam agamamu. Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat dahulunya (sebelum kedatangan Muhammad) dan mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia), dan mereka tersesat dari jalan yang lurus." ( Qs Al Maidah : 77 )
Disamping larangan untuk berlebih-lebihan di dalam melaksanakan ajaran agama Islam ini, seorang muslim dituntut juga untuk tidak meremahkan dan bermalas-malas di dalamnya. Jadi harus seimbang dan bersikap wajar.
بارك الله لكم في القرآن الكريم ونفعني وإياكم بما فيه من الآيات و الذكر الحكيم فاستغفروه إنه هو الغفور الرحيم .
Khutbah Kedua :  
Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah…
Pada kesempatan khutbah kedua ini, saya ingin melengkapi apa yang sudah saya sampaikan pada khutbah pertama tentang bentuk-bentuk kesimbangan di dalam hidup seorang muslim.
Keempat : Kesimbangan Antara urusan Dunia dan Akherat.
Seorang muslim yang baik, dituntut untuk memikirkan dan mempersiapkan diri untuk mencari bekal yang akan dibawanya ke alam akherat kelak, dan di waktu yang sama dia tidak boleh melupakan keberadaannya di dunia yang dia jalani ini. Dalam hal ini Allah swt berfirman :
وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَأَحْسِن كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ
“ Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan” .( Qs Al Qashash : 77 )
Ayat di atas memberikan isyarat kepada kita tentang konsep keseimbangan dalam hidup seorang muslim. Diantaranya adalah memadukan antara kepentingan dunia dan akherat sekaligus. Oleh karenanya, tidak boleh seorang muslim hanya mementingkan kehidupan akherat saja, tanpa pernah memikirkan kehidupan dunianya.
Sangat tidak dibenarkan apa yang dilakukan oleh sebagian kaum muslimin yang aktivitasnya hanya duduk-duduk di pojok-pojok masjid bermunajat kepada Allah, berdzikir, berdo’a kepada Allah tapi pada saat yang sama mereka tidak bekerja mencari nafkah untuk istri dan anaknya, tidak bergaul dengan masyarakat serta menjauhi kehidupan dunia yang kita diperintahkan untuk memakmurkannya. Bahkan ironis lagi, mereka bergantung kepada belas kasih orang lain di dalam mempetahankan hidup mereka padahal mereka mampu bekerja.
Di sisi lain, kita dapatkan sebagian kaum muslimin yang lain disibukkan dengan mengumpulkan perhiasan dunia dan mengumbar hawa nafsunya dengan kenikmatan-kenikmatan dunia yang semu. Mereka menghabiskan waktu mereka untuk memburu harta, tanpa ada sisa waktu sedikitpun untuk memperbaiki agama dan kehidupan akherat mereka, bahkan tidak waktu untuk istri dan anak-anak mereka.
Sikap yang paling tepat adalah memadukan antara kepentingan dunia dan akherat sekaligus, mencari dunia tanpa megorbankan akherat dan memperhatikan akherat tanpa mengabaikan kehidupan dunia.
Rasulullah saw pernah mengajarkan kepada kita do’a untuk kepentingan dunia dan akherat. Dalam hadist Abu Hurairah ra, bahwasanya ia berkata :
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ اللَّهُمَّ أَصْلِحْ لِي دِينِي الَّذِي هُوَ عِصْمَةُ أَمْرِي وَأَصْلِحْ لِي دُنْيَايَ الَّتِي فِيهَا مَعَاشِي وَأَصْلِحْ لِي آخِرَتِي الَّتِي فِيهَا مَعَادِي وَاجْعَلْ الْحَيَاةَ زِيَادَةً لِي فِي كُلِّ خَيْرٍ وَاجْعَلْ الْمَوْتَ رَاحَةً لِي مِنْ كُلِّ شَرٍّ
"Rasulullah saw pernah berdoa sebagai berikut: "Ya Allah ya Tuhanku, perbaikilah bagiku agamaku sebagai benteng urusanku; perbaikilah bagiku duniaku yang menjadi tempat kehidupanku; perbaikilah bagiku akhiratku yang menjadi tempat kembaliku! Jadikanlah ya Allah kehidupan ini mempunyai nilai tambah bagiku dalam segala kebaikan dan jadikanlah kematianku sebagai kebebasanku dari segala kejahatan!" ( HR Muslim, no : 4897 )
Mudah-mudahan yang sedikit bermanfaat bagi kita semua, amien yang rabbal  ‘alamin.
أ للَّهُمَّ صَلِّ عَلىَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَيْتَ عَلىَ إِبْرَاهِيْمَ وَعَلىَ آلِ إِبْراَهِيْمَ ، ٌ وَبَارِكْ عَلىَ مُحَمَّدٍ وَعلَىَ آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلىَ إِبْرَاهِيْمَ وَعَلىَ آلِ إِبْرَاهِيْمَ في العالمين إِنَّكَ حَمِيْد ٌمَجِيْدٌ
اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اَلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالأَمْوَاتِ اِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعْوَات
اَللَّهُمَّ أَصْلِحْ لَنَا دِيْنَناَ الَّذِى هُوَ عِصْمَةُ أَمْرِنَا وَأَصْلِحْ لَنَا دُنْيَانَ الَّتِى فِيْهَا مَعَاشُنَا وَأَصْلِحْ لَنَا آخِرَتَنَا الَّتِى فِيْهَا مَعَادُنَا وَاجْعَلِ الْحَيَاةَ زِيَادَةً لَنَا فِى كُلِّ خَيْرٍ وَاجْعَلِ الْمَوْتَ رَاحَةً لَنَا مِنْ كُلِّ شرٍّ
رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنفُسَنَا وَإِن لَّمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
رَبَّنَا اَتِنَا فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى الأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّار
سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ اْلعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُوْنَ وَسَلاَمٌ عَلَى اْلمُرْسَلِيْنَ وَاْلحَمْدُ ِللهِ رَبِّ اْلعَالَمِيْنَ
Jakarta, 25 Syawal 1431 H/ 4  Oktober 2010 M
Dr. Ahmad Zain An Najah, MA
sumber : www.ahmadzain.com

0 komentar:

Posting Komentar