وَإِذَا جَاءَهُمْ أَمْرٌ
مِنَ الْأَمْنِ أَوْ الْخَوْفِ أَذَاعُوا بِهِ وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى
الرَّسُولِوَإِلَى أُوْلِي الْأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ
يَسْتَنْبِطُونَهُ مِنْهُمْ وَلَوْلَا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ
وَرَحْمَتُهُ لَاتَّبَعْتُمْ الشَّيْطَانَ إِلَّا قَلِيلًا
“ Dan apabila datang kepada mereka suatu
berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka langsung
menyebarkannya. Kalau seandainya mereka mengembalikannya kepada Rosul
atau Ulil Amri diantara mereka, tentunya orang – orang yang ingin
mencari kebenaran akan bisa mengetahuinya dari mereka ( Rosul dan Ulil
Amri ) . Kalaulah bukan karena karunia Allah dan rohmat-Nya tentunlah
kamu akan mengikuti syaitan, kecuali sebagian kecil diantara kamu. “ (
Q.s. An- Nisa’ : 83 )
Ulil Amri dalam ayat tersebut mempunyai
dua makna : Ulama dan pemimpin Islam (kholifah atau presiden)
–sebagaimana yang telah dijelaskan pada edisi yang sebelumnya–. Juga
telah disinggung perbedaan antara Ahlu al- Halli wa al-‘Aqdi dengan
DPR/MPR serta MUI.
Untuk lebih melengkapi pembahasan tersebut, penulis ingin mendiskusikan kembali keterlibatan wanita dalam dunia perpolitikan kontemporer.
Untuk lebih melengkapi pembahasan tersebut, penulis ingin mendiskusikan kembali keterlibatan wanita dalam dunia perpolitikan kontemporer.
Munculnya politik dan kekuasaan
ditengah-tengah kehidupan manusia, beriringan dengan keberadaan manusia
sendiri sebagai kholifah dimuka bumi ini. Manusia, bagaimanapun
typenya, tidak bisa lepas dari dua unsur diatas. Karena, benturan
antara al-Haq dan al-Bathil –yang merupakan sunnatullah di muka bumi
untuk menjaga keseimbangan kehidupan manusia ini (sunnatu al tadafu’)—
akan terus terjadi., sampai hari kiamat. Masing-masing al-Haq dan
al-Bathil tersebut, akan berusaha mengungguli dan menguasai lawannya.
Oleh karenanya, politik dan kekuasaan merupakan unsur penting dalam
perseteruan tersebut.
Islam, sebagai agama yang
ajaran-ajarannya dijadikan pedoman hidup yang sempurna, telah
meletakkan batasan-batasan tertentu dan aturan-aturan –baik secara umum
maupun khusus– kepada pemeluknya yang ingin melibatkan diri dalam
percaturan politik. Sementara itu, Islam tidak mau membebani umatnya
dengan sesuatu yang dia tidak bisa mengerjakannya atau akan
memberatkannya, serta tidak menganjurkan pula kepada para pemeluknya
untuk merubah tabiat alaminya. Karena hal itu justru akan menjuruskan
kepada madhorot. Namun, Islam di dalam menyikapi terhadap segala
problematika yang dihadapi laki-laki dan perempuan, telah memberikan
solusi yang relastis, dan sesuai dengan tabiat masing-masing.
Dalam hal ini, wanita, sebagai makhluk
yang memiliki sifat dan tabiat khusus yang berbeda dengan laki-laki,
mempunyai hukum tersendiri dalam arena politik. Ini bukan berarti Islam
mendiskreditkan keberadaan wanita di masyarakat ataupun merendahkan
martabatnya. Karena kenyataannya, kita juga mendapatkan hal yang serupa
(perbedaan laki–laki dan perempuan) dalam ajaran Islam lainnya, baik
yang berupa hak, kewajiban maupun tugas–tugas tertentu. Para ulama
memaklumi akan hal ini. Bahkan, itu merupakan konsesus para ulama yang
tidak mungkin dibantah lagi, lebih-lebih kalau didukung dengan
penelitian-penelitian ilmiyah dan analisa sosial dan kejiwaan.
Dr. Alex Karielz menyebutkan beberapa
hasil penelitiannya yang menunjukkan bahwa perbedaan wanita dan
laki-laki tidak hanya terbatas pada postur dan anatomi tubuh serta
jenis kelamin saja. Tetapi juga menyangkut komposisi kimia dan
pembentukan otot-otot dalam tubuh. Perbedaan tersebut benar-benar kokoh
dan kuat.[1]. Perbedaan–perbedaan tersebut menimbulkan akibat–akibat
fisik–biologis, seperti laki-laki mempunyai suara yang lebih besar,
berkumis, berjenggot, pinggul lebih ramping dan dada datar. Sementara
perempuan mempunyai suara lebih bening, buah dada menonjol, pinggul
umumnya lebih lebar, dan organ reproduksi yang amat berbeda dengan
laki- laki. [2]. Oleh karenanya, sangat salah mereka yang menjadikan
dua jenis yang berbeda tersebut di dalam satu bangku pendidikan, atau
di berikan hak yang sama di dalam memegang beberapa tanggung jawab
tertentu.
