Rabu, 30 Januari 2013

Wanita, Politik, dan Kekuasaan


By on 18.35

وَإِذَا جَاءَهُمْ أَمْرٌ مِنَ الْأَمْنِ أَوْ الْخَوْفِ أَذَاعُوا بِهِ وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِوَإِلَى أُوْلِي الْأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنْبِطُونَهُ مِنْهُمْ وَلَوْلَا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ لَاتَّبَعْتُمْ الشَّيْطَانَ إِلَّا قَلِيلًا
“ Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka langsung menyebarkannya. Kalau seandainya mereka mengembalikannya kepada Rosul atau Ulil Amri diantara mereka, tentunya orang – orang yang ingin mencari kebenaran akan bisa mengetahuinya dari mereka ( Rosul dan Ulil Amri ) . Kalaulah bukan karena karunia Allah dan rohmat-Nya tentunlah kamu akan mengikuti syaitan, kecuali sebagian kecil diantara kamu. “ ( Q.s. An- Nisa’ : 83 )

Ulil Amri dalam ayat tersebut mempunyai dua makna : Ulama dan pemimpin Islam (kholifah atau presiden) –sebagaimana yang telah dijelaskan pada edisi yang sebelumnya–. Juga telah disinggung perbedaan antara Ahlu al- Halli wa al-‘Aqdi dengan DPR/MPR serta MUI.
Untuk lebih melengkapi pembahasan tersebut, penulis ingin mendiskusikan kembali keterlibatan wanita dalam dunia perpolitikan kontemporer.
Munculnya politik dan kekuasaan ditengah-tengah kehidupan manusia, beriringan dengan keberadaan manusia sendiri sebagai kholifah dimuka bumi ini. Manusia, bagaimanapun typenya, tidak bisa lepas dari dua unsur diatas. Karena, benturan antara al-Haq dan al-Bathil –yang merupakan sunnatullah di muka bumi untuk menjaga keseimbangan kehidupan manusia ini (sunnatu al tadafu’)— akan terus terjadi., sampai hari kiamat. Masing-masing al-Haq dan al-Bathil tersebut, akan berusaha mengungguli dan menguasai lawannya. Oleh karenanya, politik dan kekuasaan merupakan unsur penting dalam perseteruan tersebut.
Islam, sebagai agama yang ajaran-ajarannya dijadikan pedoman hidup yang sempurna, telah meletakkan batasan-batasan tertentu dan aturan-aturan –baik secara umum maupun khusus– kepada pemeluknya yang ingin melibatkan diri dalam percaturan politik. Sementara itu, Islam tidak mau membebani umatnya dengan sesuatu yang dia tidak bisa mengerjakannya atau akan memberatkannya, serta tidak menganjurkan pula kepada para pemeluknya untuk merubah tabiat alaminya. Karena hal itu justru akan menjuruskan kepada madhorot. Namun, Islam di dalam menyikapi terhadap segala problematika yang dihadapi laki-laki dan perempuan, telah memberikan solusi yang relastis, dan sesuai dengan tabiat masing-masing.
Dalam hal ini, wanita, sebagai makhluk yang memiliki sifat dan tabiat khusus yang berbeda dengan laki-laki, mempunyai hukum tersendiri dalam arena politik. Ini bukan berarti Islam mendiskreditkan keberadaan wanita di masyarakat ataupun merendahkan martabatnya. Karena kenyataannya, kita juga mendapatkan hal yang serupa (perbedaan laki–laki dan perempuan) dalam ajaran Islam lainnya, baik yang berupa hak, kewajiban maupun tugas–tugas tertentu. Para ulama memaklumi akan hal ini. Bahkan, itu merupakan konsesus para ulama yang tidak mungkin dibantah lagi, lebih-lebih kalau didukung dengan penelitian-penelitian ilmiyah dan analisa sosial dan kejiwaan.
Dr. Alex Karielz menyebutkan beberapa hasil penelitiannya yang menunjukkan bahwa perbedaan wanita dan laki-laki tidak hanya terbatas pada postur dan anatomi tubuh serta jenis kelamin saja. Tetapi juga menyangkut komposisi kimia dan pembentukan otot-otot dalam tubuh. Perbedaan tersebut benar-benar kokoh dan kuat.[1]. Perbedaan–perbedaan tersebut menimbulkan akibat–akibat fisik–biologis, seperti laki-laki mempunyai suara yang lebih besar, berkumis, berjenggot, pinggul lebih ramping dan dada datar. Sementara perempuan mempunyai suara lebih bening, buah dada menonjol, pinggul umumnya lebih lebar, dan organ reproduksi yang amat berbeda dengan laki- laki. [2]. Oleh karenanya, sangat salah mereka yang menjadikan dua jenis yang berbeda tersebut di dalam satu bangku pendidikan, atau di berikan hak yang sama di dalam memegang beberapa tanggung jawab tertentu.
Dari sini saja, sudah terlihat betapa lemahnya argumen yang selalu mendengungkan ‘Pembebasan Wanita’ atau ‘Feminisme’ dan mengimpikan persamaan wanita dan laki-laki dalam semua hal. Nampaknya obsesi tersebut, sedikit banyak, dipengaruhi oleh teori-teori jender yang di usung oleh orang –orang Barat, seperti teori nature [3] dan nurture [4], teori psikoanalisa [5], teori fungsionalis struktural [6], teori konflik [7], teori feminis [8]dengan berbagai macamnya (Feminisme Liberal, feminisme Marxis- Sosialis, feminisme Radikal ) dan teori sosio-biologis [9].
