MUQODDIMAH
Perhatian dunia terhadap nasib perempuan dalam tingkat internasional dan dalam format yang sangat jelas, di mulai pada tahun 1975 M, karena pada waktu itu Majlis Umum PBB menetapkannya sebagai ( Tahun Perempuan International ) Dan pada tahun tersebut diadakan konferensi dunia pertama tentang perempuan, tepatnya di Mexico.[1] Kemudian pada tahun 1979, Majlis Umum PBB mengadakan konferensi dengan tema “Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Againts Woment , yang di singkat CEDAW ( Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan ) .
Namun , tidak semua orang berpikir
seperti, paling tidak bagi seorang DR. Fuad Abdul Karim , justru
menganggapnya sebagai konferensi yang paling berbahaya yang ada
kaitannya dengan perempuan. Beliau menemukan tiga indikasi yang
mengarah kesana, yaitu :
Pertama : munculnya anggapan bahwa agama merupakan pemicu berbagai bentuk diskriminasi terhadap perempuan.
Kedua : mengaitkan hak- hak perempuan
pada seluruh segi kehidupan , yang meliputi : ilmu pengetahuan ,
politik, ekonomi , sosial, budaya dan lain- lainya, tentunya dengan
pola pikir Barat , yaitu mengusung hak- hak perempuan yang yang
berlandaskan dua hal : kebebasan penuh dan persamaan secara mutlak. .
Ketiga : Konferensi tersebut, merupakan
satu satunya kesepakatan yang mengikat kepada seluruh negara yang ikut
menandatanginya , dan harus melasanakan segala isinya, tanpa boleh
mengritik pasal- pasal yang ada di dalamnya.
Berhubung sebagian perempuan muslimat
belum mau mengikuti pola pikiran barat tersebut, maka PBB telah
menetapkan bahwa tahun 2000 M , merupakan batas terakhir untuk seluruh
negara agar ikut menandatangani kesepakatan tersebut, sekaligus tahun
itu di gunakan PBB untuk menetapkan langkah- langkah strategis agar
wanita muslimah dengan segera mengikuti dan mempraktekan kesepakatan
tesebut. [2]
Salah satu langkah strategis yang di
tempuh adalah sosialisasi istilah “ Gender “ . Istilah ini dilontarkan
pertama kalinya pada konferensi Beijing. Pada waktu itu banyak negara
dan utusan yang menolak istilah tersebut , karena tidak ada kejelasan.
Ternyata dikemudian hari ditemukan bahwa “ Gender “ , secara umum
digunakan untuk mengindentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari
segi sosial- budaya. Sementara itu, “ sex “ secara umum digunakan
untukmengindentifikasi perbedaan laki- laki dan perempun dari segi
anatomi biologi. [3]
DR. ‘Ishom Basyir, mentri penerangan
dan wakaf Sudan, menganggap bahwa sosialisasi istilah ‘ jender ‘
merupakan langkah- langkah yang bertujuan untuk menghapus jati diri
umat Islam dengan melalui jalur perundang-undangan. Menurut beliau,
bahwa konsekwensi logis dari defenisi jender di atas, adalah seorang
perempuan berubah menjadi laki- laki, dan seorang perempuan bisa
menjadi seorang suami dan menikah dengan perempuan lain. [4] Dari
kenyataan tersebut , maka tidak aneh kalau DR. Fuad Abdul Karim
memandang bahwa sosialisasi istilah jender ini bertujuan untuk
melegitimasi praktek homosex, yaitu hubungan sex yang dilakukan antara
sesama laki- laki ( gay ) ataupun sesama perempuan ( lesbian ) [5]
Masalah gender ini kemudian mendapat
perhatian masyarakat Dunia Islam , diantaranya Qotar, Yaman, Mesir,
Tunis dan termasuk di dalamnya masyarakat Indonesia juga. Maka pada
tahun 1984 , di tetapkan Undang- undang tentang Pengesahan Konvensi
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan. Dan pada
tahun 1999 di tetapkan Undang- Undang tentang HAM yang isinya sangat
menekankan upaya perlindungan dan penguatan terhadap perempuan menuju
kepada terwujudnya kondisi kesetaraan dan keadilan gender dalam
seluruh aspek kehidupan warga : sosial, ekonomi, dan politik. Dan pada
tahun 2000, presiden mengeluarkan INPRES no. 9 tentang Gender
Mainstreaming ( Pengarus utamaan Gender ) yang menekankan perlunya
pengintegrasian gender dalam seluruh tahap pembangunan nasional :
mulai perencanaan sampai tahab evaluasi.[6]
Kemudian fenomena ini, dikuti dengan
munculnya kajian- kajian ilmiyah tentang gender, walupun masih relatif
sedikit , diantaranya yang paling menyolok adalah “ Argumen Kesataraan
gender Perspektif Al Qur’an “, karya DR. Nasarudin Umar, MA .