Dari sini saja, sudah terlihat betapa
lemahnya argumen yang selalu mendengungkan ‘Pembebasan Wanita’ atau
‘Feminisme’ dan mengimpikan persamaan wanita dan laki-laki dalam semua
hal. Nampaknya obsesi tersebut, sedikit banyak, dipengaruhi oleh
teori-teori jender yang di usung oleh orang –orang Barat, seperti teori
nature [3] dan nurture [4], teori psikoanalisa [5], teori fungsionalis
struktural [6], teori konflik [7], teori feminis [8]dengan berbagai
macamnya (Feminisme Liberal, feminisme Marxis- Sosialis, feminisme
Radikal ) dan teori sosio-biologis [9].
Walaupun keterlibatan wanita di dalam
dunia perpolitikan dan kekuasaan masih dalam kerangka pro dan kontra,
setiap orang bebas mengungkapkan idenya, selama didasari dengan argumen
ilmiah. Namun sangat disayangkan, adanya sebagian pemikir Islam yang
mendukung dan memberkati konspirasi Yahudi dan musuh-musuh Islam
lainnya untuk merusak ummat Islam dari dalam, secara tidak sadar.
Padahal konspirasi tersebut terlihat sangat jelas, khususnya bagi yang
peduli dengan problematika umat.
Keterangan dibawah ini, menunjukkan
bahwa perbedaan laki-laki dan perempuan mengharuskan kepemimpinan
secara umum dipegang laki-laki. Mudah-mudahan yang sedikit ini bisa
menggugah kesadaran mereka yang lengah, terlelap dalam tidur
panjangnya.
Pertama kali yang perlu diketengahkan
disini adalah hadist yang diriwayatkan Abi Bakroh r.a. : “Aku
benar-benar mendapatkan suatu nasehat yang sangat bermanfaat di dalam
mengambil sikap di dalam tragedi ‘Perang Jamal’ (Perang Unta), ketika
Rasululullah saw mendengar berita Bangsa Persia mengangkat putri dari
Raja Kisra untuk memegang tampuk kepemimpinan. Beliau bersabda, “Tidak
akan sukses suatu bangsa yang mengangkat seorang perempuan sebagai
pemimpin mereka “ [10]
Al Hafidh Ibnu Hajar di dalam Fathul
Bari menerangkan maksud dari perkataan Abi Bakrah diatas, yang intinya
adalah sbb: Pada targedi Perang Unta terjadi perselisihan pendapat
antara para sahabat di dalam menentukan sikap terbunuhnya kholifah
Utsman bin Affan ra. Disana terdapat dua kubu ; yang pertama adalah
para pengikut Ali yang berpendapat bahwa sikap yang harus diambil
adalah menangguhkan hukum qishos sampai fitnah bisa dipadamkan dan
setelah bersatunya umat Islam dalam satu kepemimpinan. Sedang kubu
kedua adalah para pengikut M’awiyah yang berpendapat bahwa untuk
memadamkan fitnah dan menyatukan barisan umat Islam, perlu mengejar dan
mencari para pembunuh Kholifah Utsman, kemudian menghukum mereka.
Dalam hal ini, Abu Bakroh ternyata sependapat dengan kubu yang kedua.
Akan tetapi, ketika melihat bahwa kelompok ini akan mengangkat Aisyah
ra sebagai pemimpin mereka untuk menghadapi kubu Ali r.a, walaupun
harus melakukan bentrok fisik, tiba-tiba Abu Bakroh teringat dengan
hadits di atas. Akhirnya beliau memutuskan untuk keluar dari arena
pertempuran, seraya menyebarkan hadits diatas kepada siapa yang
dijumpainya.
Dalam riwayat lain disebutkan, bahwa
Abu Bakroh berkata : “Pada akhirnya saya tahu bahwa orang-orang yang
keluar bersama Aisyah, mereka adalah orang-orang yang tidak sukses.”
[11]
Dari keterangan diatas, dapat ditarik beberapa kesimpulan :
1. Hadits diatas adalah shahih, dan setiap muslim harus menerimanya.
2. Sikap Abu Bakroh dalam menghadapi
kasus di atas, menunjukkan sikap seorang muslim ketika mendengar wasiat
Rosulullah saw. Penafsiran yang dipahami Abu Bakroh terhadap hadits di
atas, menurut hemat penulis merupakan penafsiran yang paling mendekati
kebenaran. Karena beliau adalah salah satu sahabat Rosulullah saw yang
senior, dimana kesholehan dan keadilannya telah teruji dan diakui oleh
Allah swt. Logikanya, Allah telah memilih orang–orang tertentu untuk
menemani, membela serta menjelaskan apa yang disampaikan Rosul-Nya
Muhammad saw. Tentunya, para pembela dan pengawal tersebut tidaklah
dipilih dari sembarang orang. Sehingga pemahamannya-pun, tentu lebih
dipercaya dibanding dengan pemahaman orang–orang sesudahnya. Barangkali
sebagian orang belakangan ini akan mengatakan bahwa para sahabat dan
ulama-ulama sesudahnya, adalah manusia seperti kita juga, kemungkinan
mereka juga bisa salah. Oleh karenanya, kita tidak harus mengikuti
mereka, bahkan sebaiknya kita kritisi pemahaman-pemahaman tersebut.
Memang, mereka memang manusia, tapi
kemampuan dan keadilan mereka telah di akui oleh Allah dan diridhoi
oleh-Nya serta dijanjikan bagi mereka syurga nan abadi sebagaimana yang
terdapat di dalam (Q.S. Al- Taubah : 100).
Sejarahpun mencatat kiprah mereka di
dalam memperjuangkan Risalah Islam ini, dengan tinta emas. Berbeda
dengan orang–orang sekarang yang sudah banyak dinodai dengan dosa dan
tersilaukan dengan kemerlapan dunia serta banyak kepentingan yang
terselubung. Dan siapa yang mengakui kredebitas mereka??? Makanya,
siapakah yang lebih berhak untuk diikuti..??