Walaupun keterlibatan wanita di dalam dunia perpolitikan dan kekuasaan masih dalam kerangka pro dan kontra, setiap orang bebas mengungkapkan idenya, selama didasari dengan argumen ilmiah. Namun sangat disayangkan, adanya sebagian pemikir Islam yang mendukung dan memberkati konspirasi Yahudi dan musuh-musuh Islam lainnya untuk merusak ummat Islam dari dalam, secara tidak sadar. Padahal konspirasi tersebut terlihat sangat jelas, khususnya bagi yang peduli dengan problematika umat.
Keterangan dibawah ini, menunjukkan bahwa perbedaan laki-laki dan perempuan mengharuskan kepemimpinan secara umum dipegang laki-laki. Mudah-mudahan yang sedikit ini bisa menggugah kesadaran mereka yang lengah, terlelap dalam tidur panjangnya.
Pertama kali yang perlu diketengahkan disini adalah hadist yang diriwayatkan Abi Bakroh r.a. : “Aku benar-benar mendapatkan suatu nasehat yang sangat bermanfaat di dalam mengambil sikap di dalam tragedi ‘Perang Jamal’ (Perang Unta), ketika Rasululullah saw mendengar berita Bangsa Persia mengangkat putri dari Raja Kisra untuk memegang tampuk kepemimpinan. Beliau bersabda, “Tidak akan sukses suatu bangsa yang mengangkat seorang perempuan sebagai pemimpin mereka “ [10]
Al Hafidh Ibnu Hajar di dalam Fathul Bari menerangkan maksud dari perkataan Abi Bakrah diatas, yang intinya adalah sbb: Pada targedi Perang Unta terjadi perselisihan pendapat antara para sahabat di dalam menentukan sikap terbunuhnya kholifah Utsman bin Affan ra. Disana terdapat dua kubu ; yang pertama adalah para pengikut Ali yang berpendapat bahwa sikap yang harus diambil adalah menangguhkan hukum qishos sampai fitnah bisa dipadamkan dan setelah bersatunya umat Islam dalam satu kepemimpinan. Sedang kubu kedua adalah para pengikut M’awiyah yang berpendapat bahwa untuk memadamkan fitnah dan menyatukan barisan umat Islam, perlu mengejar dan mencari para pembunuh Kholifah Utsman, kemudian menghukum mereka. Dalam hal ini, Abu Bakroh ternyata sependapat dengan kubu yang kedua. Akan tetapi, ketika melihat bahwa kelompok ini akan mengangkat Aisyah ra sebagai pemimpin mereka untuk menghadapi kubu Ali r.a, walaupun harus melakukan bentrok fisik, tiba-tiba Abu Bakroh teringat dengan hadits di atas. Akhirnya beliau memutuskan untuk keluar dari arena pertempuran, seraya menyebarkan hadits diatas kepada siapa yang dijumpainya.
Dalam riwayat lain disebutkan, bahwa Abu Bakroh berkata : “Pada akhirnya saya tahu bahwa orang-orang yang keluar bersama Aisyah, mereka adalah orang-orang yang tidak sukses.” [11]
Dari keterangan diatas, dapat ditarik beberapa kesimpulan :
1. Hadits diatas adalah shahih, dan setiap muslim harus menerimanya.
2. Sikap Abu Bakroh dalam menghadapi kasus di atas, menunjukkan sikap seorang muslim ketika mendengar wasiat Rosulullah saw. Penafsiran yang dipahami Abu Bakroh terhadap hadits di atas, menurut hemat penulis merupakan penafsiran yang paling mendekati kebenaran. Karena beliau adalah salah satu sahabat Rosulullah saw yang senior, dimana kesholehan dan keadilannya telah teruji dan diakui oleh Allah swt. Logikanya, Allah telah memilih orang–orang tertentu untuk menemani, membela serta menjelaskan apa yang disampaikan Rosul-Nya Muhammad saw. Tentunya, para pembela dan pengawal tersebut tidaklah dipilih dari sembarang orang. Sehingga pemahamannya-pun, tentu lebih dipercaya dibanding dengan pemahaman orang–orang sesudahnya. Barangkali sebagian orang belakangan ini akan mengatakan bahwa para sahabat dan ulama-ulama sesudahnya, adalah manusia seperti kita juga, kemungkinan mereka juga bisa salah. Oleh karenanya, kita tidak harus mengikuti mereka, bahkan sebaiknya kita kritisi pemahaman-pemahaman tersebut.
Memang, mereka memang manusia, tapi kemampuan dan keadilan mereka telah di akui oleh Allah dan diridhoi oleh-Nya serta dijanjikan bagi mereka syurga nan abadi sebagaimana yang terdapat di dalam (Q.S. Al- Taubah : 100).
Sejarahpun mencatat kiprah mereka di dalam memperjuangkan Risalah Islam ini, dengan tinta emas. Berbeda dengan orang–orang sekarang yang sudah banyak dinodai dengan dosa dan tersilaukan dengan kemerlapan dunia serta banyak kepentingan yang terselubung. Dan siapa yang mengakui kredebitas mereka??? Makanya, siapakah yang lebih berhak untuk diikuti..??