Namun sangat disayangkan, usaha- usaha
untuk mengangkat derajat perempuan tersebut tidak dibarengi dengan
kepekaan terhadap konspirasi international untuk menggulung umat Islam
lewat isu gender dan minimnya bekal keilmuan agama. Sehingga, kadang
terlalu semangatnya, bukan saja mereka mengkritisi masalah- masalah yang
seharusnya memang wajar di kritik, tapi bahkan mereka berani
mengkritisi hal- hal yang sudah baku dalam agama Islam, seperti masalah
poligami , warisan, pemegang tanggung jawab dalam keluarga , hak
tholak, hijab, dan lain-lainnya. .
Dalam makalah ini, penulis berusaha
untuk mendiskusikan kembali isu- isu tersebut , dan berusaha untuk
menjawab syubhat- syubhat yang sering dilontarkan dengan menukil
beberapa pernyataan ulama seputar isu- isu tersebut. Karena
terbatasnya waktu dan tempat, penulis hanya membahas beberapa ayat
gender , yang sering dijadikan menjadi bahan justifikasi oleh para
pengusung isu gender. Diantaranya yang ada di dalam surat al Nisa.
SURAT Al NISA’ DAN KESETARAAN GENDER
Al Qur’an secara umum dan dalam banyak
ayatnya telah membicarakan relasi gender, hubungan antara laki- laki
dan perempuan, hak- hak mereka dalam konsepsi yang rapi, indah dan
bersifat adil. Al Qur’an yang diturunkan sebagai petunjuk manusia,
tentunya pembicaraannya tidaklah terlalu jauh dengan keadaan dan
kondisi lingkungan dan masyrakat pada waktu itu. Seperti apa yang
disebutkan di dalam Q.s. Al- Nisa, yang memandang perempuan sebagai
makhluk yang mulia dan harus di hormati, yang pada satu waktu
masyarakat Arab sangat tidak menghiraukan nasib mereka.
Sebelum diturunkan surat Al- Nisa ini,
telah turun dua surat yang sama – sama membicarakan wanita, yaitu surat
Al –Mumtahanah dan surat Al- Ahzab . Namun pembahasannya belum final,
hingga diturunkan surat al-Nisa’ ini. Oleh karenanya, surat ini disebut
dengan surat Al Nisa’ al Kubro , sedang surat lain yang membicarakan
perempuan juga , seperti surat al –Tholak, disebut surat al-Nisa’ al
Sughro. [7]
Surat Al Nisa’ ini benar- benar
memperhatikan kaum lemah, yang di wakili oleh anak- anak yatim,
orang-orang yang lemah akalnya, dan kaum perempuan.
Maka , pada ayat pertama surat al-Nisa’
kita dapatkan , bahwa Allahtelah menyamakan kedudukan laki- laki dan
perempuan sebagai hamba dan makhluk Allah, yang masing- masing jika
beramal sholeh , pasti akan di beri pahala sesuai dengan amalnya.