3. Yang perlu mendapatkan perhatian
adalah adanya para sahabat lain yang berbeda pendapat dengan Abu Bakroh
di dalam memandang “ fitnah “ tersebut. Untuk mengetahui mengetahui
mana yang lebih mendekati kebenaran, perlu kita lihat hadits-hadits
lain yang berhubungan dengan kasus di atas, juga pendapat ulama-ulama
di dalamnya.
Kedudukan Aisyah ra sebagai istri
Rosulullah saw tidak menjamin beliau selalu berada dalam kubu yang
benar ketika berselisih dengan para sahabat. Khususnya jika berhadapan
dengan sahabat-sahabat senior, semisal Abu Bakar as Siddiq, ayah
sendiri, atau Umar bin Khottob dan Ali bin Tholib ra. Apa lagi di dalam
urusan-urusan politik, yang memerlukan kejernihan berpikir, memerlukan
sikap yang hati-hati dan tidak terburu-buru serta tidak terpancing
dengan emosi. Yang jelas, Rosulullah swt telah bersabda demikian (
yaitu hadits tentang kepimimpinan perempuan diatas ) dan telah
ditafsirkan oleh salah seorang sahabat senior dalam kasus yang nyata.
Dan dalam kenyataannya juga membuktikan bahwa setelah “Perang Unta“
selesai, kubu yang dipimpin Aisyah adalah kubu yang kalah perang. Maka
sangatlah tepat sekali apa yang dikatakan Abu Bakroh di atas : “Pada
akhirnya saya tahu bahwa orang-orang yang keluar bersama Aisyah, mereka
adalah orang-orang yang tidak sukses“ Dan sangat jarang, bahkan
mungkin tidak ada, dari kalangan ulama yang membenarkan madzhab Aisyah
ra dan Muawiyah dalam fitnah tersebut –walaupun semuanya itu berangkat
dari niat yang baik dan masalah ijtihadiyah yang insya Allah semuanya
akan mendapatkan pahala–. Yang ada hanya dua pendapat ulama yang masing
masing sangat kuat : yaitu,
- pendapat yang merojihkan sikap Ali dalam memerangi Muawiyah untuk menyatukan umat,
- dan pendapat yang merojihkan sikap
Abu Bakroh dan beberapa sahabat senior lainnya seperti, Abu Musa al
Asy’ari, Sa’ad bin Abi Waqas, Ibnu Umar, Usamah bin Zaid, Salamah bin
Akwah, Abu Huroirah, Zaid bin Tsabit yang enggan ikut campur di dalam
persengketaan antar umat Islam yang menyebabkan hilangnya ribuan putra-
putra Islam terbaik tersebut. [12]
4. Kekeliruan sikap yang diambil para
pendukung Aisyah ra juga pernah diungkap oleh Rosulullah saw dalam
beberapa haditsnya. Diantaranya adalah hadits ‘Hauab’ yang menyebutkan
bahwa Rosulullah saw bersabda kepada istri-istrinya di mana salah satu
dari mereka suatu ketika akan berjalan melewati sumber air “Hauab", dan
akan ada seekor anjing yang menggonggonginya sebagai isyarat supaya
dia tidak meneruskan perjalan tersebut. Ternyata yang dimaksud dalam
hadits tersebut adalah Aisyah ra, ketika hendak menuju Iraq untuk
menuntut kematian Utsman kepada Khlifah Ali, ra.
Sementara di sana ada hadits juga yang
yang mengisyaratkan agar Ali mengembalikan Aisyah ra, pada tempat
tinggalnya lagi kalau terjadi peperangan.
5. Disana ada satu riwayat yang
menyebutkan penyesalan yang diungkap Aisyah berhubung dengan
keikutsertaannya dalam peristiwa “ Perang Jamal “ tersebut.[13]
Sebelum hadits Abu Bakroh yang tersebut
di atas, sebenarnya telah terdapat firman Allah yang tercantum di
dalam ( Q.s. al-Nisa’ : 34 )[14]
الرِّجَالُ قَوّاَمُوْنَ عَلَى النِّسَاءِ
“ Laki-laki itu adalah pemimpin (pelindung) bagi perempuan “
Ayat tersebut bisa di jadikan standar
untuk menolak kepemimpinan wanita[15]. Dan inilah yang dilakukan oleh
KUII di Pondok Gede pada tanggal 3-7 Nopember 1998, yang ditinjau dari
sudut ligitimed , kredibilitas rekomendasi KUII ini jauh lebih kuat
dari Fatwa MUI, sebagaimana yang dijelaskan oleh KH. A. Kholil Ridwan
dari BKSPII yang memimpin langsung komisi C dan sebagai team pengurus.
Hal itu di karenakan KUII mewakili seluruh lapisan Umat. [16]
Di sana, juga ada ayat yang mungkin bisa memperkuat permasalahan ini, yaitu firman Allah dalam Q.s. Al Ahzab : 33
وَقَرْنَ فِي بُيُوْتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبََرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُوْلَي
“ Dan hendaknya kamu tetap di rumah dan janganlah engkau berhias dan bertingkah laku seperti orang- orang Jahiliyah dahulu .”
Berkata Imam Tsa’labi : “ Ummul
mukminin Aisyah ra, selalu menangis, jika membaca ayat ini, sampai-
sampai air matanya membasahi jilbabnya.