3. Yang perlu mendapatkan perhatian adalah adanya para sahabat lain yang berbeda pendapat dengan Abu Bakroh di dalam memandang “ fitnah “ tersebut. Untuk mengetahui mengetahui mana yang lebih mendekati kebenaran, perlu kita lihat hadits-hadits lain yang berhubungan dengan kasus di atas, juga pendapat ulama-ulama di dalamnya.
Kedudukan Aisyah ra sebagai istri Rosulullah saw tidak menjamin beliau selalu berada dalam kubu yang benar ketika berselisih dengan para sahabat. Khususnya jika berhadapan dengan sahabat-sahabat senior, semisal Abu Bakar as Siddiq, ayah sendiri, atau Umar bin Khottob dan Ali bin Tholib ra. Apa lagi di dalam urusan-urusan politik, yang memerlukan kejernihan berpikir, memerlukan sikap yang hati-hati dan tidak terburu-buru serta tidak terpancing dengan emosi. Yang jelas, Rosulullah swt telah bersabda demikian ( yaitu hadits tentang kepimimpinan perempuan diatas ) dan telah ditafsirkan oleh salah seorang sahabat senior dalam kasus yang nyata. Dan dalam kenyataannya juga membuktikan bahwa setelah “Perang Unta“ selesai, kubu yang dipimpin Aisyah adalah kubu yang kalah perang. Maka sangatlah tepat sekali apa yang dikatakan Abu Bakroh di atas : “Pada akhirnya saya tahu bahwa orang-orang yang keluar bersama Aisyah, mereka adalah orang-orang yang tidak sukses“ Dan sangat jarang, bahkan mungkin tidak ada, dari kalangan ulama yang membenarkan madzhab Aisyah ra dan Muawiyah dalam fitnah tersebut –walaupun semuanya itu berangkat dari niat yang baik dan masalah ijtihadiyah yang insya Allah semuanya akan mendapatkan pahala–. Yang ada  hanya dua pendapat ulama yang masing masing sangat kuat : yaitu,
- pendapat yang merojihkan sikap Ali dalam memerangi Muawiyah untuk menyatukan umat,
- dan pendapat yang merojihkan sikap Abu Bakroh dan beberapa sahabat senior lainnya seperti, Abu Musa al Asy’ari, Sa’ad bin Abi Waqas, Ibnu Umar, Usamah bin Zaid, Salamah bin Akwah, Abu Huroirah, Zaid bin Tsabit yang enggan ikut campur di dalam persengketaan antar umat Islam yang menyebabkan hilangnya ribuan putra- putra Islam terbaik tersebut. [12]
4. Kekeliruan sikap yang diambil para pendukung Aisyah ra juga pernah diungkap oleh Rosulullah saw dalam beberapa haditsnya. Diantaranya adalah hadits ‘Hauab’ yang menyebutkan bahwa Rosulullah saw bersabda kepada istri-istrinya di mana salah satu dari mereka suatu ketika akan berjalan melewati sumber air “Hauab", dan akan ada seekor anjing yang menggonggonginya sebagai isyarat supaya dia tidak meneruskan perjalan tersebut. Ternyata yang dimaksud dalam hadits tersebut adalah Aisyah ra, ketika hendak menuju Iraq untuk menuntut kematian Utsman kepada Khlifah Ali, ra.
Sementara di sana ada hadits juga yang yang mengisyaratkan agar Ali mengembalikan Aisyah ra, pada tempat tinggalnya lagi kalau terjadi peperangan.
5. Disana ada satu riwayat yang menyebutkan penyesalan yang diungkap Aisyah berhubung dengan keikutsertaannya dalam peristiwa “ Perang Jamal “ tersebut.[13]
Sebelum hadits Abu Bakroh yang tersebut di atas, sebenarnya telah terdapat firman Allah yang tercantum di dalam ( Q.s. al-Nisa’ : 34 )[14]
الرِّجَالُ قَوّاَمُوْنَ عَلَى النِّسَاءِ
“ Laki-laki itu adalah pemimpin (pelindung) bagi perempuan “
Ayat tersebut bisa di jadikan standar untuk menolak kepemimpinan wanita[15]. Dan inilah yang dilakukan oleh KUII di Pondok Gede pada tanggal 3-7 Nopember 1998, yang ditinjau dari sudut ligitimed , kredibilitas rekomendasi KUII ini jauh lebih kuat dari Fatwa MUI, sebagaimana yang dijelaskan oleh KH. A. Kholil Ridwan dari BKSPII yang memimpin langsung komisi C dan sebagai team pengurus. Hal itu di karenakan KUII mewakili seluruh lapisan Umat. [16]
Di sana, juga ada ayat yang mungkin bisa memperkuat permasalahan ini, yaitu firman Allah dalam Q.s. Al Ahzab : 33
وَقَرْنَ فِي بُيُوْتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبََرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُوْلَي
“ Dan hendaknya kamu tetap di rumah dan janganlah engkau berhias dan bertingkah laku seperti orang- orang Jahiliyah dahulu .”
Berkata Imam Tsa’labi : “ Ummul mukminin Aisyah ra, selalu menangis, jika membaca ayat ini, sampai- sampai air matanya membasahi jilbabnya.