Kedua-duanya tercipta dari jiwa yang satu ( nafsun wahidah ) , yang
mengisyaratkan bahwa tidak ada perbedaan antara keduanya. Semuanya di
bawah pengawasan Allah serta mempunyai kewajiban untuk bertaqwa
kepada-Nya ( ittaqu robbakum ) .
Kesetaraan yang telah di akui oleh Al
Qur’an tersebut, bukan berarti harus sama antara laki- laki dan
perempuan dalam segala hal.Untuk menjaga kesimbangan alam ( sunnatu
tadafu’ ) , harus ada sesuatu yang berbeda, yang masing-masing mempunyai
fungsi dan tugas tersendiri. Tanpa itu , dunia, bahkan alam ini akan
berhenti dan hancur. Oleh karenanya, sebgai hikmah dari Allah untuk
menciptakan dua pasang manusia yang berbeda, bukan hanya pada bentuk dan
postur tubuh serta jenis kelaminnya saja, akan tetapi juga pada
emosional dan komposisi kimia dalam tubuh. Hal ini akibat membawa efek
kepada perbedaan dalam tugas ,kewajiban dan hak. Dan hal ini sangatlah
wajar dan sangat logis. Ini bukan sesuatu yang di dramatisir sehingga
merendahkan wanita, sebagaimana anggapan kalangan feminis dan ilmuan
Marxis. Tetapi merupakan bentuk sebuah keseimbangan hidup dan kehidupan,
sebagiamana anggota tubuh manusia yang berbeda- beda tapi menuju
kepada persatuan dan saling melengkapi.Oleh karenanya, suatu yang
sangat kurang bijak, kalau ada beberapa kelompok yang ingin
memperjuangkan kesetaraan antara dua jenis manusia ini dalam semua
bidang.
Al Qur’an telah meletakkan batas yang
jelas dan tegas di dalam masalah ini, salah satunya adalah ayat- ayat
yang terdapatdi dalam surat al Nisa. Terutama yang menyinggung konsep
pernikahan poligami, hak waris dan dalam menentukan tanggungjawab di
dalam masyarakat dan keluarga.
Makalah ini bersambung ke makalah 'Meluruskan Pemahaman Tentang Poligami (1)' .......
* Makalah ini dipresentasikan dalam diskusi rutin yang di selenggarakan oleh FORDIAN ( Forum Study Al Qur’an ) di wisma Nusantara , Kairo , 20 Agustus 2003
[1] . Kemudian di ikuti konferensi
berikutnya di Kopenhagen, pada tahun 1980 M dan Konferensi di Nairobi,
Kenya, tahun 1985 M , dan yang terakhir konferensi yang di adakan di
Beijing , Cina pada tahun 1997 M. ( lihat DR. Fuad bin Abdul Karim Ali
Abdul Karim, al Mar’ah al Muslimah baina mudlotu tagyir wa mujatui
taghrir , Majalah Al Bayan, edisi 189 , juli 2003 )
[2] Dr. Fuad, op cit.
[3] Dr. Nasaruddin Umar, MA , Argumen Kesetaraan Jender, Pespektif Al Qur’an , Jakarta : Paramidana, 1999, Cet. I hlm 35.
[4] Majalah al Wa’yu al Islamy, edisi :
[5] Majalah al Bayan, edisi 189, Juli 2003 M.
[6] DR. Siti Musdah Mulia, MA, Gerakan
Feminisme diIndonesia, makalah tersebut disampaikan pada Lokakarya dan
Silaturohmi Kader NU Luar Negri yang diselenggakan oleh PCINU Mesir,
( 30 Juni s/d 1 Juli 2003 , di Kairo. )
[7] Syekh Muhammad al Madani , al
Mujtama’ al Islamy kama tunadhimuhu surat an Nisa’ ( Kairo :
Kementrian Wakaf, Majlis A’la li syuuni Islamiyah , 1991 ) cet.. I ,
hlm. 13-14
sumber : ahmadzain.com
0 komentar:
Posting Komentar