Berkata Ibnu Athiah : Aisyah ra. menangis dikarenakan rasa penyesalan yang mendalam, ketika ikut serta dalam perang Jamal [17]
Sebagai sedikit catatan, disana ada
beberapa konsekwensi yang harus dikerjakan seorang pemimpin dalam Islam
diantaranya : 1. Mengumumkan perang dengan musuh 2. Memimpin pasukan
di dalam medan perjuangan 3. Mengadakan janji perdamaian ketika
diperlukan 5. Berkhutbah Jumat 6. Menjadi Imam sholat lima waktu dan
lain- lainnya, yang wanita terlalu berat untuk dipikul wanita, atau
bahkan wanita itu akan menyembunyikan kepalanya di balik bantal sambil
terisak-isak nangis, ketika masalah- masalah rumit tidak bisa
dipecahkanya, seperti yang pernah di ungkap K.H. Syukron Ma’mun pada
dialoq dengan mahasiswa Azhar.
Oleh karenanya, kita sebagai umat Islam harus ekstra hati-hati dalam melibatkan wanita ke kancah perhelatan politik.
Adapun masalah kedua yang perlu
diungkapkan disini, sebagai pelengkap dari keterangan diatas, adalah
berupa isyarat-isyarat dalam ajaran Islam yang menjelaskan kedudukan
wanita sebenarnya dalam menghadapi berbagai ploblematika kehidupan.
I. Rasul dan wanita
Rasul adalah utusan Allah SWT dimuka
bumi ini, yang bertugas mengajak manusia dan memimpinnya kepada jalan
yang benar. Dalam ajaran Islam, tidak ditemukan bahwa Allah menyerahkan
tugas kepemimpinan ini kepada seorang wanita, walaupun betapa hebatnya
seorang wanita tersebut. Karena tugas-trugas pemerintahan dalam batas
maksimal dan situasi tertentu hanya bisa dijalankan oleh laki-laki. Hal
ini memberikan isyarat kesan kepada kita bahwa Allah tidak memlih
wanita sebشgai makhluk yang berhak memimpin perjalanan sebuah umat
ataupun bangsa. Allah berfirman dalam ( Q.s. Yusuf : 109 )
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ إِلَّا رِجَالًا نُوحِي إِلَيْهِمْ مِنْ أَهْلِ الْقُرَى
“Kami tidak mengutus sebelum kamu, melainkan orang laki-laki yang kami berikan wahyu kepadanya diantara penduduk negeri.”
Berkata Ibnu Katsir : ” Allah telah
menjelaskan bahwa Dia tidaklah mengutus rasul kecuali dari golongan
laki-laki dan bukan dari perempuan. Ini adalah madzhab jumhur ulama.
Pendapat ini sesuai dengan bunyi alur ayat di atas, dan menurut Ahlu
Sunnah wal Jamaah –sebagaimana yang diceritakan oleh Syeikh Abul Hasan
Ali bin Ismail Al Asy’ari– bahwa tidak ada nabi dari golongan wanita,
tetapi sebagian wanita ada yang menjadi shidiqoh. “
Perkataan Ibnu Katsir di atas, secara
tegas menolak pendapat yang mengatakan bahwa ( Rijal ) dalam kenabian
bukan berarti laki-laki, tapi jenis manusia yang membedakannya dengan
Jin, seperti yang dilontarkan oleh DR. Quraish Syihab [18] dan diikuti
oleh DR. Nasaruddin Umar [19]. Dengan pemahaman tersebut, berarti nabi
bisa berasal dari perempuan, dan pendapat ini jelas tertolak.
Kenabian sangat edentik dengan
kepemimpinan, walau tidak dalam semua segi. Tetapi paling tidak,
seorang wanita harus memahami isyarat diatas.
II. Wali Nikah dan wanita.
Berkata Imam Syairozi : “ Seorang wanita tidaklah syah nikahnya , kecuali dengan wali laki-laki. “ [20] .
Ini adalah madzhab jumhur ulama dari
Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah sebagaimana telah disinyalir oleh
Rasulullah saw dalam beberapa hadits diantaranya :
a. Bersabda Rosulullah saw : “Barang
siapa dari wanita yang menikah tanpa izin walinya niscaya nikahnya
bathil, nikahnya bathil, nikahnya bathil .” [21]
Imam Tirmidzi berkata : ” Hadits ini derajatnya hasan.”
b. Bersabda Rosulullah saw : “ Tidak
boleh seorang perempuan menikahkan perempuan dan tidak boleh seorang
perempuan menikahkan dirinya sendiri.” [22]
Secara akal sehat, seseorang yang tidak
bisa menguasai dirinya sendiri di dalam masalah yang sangat kecil
ruang lingkupnya (seperti nikah) yang mungkin hanya melibatkan beberapa
gelintir orang, tentunya tidak akan lebih mampu mengusai dan mengatur
berjuta juta orang, apalagi di dalam urusan-urusan negara yang berisiko
tinggi dan mempertaruhkan jiwa sebuah bangsa. Kalau seandainya ada
yang kelihatan mampu, pasti ada laki-laki atau pihak lain yang bermain
di balik layar.
III. Imam wanita dalam sholat
Tidak ada satu madzhab pun yang
mengatakan, bolehnya seorang wanita menjadi imam kaum laki-laki didalam
sholat. Bahkan Ibnu Hazm berkata : “Para ulama telah berkonsesus bahwa
seoarang wanita tidak boleh menjadi imam kaum laki-laki dalam sholat.