Berkata Ibnu Athiah : Aisyah ra. menangis dikarenakan rasa penyesalan yang mendalam, ketika ikut serta dalam perang Jamal [17]
Sebagai sedikit catatan, disana ada beberapa konsekwensi yang harus dikerjakan seorang pemimpin dalam Islam diantaranya : 1. Mengumumkan perang dengan musuh 2. Memimpin pasukan di dalam medan perjuangan 3. Mengadakan janji perdamaian ketika diperlukan 5. Berkhutbah Jumat 6. Menjadi Imam sholat lima waktu dan lain- lainnya, yang wanita terlalu berat untuk dipikul wanita, atau bahkan wanita itu akan menyembunyikan kepalanya di balik bantal sambil terisak-isak nangis, ketika masalah- masalah rumit tidak bisa dipecahkanya, seperti yang pernah di ungkap K.H. Syukron Ma’mun pada dialoq dengan mahasiswa Azhar.
Oleh karenanya, kita sebagai umat Islam harus ekstra hati-hati dalam melibatkan wanita ke kancah perhelatan politik.
Adapun masalah kedua yang perlu diungkapkan disini, sebagai pelengkap dari keterangan diatas, adalah berupa isyarat-isyarat dalam ajaran Islam yang menjelaskan kedudukan wanita sebenarnya dalam menghadapi berbagai ploblematika kehidupan.
I. Rasul dan wanita
Rasul adalah utusan Allah SWT dimuka bumi ini, yang bertugas mengajak manusia dan memimpinnya kepada jalan yang benar. Dalam ajaran Islam, tidak ditemukan bahwa Allah menyerahkan tugas kepemimpinan ini kepada seorang wanita, walaupun betapa hebatnya seorang wanita tersebut. Karena tugas-trugas pemerintahan dalam batas maksimal dan situasi tertentu hanya bisa dijalankan oleh laki-laki. Hal ini memberikan isyarat kesan kepada kita bahwa Allah tidak memlih wanita sebشgai makhluk yang berhak memimpin perjalanan sebuah umat ataupun bangsa. Allah berfirman dalam ( Q.s. Yusuf : 109 )
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ إِلَّا رِجَالًا نُوحِي إِلَيْهِمْ مِنْ أَهْلِ الْقُرَى
“Kami tidak mengutus sebelum kamu, melainkan orang laki-laki yang kami berikan wahyu kepadanya diantara penduduk negeri.”
Berkata Ibnu Katsir : ” Allah telah menjelaskan bahwa Dia tidaklah mengutus rasul kecuali dari golongan laki-laki dan bukan dari perempuan. Ini adalah madzhab jumhur ulama. Pendapat ini sesuai dengan bunyi alur ayat di atas, dan menurut Ahlu Sunnah wal Jamaah –sebagaimana yang diceritakan oleh Syeikh Abul Hasan Ali bin Ismail Al Asy’ari– bahwa tidak ada nabi dari golongan wanita, tetapi sebagian wanita ada yang menjadi shidiqoh. “
Perkataan Ibnu Katsir di atas, secara tegas menolak pendapat yang mengatakan bahwa ( Rijal ) dalam kenabian bukan berarti laki-laki, tapi jenis manusia yang membedakannya dengan Jin, seperti yang dilontarkan oleh DR. Quraish Syihab [18] dan diikuti oleh DR. Nasaruddin Umar [19]. Dengan pemahaman tersebut, berarti nabi bisa berasal dari perempuan, dan pendapat ini jelas tertolak.
Kenabian sangat edentik dengan kepemimpinan, walau tidak dalam semua segi. Tetapi paling tidak, seorang wanita harus memahami isyarat diatas.
II. Wali Nikah dan wanita.
Berkata Imam Syairozi : “ Seorang wanita tidaklah syah nikahnya , kecuali dengan wali laki-laki. “ [20] .
Ini adalah madzhab jumhur ulama dari Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah sebagaimana telah disinyalir oleh Rasulullah saw dalam beberapa hadits diantaranya :
a. Bersabda Rosulullah saw : “Barang siapa dari wanita yang menikah tanpa izin walinya niscaya nikahnya bathil, nikahnya bathil, nikahnya bathil .” [21]
Imam Tirmidzi berkata : ” Hadits ini derajatnya hasan.”
b. Bersabda Rosulullah saw : “ Tidak boleh seorang perempuan menikahkan perempuan dan tidak boleh seorang perempuan menikahkan dirinya sendiri.” [22]
Secara akal sehat, seseorang yang tidak bisa menguasai dirinya sendiri di dalam masalah yang sangat kecil ruang lingkupnya (seperti nikah) yang mungkin hanya melibatkan beberapa gelintir orang, tentunya tidak akan lebih mampu mengusai dan mengatur berjuta juta orang, apalagi di dalam urusan-urusan negara yang berisiko tinggi dan mempertaruhkan jiwa sebuah bangsa. Kalau seandainya ada yang kelihatan mampu, pasti ada laki-laki atau pihak lain yang bermain di balik layar.