Kalau mereka mengetahui bahwa imamnya adalah seorang wanita, kemudian
tetap sholat dibelakangnya , maka sholat mereka batal dan tidak syah
secara ijma.” [23]
Menarik sekali , apa yang pernah
diungkap oleh KH. As’ad Syamsul Arifin ketika mengsitilahkan pemimpin
yang tidak syah dengan “ imam sholat yang sudah kentut “. Sehingga
tidak boleh diikutinya lagi. Ini identik dengan apa yang telah di
ungkap A. Hasan , pendiri Persatuan Islam di tahun 1940-an ketika
meluruskan pendapat presiden Soekarno yang salah : “ Jangankan jadi
Imam Kubra ( kepala negara ) menjadi Imam Sughra ( imam sholat ) saja ,
wanita dilarang “ [24]
Bahkan sebelumnya Ibnu Kholdun pernah
mengatakan : “ Sebutan Imam ditarik dari perbandingan khalifah dengan
pemimpin(imam ) sholat. Karena Kholifah didikuti orang dan mirip dengan
pemimpin sholat jama’ah. Oleh karena itu khalifah disebut dengan Imam
Besar. “ [25]
Kalau kita mengedepankan akal dari pada
teks-teks al-Quran dan Hadits, bisa saja kita menolak ijma’ diatas,
dan mengatakan bahwa wanita berhak menjadi imam kaum laki-laki dalam
sholat, karena pada umumnya tak ada perbedaan antara kaum laki-laki dan
perempuan dalam ibadah , bahkan suara wanita lebih merdu dan bisa
menjadikan suasana sholat lebih khusyu’. Begitulah kalau akal sudah
didewakan manusia, dan duniapun akan morat-marit kalau diatur orang
berakal seperti ini
IV. Rumah tangga dan wanita.
Didalam kehidupan rumah tangga pun,
kepemimpinan diserahkan kepada laki-laki. Seorang istri didalam
beberapa masalah yang besar, diharuskan mengembalikan, atau paling
tidak harus minta persetujuan laki-laki, sebelum dia (wanita)
menentukan sebuah langkah. Dr.Ogest Furill, didalam bukunya
‘Kepemimpinan Wanita’, mengatakan ;
“Perasaan perempuan akan kebutuhannya
kepada perlindungan sang suami sangatlah berpengaruh pada kecintaannya.
Seorang wanita tidak akan merasakan kebahagiaan hidup kecuali kalau
dia mampu menghormati suaminya. Jika mampu berbuat sepert itu, ia juga
ingin melihat kelebihan yang dimiliki sang suami , mungkin dibadannya
yang tegap, atau dalam keberaniannya, atau dalam pengorbanannya, atau
dalam kecepatan berpikir… Sesungguhnya kepemimpinan seorang perempuan
pada rumah tangganya tidak akan mungkin mampu membawa kebahagian ,
karena hal itu menyelisihi hukum alam yang menentukan bahwa seorang
laki-laki harus memimpin wanita, karena dia mempunyai kelebihan di
dalam otaknya, dalam kecerdasan dan kemauannya yang kuat. Sedang wanita
melebihi laki-laki dalam perasaan dan emosionalnya.” [26]
Perasaan kasih mesra yang tinggi,
kesediaan untuk memberikan pengorbanan yang luhur, ketelatenan di dalam
bekerja, ketelitian di didalam membuat perhitungan, letusan emosi yang
wajar dan perasaan -perasaan yang peka dan berkobar-kobar, itulah yang
membentuk sumber sentimen wanita yang utuh, limpah dan mudah
dirangsang. Sifat-sifat tesebut dibutuhkan seseorang untuk menjadi ibu.
Hal ini menunjukkan, bahwa wanita lebih dominan dengan sikap sentimen
daripada intelektual. Ini sangat diperlukan dalam mengasuh dan mendidik
anak-anak.
Berbeda dengan laki-laki, yang
ditugaskan untuk berjuang di dalam gelanggang luar kehidupan, seperti
usaha-usaha menentang ancaman-ancaman binatang buas di hutan rimba,
atau dalam bentuk menghadapi kekuatan alam yang datang dari langit atau
dari dasar bumi, atau dalam bentuk menentang peraturan- peraturan
negara yang tidak adil . Semua usaha tersebut dilakukan untuk menjaga
sumber-sumber rizki serta melindungi diri dan anak istrinya dari
marabahaya yang akan menimpa. Dalam melaksanakan tugas tersebut sang
suami tidak memerlukan sentimen dan perasaan yang meluap-luap, karena
itu justru akan menghambat tugsnya. Akan tetapi yang diperlukan adalah
kekuatan berpikir, intelejen yang tinggi dan kemauan yang gigih dan
kuat. [27]
Adapun masalah-masalah kehidupan keluarga yang menunjukkan bahwa laki-lakilah yang berhak memimpin wanita adalah sbb :
-Pertama : Masalah Nafkah
Seorang suamilah yang wajib memberikan
nafkah lahir dan batin kepada istri dan seluruh anggota keluarga. Ini
memberikan kesan, bahwa yang paling bertanggung jawab terhadap
kelangsungan keluarga itulah yang paling berhak memimpin. Allah
berfurman:
وعلى المولود له رزقهن وكسوتهن بالمعروف
” Dan kewajiban ayah memberikan makan dan pakaian kepada para ibu (istri-istrinya) secara ma’ruf.” (QS.2:233).
Ayat diatas menjelaskan bahwa yang wajib memberi nafkah adalah suami, bukan istri. Hal ini dikuatkan dengan ayat lain :
الرجال قوامون على النساء بما فضل الله بعضهم على بعض و يما أنفقوا من أموالهم
“Kaum laki laki itu adalah pemimpin
bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka
atas sebagian yang lain (perempuan) dan karena mereka (laki-laki) telah
menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (QS.4:34).
Imam Qurtuby berkata didalam tafsirnya menyebutkan :
“ 1. Qowamun artinya, merekalah
(laki-laki) yang wajib memberikan nafkah dan melindungi para wanita,
yang juga berarti bahwa para pemimpin negara, gubernur dan panglima
perang dari kaum laki-laki bukan dari wanita.
2. Kemudian Allah SWT menjelaskan juga,
bahwa banyaknya laki-laki diatas perempuan didalam warisan karena,
laki-laki berkewajiban membayar mahar dan mencari nafkah.
3. Juga karena laki-laki mempunyai
kematangan berfikir dan mengatur lebih dari wanita. Oleh karenanya,
diberikan hak untuk mengatur kaum wanita
4. Juga karena laki-laki mempunyai
kekuatan jiwa dan tabiat–yang tidak dimiliki kaum wanita–yang lebih
cenderung keras dan panas dan ini menunjukkan kekuatan. Sedang tabiat
kaum wanita lebih bersifat dingin dan basah dan mengesankan lemah
lembut. Oleh karenanya, Allah memberikan hak memimpin kepada laki-laki
bukan perempuan.”[28]
Kalau kita dapati dalam suatu keluarga,
yang seorang istri justru yang memberi nafkah kepada suami dan anggota
keluarganya, berarti keluarga tersebut telah menyimpang dari jalur
yang telah ditentukan syari’at. Setiap hal yang menyimpang dari
syari’at, tentu menyimpang pula dari fitrah kemanusiaan yang telah di
tentukan Sang Penciptanya.Kalau demikian yang terjadi, maka suami telah
berdosa dan tidak bertanggung jawab dengan amanah yang telah diberikan
Allah kepadanya.
Bahkan istri yang ikut berkerja bersama
suami kadang akan menimbulkan dampak psikologi bagi suami dan akan
mengganggu hubungan keharmonisan keluarga . Apalagi , jika
penghasilannya jauh lebih tinggi dari suaminya. Ini bisa mengakibatkan
komplikasi psikologik bagi suami, dan dia seringkali akan mengemukakan
keluhan- keluhan dalam bentuk kecemasan, depresi dan gangguan
psikosomatik . Ataupun dapat juga dalam bentuk perubahan sikap menjadi
dingin, pencemburu, pemarah, kasar, bahkan ada yang sampai menyakiti
istrinya secara fisik ( verbal and physical abause ) . Perubahan-
perubahan tersebut bisa di sebut inferiority complex, atau superiority
complek .[29]
Kecuali, kalau suami mempunyai udzur
syar’i yang sudah di maklumi, seperti sakit dan sejenisnya. Ini pun
harus di jaga supaya tetap terjad kesimbangan mental- emosional
hubungansuami istri, agar tidak terjadi sikap “ high profile “ istri.
Dalam kasus seperti ini, status suami sebagai pemimpin keluarga tidak
berubah, selama istri masih rela tinggal bersamanya.
- Kedua,: Dalam membentuk dan membubarkan rumah tangga (khithbah dan talak),
Laki-laki jugalah yang pertama kali
melangkah, mengajak dengan meminang seorang wanita untuk membina suatu
rumah tangga, atau yang melakukan ( khitbah ) dan dia pula yang berhak
menghentikan dan membubarkannya kembali ( mentalak ) jika dirasa
kelangsungannya justru akan membawa bahaya yang lebih besar, walau
tanpa persetujuan dari istrinya. Islam tidak memberikan hak kepada
wanita untuk membuat seperti itu, kecuali dengan persetujuan suami.
Padahal wanita juga bisa berfikir dan bisa membedakan antara baik dan
buruk, bahkan terkadang kemampuannya melebihi laki-laki. Walau
demikian, tetap tidak boleh memimpin laki-laki.
Salah satu hikmah diberikan hak talak
hanya pada suami , adalah sebagaimana yang di sebutkan oleh DR. Yusuf
Qosim, bahwa laki- lakilah yang juga harus menanggung akibat perceraian
, seperti bertanggung jawab terhadap kehidupan anak-anaknya dan juga
harus memberikan uang “ mut’ah “ ( pesangon ) tanda terimakasih kepada
istri yang di ceraikanya. Selain itu dia harus membayar mahar , jika
ingin menikah lagi dengan perempuan lain, dan betanggung jawab untuk
memberikan nafakah kepadanya.[30] Oleh karenanya, sangatlah tepat dan
adil kalau hak talak ( cerai ) hanya diberikan suami saja.
-Ketiga, permasalahan safar (bepergian) dan keluar rumah.
Ketika mau keluar rumah atau akan
melakukan perjalanan jauh, seorang wanita diwajibkan meminta izin
kepada suaminya. Bahkan, tidak diperkenankan bagi wanita muslim untuk
bepergian sendiri dalam jarak yang jauh, kecuali harus disertai dengan
muhrimnya.