III. Imam wanita dalam sholat
Tidak ada satu madzhab pun yang mengatakan, bolehnya seorang wanita menjadi imam kaum laki-laki didalam sholat. Bahkan Ibnu Hazm berkata : “Para ulama telah berkonsesus bahwa seoarang wanita tidak boleh menjadi imam kaum laki-laki dalam sholat. Kalau mereka mengetahui bahwa imamnya adalah seorang wanita, kemudian tetap sholat dibelakangnya , maka sholat mereka batal dan tidak syah secara ijma.” [23]
Menarik sekali , apa yang pernah diungkap oleh KH. As’ad Syamsul Arifin ketika mengsitilahkan pemimpin yang tidak syah dengan “ imam sholat yang sudah kentut “. Sehingga tidak boleh diikutinya lagi. Ini identik dengan apa yang telah di ungkap A. Hasan , pendiri Persatuan Islam di tahun 1940-an ketika meluruskan pendapat presiden Soekarno yang salah : “ Jangankan jadi Imam Kubra ( kepala negara ) menjadi Imam Sughra ( imam sholat ) saja , wanita dilarang “ [24]
Bahkan sebelumnya Ibnu Kholdun pernah mengatakan : “ Sebutan Imam ditarik dari perbandingan khalifah dengan pemimpin(imam ) sholat. Karena Kholifah didikuti orang dan mirip dengan pemimpin sholat jama’ah. Oleh karena itu khalifah disebut dengan Imam Besar. “ [25]
Kalau kita mengedepankan akal dari pada teks-teks al-Quran dan Hadits, bisa saja kita menolak ijma’ diatas, dan mengatakan bahwa wanita berhak menjadi imam kaum laki-laki dalam sholat, karena pada umumnya tak ada perbedaan antara kaum laki-laki dan perempuan dalam ibadah , bahkan suara wanita lebih merdu dan bisa menjadikan suasana sholat lebih khusyu’. Begitulah kalau akal sudah didewakan manusia, dan duniapun akan morat-marit kalau diatur orang berakal seperti ini
IV. Rumah tangga dan wanita.
Didalam kehidupan rumah tangga pun, kepemimpinan diserahkan kepada laki-laki. Seorang istri didalam beberapa masalah yang besar, diharuskan mengembalikan, atau paling tidak harus minta persetujuan laki-laki, sebelum dia (wanita) menentukan sebuah langkah. Dr.Ogest Furill, didalam bukunya ‘Kepemimpinan Wanita’, mengatakan ;
“Perasaan perempuan akan kebutuhannya kepada perlindungan sang suami sangatlah berpengaruh pada kecintaannya. Seorang wanita tidak akan merasakan kebahagiaan hidup kecuali kalau dia mampu menghormati suaminya. Jika mampu berbuat sepert itu, ia juga ingin melihat kelebihan yang dimiliki sang suami , mungkin dibadannya yang tegap, atau dalam keberaniannya, atau dalam pengorbanannya, atau dalam kecepatan berpikir… Sesungguhnya kepemimpinan seorang perempuan pada rumah tangganya tidak akan mungkin mampu membawa kebahagian , karena hal itu menyelisihi hukum alam yang menentukan bahwa seorang laki-laki harus memimpin wanita, karena dia mempunyai kelebihan di dalam otaknya, dalam kecerdasan dan kemauannya yang kuat. Sedang wanita melebihi laki-laki dalam perasaan dan emosionalnya.” [26]
Perasaan kasih mesra yang tinggi, kesediaan untuk memberikan pengorbanan yang luhur, ketelatenan di dalam bekerja, ketelitian di didalam membuat perhitungan, letusan emosi yang wajar dan perasaan -perasaan yang peka dan berkobar-kobar, itulah yang membentuk sumber sentimen wanita yang utuh, limpah dan mudah dirangsang. Sifat-sifat tesebut dibutuhkan seseorang untuk menjadi ibu. Hal ini menunjukkan, bahwa wanita lebih dominan dengan sikap sentimen daripada intelektual. Ini sangat diperlukan dalam mengasuh dan mendidik anak-anak.
Berbeda dengan laki-laki, yang ditugaskan untuk berjuang di dalam gelanggang luar kehidupan, seperti usaha-usaha menentang ancaman-ancaman binatang buas di hutan rimba, atau dalam bentuk menghadapi kekuatan alam yang datang dari langit atau dari dasar bumi, atau dalam bentuk menentang peraturan- peraturan negara yang tidak adil . Semua usaha tersebut dilakukan untuk menjaga sumber-sumber rizki serta melindungi diri dan anak istrinya dari marabahaya yang akan menimpa. Dalam melaksanakan tugas tersebut sang suami tidak memerlukan sentimen dan perasaan yang meluap-luap, karena itu justru akan menghambat tugsnya. Akan tetapi yang diperlukan adalah kekuatan berpikir, intelejen yang tinggi dan kemauan yang gigih dan kuat. [27]
Adapun masalah-masalah kehidupan keluarga yang menunjukkan bahwa laki-lakilah yang berhak memimpin wanita adalah sbb :
-Pertama : Masalah Nafkah
Seorang suamilah yang wajib memberikan nafkah lahir dan batin kepada istri dan seluruh anggota keluarga. Ini memberikan kesan, bahwa yang paling bertanggung jawab terhadap kelangsungan keluarga itulah yang paling berhak memimpin. Allah berfurman:
وعلى المولود له رزقهن وكسوتهن بالمعروف
” Dan kewajiban ayah memberikan makan dan pakaian kepada para ibu (istri-istrinya) secara ma’ruf.” (QS.2:233).
Ayat diatas menjelaskan bahwa yang wajib memberi nafkah adalah suami, bukan istri. Hal ini dikuatkan dengan ayat lain :
الرجال قوامون على النساء بما فضل الله بعضهم على بعض و يما أنفقوا من أموالهم
“Kaum laki laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain (perempuan) dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (QS.4:34).