-Keempat, pembagian harta warisan. [31]
Dalam warisan, wanita hanya berhak
mendapatkan setengah bagian laki-laki. Hukum ini sangat adil dan
mempunyai banyak hikmah, diantaranya bahwa anak laki-laki kelak akan
dituntut untuk memberikan mahar kepada wanita yang ingin dinikahinya,
serta bertanggung jawab terhadap nafkah keluarganya, dan dituntut untuk
membantu kerabatnya yang miskin. Darinya akan mengalir nasab
anak-anaknya. Berbeda dengan anak wanita, apabila ia belum pernah
nikah, ia menjadi tanggung jawab orangtua/walinya. Dan kalau sudah
menikah, ia menjadi tanggung jawab suaminya. Karena itu, pembagian 2:1
sudah adil. Sebab keadilan itu memberikan sesuatu kepada anggota
masyarakat sesuai dengan status, fungsi dan jasa masing- masing dalam
masyarakat (distributive jusitice).[32]
V. Masalah-masalah lain
Masalah- masalah lain yang menunjukan adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan.
1. Tidak diperkenankan seorang istri untuk puasa sunnah kecuali atas izin suaminya
2. Wanita dalam mengingatkan kesalahan Imam sholat, bertepuk tangan tidak boleh bersuara
3. Tidak boleh gundul ketika tahalul selesai haji
4. Kalau di dalam ajaran Islam dibolehkan sujud kepada manusia, maka seorang wanita akan diperintahkan sujud kepada suaminya
5. Sebaik- baik shaff bagi wanita di dalam sholat adalah paling belakang
6. Sebaik-baik tempat sholat bagi wanita adalah dirumahya tidak di masjid
7. Disamakan dengan para budak dan anak-anak yang tidak wajib sholat jumat.
8. Aqiqah untuk anak perempuan hanya
satu kambing berbeda dengan anak laki- laki. Dan masih banyak lagi
hukum-hukum dalam Islam yang menunjukkan bahwa seorang wanita harus
rela dengan tugas yang diberikan Allahyang sesuai dengan fitroh asliya.
Keterangan diatas, adalah sebagian
kecil dari sisi kehidupan ini yang telah dijelaskan aturannya dalam
syari’at Islam. Setiap kita diharapkan mampu memproyeksikannya dalam
lingkungan yang lebih luas. Karena teks-teks Al-Quran dan Hadits
jumlahnya sangat terbatas sekali, tidak mungkin setiap masalah
kehidupan ditulis secara mendetail dalam al Quran dan Al Hadits.
Bahkan para wanita barat yang telah
masuk Islam dan menemukan ajaran Islam yang sejuk dan aman, justru
mengajak wanita-wanita muslimah untuk tetap loyal dengan tugas utamanya
dan menjaga eksistensi dirinya dengan menjauhi pergaulan bebas, serta
lebih serius menjaga rumah tangga dan membina anak- anak amanat Allah.
Tulisan ini sekedar pengantar dan
tentunya, belum tuntas, karena masih banyak masalah politik dan peran
perempuan di dalamnya yang belum di sentuh, seperti keikut sertaaan di
dalam parlemen atau instansi- instansi pemerintahanan lainnya,
berdemontrasi untuk menuntut hak- haknya atau hak kaum muslimin secara
keseluruhan, berkiprah di dalam dunia dakwah, menjabat kepala bagian
yang berurusan dengan perempuan, dan lain- lainnya . Mudah- mudahan
bisa di bahas pada kesempatan lainnya.
Wallahu a’lam
* Makalah ini, adalah tulisan yang
dipersiapkan untuk mengisi rubrik tafsir majalah “ al -Mitsaq “ , pada
bulan Januari tahun 2000 M, yang belum sempat dipublikasikan. Dan
dipresentasikan di dalam pertemuan Bunda Kanduang KMM ( Kesepakatan
Mahasiswa Minang ) pada tanggal 23 /8/ 2003 dengan beberapa tambahan
dan revisi.
[1] . Anwar Jundi, Harakatu Tahriru al-Mar’ah fi mizani al-Islam , Kairo : Daru al-Anshor, tt, hlm :24
[2] DR. Nasaruddin Umar, MA, Argumen Kesetaraan Jender, Pespektif Al Qur’an , Jakarta : Paramidana, 1999, hlm 42
[3] Teori nature adalah sebuah teori
yang beranggapan bahwa perbedaan fungsi dan peran laki- laki dan
perempuan ditentukan oleh perbedaan anatomi biologi kedua makhluk
tersebut.
[4] Teori nurture adalah yang beranggapam bahwa perbedaan tersebut akibat faktor budaya dalam suatu masyarakat.
[5] Teori psikoanalisa adalah yang
menganggap perbedaan tersebut dipengaruhi oleh perkembangan pskoseksual
. Teori ini diperkenalkan pertama kali oleh Sigmund Freud ( 1856-1939 )
[6] Teori ini berangkat dari asumsi bahwa suatu masyarakat terdiri atas berbagai bagian yang saling mempengaruhi.
[7] Teori ini berangkat bahwa dalam
susunan di dalam masyarakat terdapat beberapa kelas yang saling
memperebutkan pengaruh dan kekuasaan . Siapa yang memilki dan menguasai
sumber-sumber produksi dan distribusi merekalah yang memiliki peran
untuk memainkan peran utama di dalamnya. Teori di perkenalkan oleh Karl
Marx.
[8] Teori ini mengatakan bahwa kodrat
perempuan tidak di tentukan faktor biologis, melainkan faktor budaya
masyarakat. Sistem patriaki perlu ditinjau karena merugikan perempuan.
Teori ini dikenalkan oleh Margaret Fuller ( 1810-1850) dan Harriet
Martineau.( 1802 –1876 )
[9] Teori ini mengatakan bahwa gabungan
faktor biologis dan faktor sosial menyebabkan laki- laki lebih unggul
dari pada perempuan. Teori ini dikembangkan oleh Pierre van den Berghe .
Keterangan yang lebih lengkap tentang teori- teori di atas bisa di
lihat DR. Nasaruddin Umar, MA. op. cit hlm 45-72.
[10] HR.Bukhori, Kitab : Fitan, Bab: Fitnah yang datang bagaikan gelombang samudra .
[11] Ibnu Hajar al Atsqolani, Fathul Bari bi syareh shohih al- Bukhari, Jilid 13, hlm : 67-70
[12] Keterangan lengkap tentang
sengketa antara Ali dan Muawiyah serta Aisyah ra, bisa dilihat di buku-
buku Aqidah , seperti : Ibnu Arobi, Awasim minal Qowasim , Dr. Safar
Hawali di dalam risalah desertasinya Dhohirotul Fikri Al Irja’ dan
lain-lainnya.
[13] Sejak makalah ini di tulis (
Januari , 2000 M ) , penulis belum menemukan buku yang membahas peran
Aisyah dalam perang Jamal secara tuntas. Tapi beberapa hari yang lalu (
17/8/2003 ) penulis mendapatkan buku tersebut dengan judul “ Daur
al-Mar’ah as Siyasi fi ‘ahdi An Nabi saw wa al-Khulafa’ al-Rosyidin,
karya Asma’ Muhammad Ahmad Ziyadah ( Jurusan Sejarah dan Kebudayan
Islam , Universitas Daru al-Ulum ) , Kairo : Daru al- Salam, 2001, Cet
I. Walaupun kesimpulan penulis, agak berbeda dengan kesimpulan buku
tersebut, namun buku ini sangat berharga karena mengupas sejarah dengan
meneliti keabsahan riwayat- riwayat yang ada.,
[14] Adapun penafsiran Q.s. An-Nisa :
34 secara lebih luas , telah penulis bahas di dalam makalah yang
berjudul “ Kesetaraan Gender menurut Pandangan Al Qur’an “ , yang telah
didiskusikan di dalam FORDIAN ( Forum Study Al Qur’an ) pada tanggal
20/8/2003. Walaupun waktu itu, keterangan tentang penafsiran ayat
tersebut belum bisa di bahas secara tuntas karena keterbatasan waktu..
Mudah-mudahan ada kesempatan untuk melengkapinya.
[15] Sebagian orang tidak setuju dengan
penafsiran di atas, dan mengatakan bahwa ( al Qowwamah ) dalam ayat
tersebt hanya terbatas pada kehidupan rumah tangga saja, seperti yang
ditulis oleh M. Azzah Darwasah di dalam “ Tafsir al Hadist “ , jilid 8
hlm 104-105, yang dinukil oleh DR. Muzayyanah , MA di dalam makalahnya
Paradigma Al- Qur’an terhadap Bias Gender dan Feminisme , hlm 4, dan
juga yang di tulis oleh DR. Nasaruddin Umar ( op.cit. hlm 150.) .
[16] Majalah al-Muslimun, edisi 347 Pebruari 1999.
[17] Irni Rohmawati Sq, Tarbiyah
Ummahil Mukminin Dalam Al Qur’an ( Surat Al Ahzab dan At Tahrim ) hlm 2
, makalah ini pernah dipresentasikan di dalam FOSMA ( Forum Ummahat
Hay Asyir ) pada tanggal 12 September 2002
[18] Di sinilah kadang DR. Quraisy
Syihab berseberangan dengan para ahli lainnya. Beliau terbiasa membahas
suatu mustholahat ( term ) dari aspek etimologi, bahkan terkadang
berhenti dan berasyik masyguk pada makna kebahasaan , termasuk dalam
mengartikan kata ‘ kafir “ dengan petani, atau “ rijal “ dengan tidak
semata- mata laki- laki ( Republika, 27 dan 28 / 11/ 1998 ) Lihat
Majalah Al Muslimun, edisi 346, Januari 1999.
[19] DR. Nasaruddin Umar . op.cit hlm. 154
[20] Imam Syaerozi , At-Tanbih , hlm 158
[21] HR Tirmidzi, Abu Daud, Ibnu Majah, Ad-Darimi, Baihaqi, Ahmad, Al-Hakim .
[22] HR. Ibnu Majah dan Daruquthni
[23] Ibnu Hazm, Marotib al-Ijma’ , hlm, 51
[24] Majalah al- Muslimun, edisi 347, Pebruari 1999.
[25] Ibnu Kholdun, Muqoddimah, 1/388
[26] Ismail Muqoddim, op. cit. jilid 2, hlm .132
[27] Muhammad Qutb, “ Syubhat haula al- Islam “ , hlm : 154-156
[28] Qurtuby, al Jami’ liahkamil Qur’an , 5/110-111
[29] Prof. DR. dr. Dadang Hawari
psiakater, Al –Qur’an , Ilmu kedokteran Jiwa dan Ksehatan Jiwa ,
Jakarta : PT Dana Bhakti Prima Yasa, hlm 231-232.
[30] DR. Yusuf Qosim, Huquq al Usroh fi al- Fiqh al-Islamy, Kairo : Daru Nahdhoh al- ‘Arobiyah, 1987. Cet II , hlm 289.
[31] Keterangan lebih luas bisa di lihat “ Kesetaraan Gender dalam pandangan al - Qur’an “ karya penulis.
[32] Muhammmad Ismail Muqoddim . op.cit. 2 : 136, Prof.Drs. Masfuk Zuhdi , Kapita selekta Hukum Islam , hlm : 201-202.
sumber : www.ahmadzain.com
0 komentar:
Posting Komentar