Imam Qurtuby berkata didalam tafsirnya menyebutkan :
“ 1. Qowamun artinya, merekalah (laki-laki) yang wajib memberikan nafkah dan melindungi para wanita, yang juga berarti bahwa para pemimpin negara, gubernur dan panglima perang dari kaum laki-laki bukan dari wanita.
2. Kemudian Allah SWT menjelaskan juga, bahwa banyaknya laki-laki diatas perempuan didalam warisan karena, laki-laki berkewajiban membayar mahar dan mencari nafkah.
3. Juga karena laki-laki mempunyai kematangan berfikir dan mengatur lebih dari wanita. Oleh karenanya, diberikan hak untuk mengatur kaum wanita
4. Juga karena laki-laki mempunyai kekuatan jiwa dan tabiat–yang tidak dimiliki kaum wanita–yang lebih cenderung keras dan panas dan ini menunjukkan kekuatan. Sedang tabiat kaum wanita lebih bersifat dingin dan basah dan mengesankan lemah lembut. Oleh karenanya, Allah memberikan hak memimpin kepada laki-laki bukan perempuan.”[28]
Kalau kita dapati dalam suatu keluarga, yang seorang istri justru yang memberi nafkah kepada suami dan anggota keluarganya, berarti keluarga tersebut telah menyimpang dari jalur yang telah ditentukan syari’at. Setiap hal yang menyimpang dari syari’at, tentu menyimpang pula dari fitrah kemanusiaan yang telah di tentukan Sang Penciptanya.Kalau demikian yang terjadi, maka suami telah berdosa dan tidak bertanggung jawab dengan amanah yang telah diberikan Allah kepadanya.
Bahkan istri yang ikut berkerja bersama suami kadang akan menimbulkan dampak psikologi bagi suami dan akan mengganggu hubungan keharmonisan keluarga . Apalagi , jika penghasilannya jauh lebih tinggi dari suaminya. Ini bisa mengakibatkan komplikasi psikologik bagi suami, dan dia seringkali akan mengemukakan keluhan- keluhan dalam bentuk kecemasan, depresi dan gangguan psikosomatik . Ataupun dapat juga dalam bentuk perubahan sikap menjadi dingin, pencemburu, pemarah, kasar, bahkan ada yang sampai menyakiti istrinya secara fisik ( verbal and physical abause ) . Perubahan- perubahan tersebut bisa di sebut inferiority complex, atau superiority complek .[29]
Kecuali, kalau suami mempunyai udzur syar’i yang sudah di maklumi, seperti sakit dan sejenisnya. Ini pun harus di jaga supaya tetap terjad kesimbangan mental- emosional hubungansuami istri, agar tidak terjadi sikap “ high profile “ istri. Dalam kasus seperti ini, status suami sebagai pemimpin keluarga tidak berubah, selama istri masih rela tinggal bersamanya.
- Kedua,: Dalam membentuk dan membubarkan rumah tangga (khithbah dan talak),
Laki-laki jugalah yang pertama kali melangkah, mengajak dengan meminang seorang wanita untuk membina suatu rumah tangga, atau yang melakukan ( khitbah ) dan dia pula yang berhak menghentikan dan membubarkannya kembali ( mentalak ) jika dirasa kelangsungannya justru akan membawa bahaya yang lebih besar, walau tanpa persetujuan dari istrinya. Islam tidak memberikan hak kepada wanita untuk membuat seperti itu, kecuali dengan persetujuan suami. Padahal wanita juga bisa berfikir dan bisa membedakan antara baik dan buruk, bahkan terkadang kemampuannya melebihi laki-laki. Walau demikian, tetap tidak boleh memimpin laki-laki.
Salah satu hikmah diberikan hak talak hanya pada suami , adalah sebagaimana yang di sebutkan oleh DR. Yusuf Qosim, bahwa laki- lakilah yang juga harus menanggung akibat perceraian , seperti bertanggung jawab terhadap kehidupan anak-anaknya dan juga harus memberikan uang “ mut’ah “ ( pesangon ) tanda terimakasih kepada istri yang di ceraikanya. Selain itu dia harus membayar mahar , jika ingin menikah lagi dengan perempuan lain, dan betanggung jawab untuk memberikan nafakah kepadanya.[30] Oleh karenanya, sangatlah tepat dan adil kalau hak talak ( cerai ) hanya diberikan suami saja.
-Ketiga, permasalahan safar (bepergian) dan keluar rumah.
Ketika mau keluar rumah atau akan melakukan perjalanan jauh, seorang wanita diwajibkan meminta izin kepada suaminya. Bahkan, tidak diperkenankan bagi wanita muslim untuk bepergian sendiri dalam jarak yang jauh, kecuali harus disertai dengan muhrimnya.
-Keempat, pembagian harta warisan. [31]
Dalam warisan, wanita hanya berhak mendapatkan setengah bagian laki-laki. Hukum ini sangat adil dan mempunyai banyak hikmah, diantaranya bahwa anak laki-laki kelak akan dituntut untuk memberikan mahar kepada wanita yang ingin dinikahinya, serta bertanggung jawab terhadap nafkah keluarganya, dan dituntut untuk membantu kerabatnya yang miskin. Darinya akan mengalir nasab anak-anaknya. Berbeda dengan anak wanita, apabila ia belum pernah nikah, ia menjadi tanggung jawab orangtua/walinya. Dan kalau sudah menikah, ia menjadi tanggung jawab suaminya. Karena itu, pembagian 2:1 sudah adil. Sebab keadilan itu memberikan sesuatu kepada anggota masyarakat sesuai dengan status, fungsi dan jasa masing- masing dalam masyarakat (distributive jusitice).[32]
V. Masalah-masalah lain
Masalah- masalah lain yang menunjukan adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan.
1. Tidak diperkenankan seorang istri untuk puasa sunnah kecuali atas izin suaminya
2. Wanita dalam mengingatkan kesalahan Imam sholat, bertepuk tangan tidak boleh bersuara
3. Tidak boleh gundul ketika tahalul selesai haji
4. Kalau di dalam ajaran Islam dibolehkan sujud kepada manusia, maka seorang wanita akan diperintahkan sujud kepada suaminya
5. Sebaik- baik shaff bagi wanita di dalam sholat adalah paling belakang
6. Sebaik-baik tempat sholat bagi wanita adalah dirumahya tidak di masjid
7. Disamakan dengan para budak dan anak-anak yang tidak wajib sholat jumat.
8. Aqiqah untuk anak perempuan hanya satu kambing berbeda dengan anak laki- laki. Dan masih banyak lagi hukum-hukum dalam Islam yang menunjukkan bahwa seorang wanita harus rela dengan tugas yang diberikan Allahyang sesuai dengan fitroh asliya.
Keterangan diatas, adalah sebagian kecil dari sisi kehidupan ini yang telah dijelaskan aturannya dalam syari’at Islam. Setiap kita diharapkan mampu memproyeksikannya dalam lingkungan yang lebih luas. Karena teks-teks Al-Quran dan Hadits jumlahnya sangat terbatas sekali, tidak mungkin setiap masalah kehidupan ditulis secara mendetail dalam al Quran dan Al Hadits.
Bahkan para wanita barat yang telah masuk Islam dan menemukan ajaran Islam yang sejuk dan aman, justru mengajak wanita-wanita muslimah untuk tetap loyal dengan tugas utamanya dan menjaga eksistensi dirinya dengan menjauhi pergaulan bebas, serta lebih serius menjaga rumah tangga dan membina anak- anak amanat Allah.
Tulisan ini sekedar pengantar dan tentunya, belum tuntas, karena masih banyak masalah politik dan peran perempuan di dalamnya yang belum di sentuh, seperti keikut sertaaan di dalam parlemen atau instansi- instansi pemerintahanan lainnya, berdemontrasi untuk menuntut hak- haknya atau hak kaum muslimin secara keseluruhan, berkiprah di dalam dunia dakwah, menjabat kepala bagian yang berurusan dengan perempuan, dan lain- lainnya . Mudah- mudahan bisa di bahas pada kesempatan lainnya.
Wallahu a’lam
* Makalah ini, adalah tulisan yang dipersiapkan untuk mengisi rubrik tafsir majalah “ al -Mitsaq “ , pada bulan Januari tahun 2000 M, yang belum sempat dipublikasikan. Dan dipresentasikan di dalam pertemuan Bunda Kanduang KMM ( Kesepakatan Mahasiswa Minang ) pada tanggal 23 /8/ 2003 dengan beberapa tambahan dan revisi.
[1] . Anwar Jundi, Harakatu Tahriru al-Mar’ah fi mizani al-Islam , Kairo : Daru al-Anshor, tt, hlm :24
[2] DR. Nasaruddin Umar, MA, Argumen Kesetaraan Jender, Pespektif Al Qur’an , Jakarta : Paramidana, 1999, hlm 42
[3] Teori nature adalah sebuah teori yang beranggapan bahwa perbedaan fungsi dan peran laki- laki dan perempuan ditentukan oleh perbedaan anatomi biologi kedua makhluk tersebut.
[4] Teori nurture adalah yang beranggapam bahwa perbedaan tersebut akibat faktor budaya dalam suatu masyarakat.
[5] Teori psikoanalisa adalah yang menganggap perbedaan tersebut dipengaruhi oleh perkembangan pskoseksual . Teori ini diperkenalkan pertama kali oleh Sigmund Freud ( 1856-1939 )
[6] Teori ini berangkat dari asumsi bahwa suatu masyarakat terdiri atas berbagai bagian yang saling mempengaruhi.
[7] Teori ini berangkat bahwa dalam susunan di dalam masyarakat terdapat beberapa kelas yang saling memperebutkan pengaruh dan kekuasaan . Siapa yang memilki dan menguasai sumber-sumber produksi dan distribusi merekalah yang memiliki peran untuk memainkan peran utama di dalamnya. Teori di perkenalkan oleh Karl Marx.
[8] Teori ini mengatakan bahwa kodrat perempuan tidak di tentukan faktor biologis, melainkan faktor budaya masyarakat. Sistem patriaki perlu ditinjau karena merugikan perempuan. Teori ini dikenalkan oleh Margaret Fuller ( 1810-1850) dan Harriet Martineau.( 1802 –1876 )
[9] Teori ini mengatakan bahwa gabungan faktor biologis dan faktor sosial menyebabkan laki- laki lebih unggul dari pada perempuan. Teori ini dikembangkan oleh Pierre van den Berghe . Keterangan yang lebih lengkap tentang teori- teori di atas bisa di lihat DR. Nasaruddin Umar, MA. op. cit hlm 45-72.
[10] HR.Bukhori, Kitab : Fitan, Bab: Fitnah yang datang bagaikan gelombang samudra .
[11] Ibnu Hajar al Atsqolani, Fathul Bari bi syareh shohih al- Bukhari, Jilid 13, hlm : 67-70
[12] Keterangan lengkap tentang sengketa antara Ali dan Muawiyah serta Aisyah ra, bisa dilihat di buku- buku Aqidah , seperti : Ibnu Arobi, Awasim minal Qowasim , Dr. Safar Hawali di dalam risalah desertasinya Dhohirotul Fikri Al Irja’ dan lain-lainnya.
[13] Sejak makalah ini di tulis ( Januari , 2000 M ) , penulis belum menemukan buku yang membahas peran Aisyah dalam perang Jamal secara tuntas. Tapi beberapa hari yang lalu ( 17/8/2003 ) penulis mendapatkan buku tersebut dengan judul “ Daur al-Mar’ah as Siyasi fi ‘ahdi An Nabi saw wa al-Khulafa’ al-Rosyidin, karya Asma’ Muhammad Ahmad Ziyadah ( Jurusan Sejarah dan Kebudayan Islam , Universitas Daru al-Ulum ) , Kairo : Daru al- Salam, 2001, Cet I. Walaupun kesimpulan penulis, agak berbeda dengan kesimpulan buku tersebut, namun buku ini sangat berharga karena mengupas sejarah dengan meneliti keabsahan riwayat- riwayat yang ada.,
[14] Adapun penafsiran Q.s. An-Nisa : 34 secara lebih luas , telah penulis bahas di dalam makalah yang berjudul “ Kesetaraan Gender menurut Pandangan Al Qur’an “ , yang telah didiskusikan di dalam FORDIAN ( Forum Study Al Qur’an ) pada tanggal 20/8/2003. Walaupun waktu itu, keterangan tentang penafsiran ayat tersebut belum bisa di bahas secara tuntas karena keterbatasan waktu.. Mudah-mudahan ada kesempatan untuk melengkapinya.
[15] Sebagian orang tidak setuju dengan penafsiran di atas, dan mengatakan bahwa ( al Qowwamah ) dalam ayat tersebt hanya terbatas pada kehidupan rumah tangga saja, seperti yang ditulis oleh M. Azzah Darwasah di dalam “ Tafsir al Hadist “ , jilid 8 hlm 104-105, yang dinukil oleh DR. Muzayyanah , MA di dalam makalahnya Paradigma Al- Qur’an terhadap Bias Gender dan Feminisme , hlm 4, dan juga yang di tulis oleh DR. Nasaruddin Umar ( op.cit. hlm 150.) .
[16] Majalah al-Muslimun, edisi 347 Pebruari 1999.
[17] Irni Rohmawati Sq, Tarbiyah Ummahil Mukminin Dalam Al Qur’an ( Surat Al Ahzab dan At Tahrim ) hlm 2 , makalah ini pernah dipresentasikan di dalam FOSMA ( Forum Ummahat Hay Asyir ) pada tanggal 12 September 2002
[18] Di sinilah kadang DR. Quraisy Syihab berseberangan dengan para ahli lainnya. Beliau terbiasa membahas suatu mustholahat ( term ) dari aspek etimologi, bahkan terkadang berhenti dan berasyik masyguk pada makna kebahasaan , termasuk dalam mengartikan kata ‘ kafir “ dengan petani, atau “ rijal “ dengan tidak semata- mata laki- laki ( Republika, 27 dan 28 / 11/ 1998 ) Lihat Majalah Al Muslimun, edisi 346, Januari 1999.
[19] DR. Nasaruddin Umar . op.cit hlm. 154
[20] Imam Syaerozi , At-Tanbih , hlm 158
[21] HR Tirmidzi, Abu Daud, Ibnu Majah, Ad-Darimi, Baihaqi, Ahmad, Al-Hakim .
[22] HR. Ibnu Majah dan Daruquthni
[23] Ibnu Hazm, Marotib al-Ijma’ , hlm, 51
[24] Majalah al- Muslimun, edisi 347, Pebruari 1999.
[25] Ibnu Kholdun, Muqoddimah, 1/388
[26] Ismail Muqoddim, op. cit. jilid 2, hlm .132
[27] Muhammad Qutb, “ Syubhat haula al- Islam “ , hlm : 154-156
[28] Qurtuby, al Jami’ liahkamil Qur’an , 5/110-111
[29] Prof. DR. dr. Dadang Hawari psiakater, Al –Qur’an , Ilmu kedokteran Jiwa dan Ksehatan Jiwa , Jakarta : PT Dana Bhakti Prima Yasa, hlm 231-232.
[30] DR. Yusuf Qosim, Huquq al Usroh fi al- Fiqh al-Islamy, Kairo : Daru Nahdhoh al- ‘Arobiyah, 1987. Cet II , hlm 289.
[31] Keterangan lebih luas bisa di lihat “ Kesetaraan Gender dalam pandangan al - Qur’an “ karya penulis.
[32] Muhammmad Ismail Muqoddim . op.cit. 2 : 136, Prof.Drs. Masfuk Zuhdi , Kapita selekta Hukum Islam , hlm : 201-202.
sumber : www.ahmadzain.com

0 komentar:

Posting Komentar