- Written by Adian Husaini
Bagaimana jika kaum Kristen di Indonesia
tidak lagi menggunakan kata ‘Allah’ dalam Bibel dan ritual mereka,
seperti diserukan sejumlah kelompok Kristen di Indonesia? Jawabnya:
tidak apa-apa. Sebab, kaum Kristen Barat, yang menjadi sumber agama
Kristen di Indonesia, juga tidak menggunakan kata ‘Allah’. Lagi pula,
kata ‘Allah’ juga tidak dikenal dalam teks asal kitab kaum Kristen, yang
berbahasa Ibrani dan Yunani kuno.
Juga, hingga kini, kaum Kristen pun
terus berdebat tentang siapa nama Tuhan mereka yang sebenarnya.
Sebelumnya telah dipahami, bagaimana perdebatan seputar nama “YHWH”;
apakah itu nama atau sebutan Tuhan. Sebagian Kristen mengklaim, YHWH
adalah nama Tuhan, tetapi tidak diketahui dengan pasti bagaimana
menyebutnya, sehingga lebih aman dibaca ‘Adonai’. Dalam Bibel bahasa
Indonesia, YHWH diterjemahkan dengan ‘TUHAN’, dalam sebagian Bibel edidi
bahasa Inggris diterjemahkan menjadi ‘the LORD’. Dalam bahasa Arab,
YHWH dialihbahasakan menjadi ‘al-Rabb’. Pandangan jenis ini dianut oleh
Kristen mainstream yang diwakili oleh Lembaga Alkitab Indonesia (LAI).
Tetapi, ada sebagian Kristen yang secara
tegas menyatakan, YHWH adalah nama Tuhan yang bisa dibaca dengan
‘Jehovah’ atau ‘Yahweh’. Di Indonesia, pandangan jenis ini diwakili oleh
sejumlah kelompok yang menolak penggunaan kata Allah, seperti Beit
Yeshua Hamasiakh. Dalam bahasa Inggris ada juga Bibel yang secara tegas
menyebutkan ‘YHWH’ dengan ‘Yahweh’, seperti The New Jerusalem Bible
menulis Keluaran 3:15: “God further said to Moses, “You are to tell the
Israelites, “Yahweh the God of your ancestors, the God of Abraham, the
God of Isaac and the God of Jacob, has sent me to you.”
Membaca ayat tersebut, dipahami, bahwa
Yahweh memang nama Tuhan Israel. Yahweh adalah nama diri, yakni ungkapan
“Yahweh the God of your ancestors…”. Dalam Bibel versi LAI, ayat Bibel
ini ditulis: “TUHAN, Allah nenek moyangmu…”. Maknanya, “TUHAN” adalah
Allah-nya nenek moyang bangsa Israel. Padahal, “TUHAN” disitu bukan nama
diri, tapi sebutan untuk menyebut ‘Tuhan itu’ (the LORD).
Akan tetapi, kita akan menemukan
kejanggalan, jika membaca sejumlah ayat Bibel lain yang menyandingkan
kata Yahweh dan God (dalam edisi Inggris), juga kata TUHAN dan Allah
dalam Bibel versi Indonesia. Misalnya, The New Jerusalem Bible menulis
ayat Kejadian 2:8 sebagai berikut: “Yahweh God planted a garden in
Eden…” Dalam versi LAI, ayat itu ditulis: “Selanjutnya TUHAN Allah
membuat taman di Eden…”
Jadi, pada Keluaran 3:15 tertulis
“Yahweh the God….” atau dalam edisi Indonesia: “TUHAN, Allah nenek
moyangmu…” (ada tanda koma setelah TUHAN). Lebih jelas lagi, bisa
disimak teks Ulangan 6:4 yang berbunyi: “Dengarlah hai orang Israel:
TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa.” (Bandingkan dengan teks Keluaran
6:4 versi Kitab Suci: Indonesian Literal Translation: “Dengarkanlah hai
Israel, YAHWEH Elohim kita, YAHWEH itu Esa.”)
Sementara itu, dalam Kejadian 2:8 dan
banyak ayat Bibel lainnya, tertulis “Yahweh God…” dan “TUHAN Allah”
tanpa tanda koma lagi. Bentuk “TUHAN Allah” menyiratkan, bahwa “TUHAN” –
yang merupakan terjemah dari tetragram “YHWH” bukan lagi nama Tuhan.
Jurtru, ‘Allah’ di situ, seolah-olah merupakan nama Tuhan.
Yahweh bukan kata Benda
Persoalan penggunaan nama Yahweh sebagai nama Tuhan dalam Kristen ternyata juga dipersoalkan kalangan Kristen sendiri. Ada kalangan Kristen yang berpendapat bahwa “YHWH” sebenarnya bukan nama Tuhan. Ensiklopedi Perjanjian Baru, misalnya, menulis tentang Yahweh sebagai berikut:
Yahweh bukan kata Benda
Persoalan penggunaan nama Yahweh sebagai nama Tuhan dalam Kristen ternyata juga dipersoalkan kalangan Kristen sendiri. Ada kalangan Kristen yang berpendapat bahwa “YHWH” sebenarnya bukan nama Tuhan. Ensiklopedi Perjanjian Baru, misalnya, menulis tentang Yahweh sebagai berikut:
“Inilah nama Ibrani
yang berasal dari kata hâwah: “datang, menjadi, ada”, menurut etimologi
popular yang terdapat dalam kisah pewahyuan. Nama yang diberikan Allah
kepada diri-Nya pada waktu penampakan yang dikenal dengan nama “di semak
bernyala” (Kel. 3:14). Diperdebatkan, apakah makna kata itu aktif (“dia
yang ada” – sebagaimana diterjemahkan oleh Septuaginta) atau kausatif
(“dia yang membuat ada”). Bagaimana pun juga, ini bukan kata ganti nama,
bukan kata benda, melainkan kata kerja aksi yang menggambarkan
aktivitas Allah sendiri. Istilah ini tidak mengungkapkan identitas Allah
melainkan menunjukkan Allah dalam aktivitas-Nya yang setia dan selalu
ada bagi umat-Nya. Menurut para ahli bahasa, kata ini berhubungan dengan
bentuk Yau yang di Babel menunjukkanAllah yang disembah manusia yang
bernama demikian; begitulah ibu Musa bernama Yô-kèbèd:
“kemuliaan-Yô”.(Xavier Leon-Dufour, Ensiklopedi Perjanjian Baru,
(Yogyakarta: Kanisius, 1990), hal. 591-592).
Perlu digarisbawahi, menurut penulis
Ensiklopedi Perjanjian Baru tersebut, YHWH “bukan kata ganti nama, bukan
kata benda, melainkan kata kerja aksi yang menggambarkan aktivitas
Allah sendiri.” Pandangan bahwa YHWH bukan kata benda, dijelaskan oleh
The New Jerusalem Bible: “Clearly, however, it is part of the Hebr.
verb ‘to be’ in an archaic form. Some see it as a causative form of the
verb: ‘ he causes to be’, ‘he brings into existence’. But it is much
more probably a form of the present indicative, meaning ‘he is’.” (The
New Jerusalem Bible, foot note Keluaran 3:14, hal. 85).
Shabir Ally dalam bukunya, “Yahweh,
Jehovah or Allah, Which is God’s Real Name?” memberikan komentar
terhadap penjelasan The New Jerusalem Bible tersebut: “If Yahweh means
‘he is’, how can that be the name of God? When, for example, a Muslim
says, “I believe in Allah as He is, “clearly in that statement God’s
name is not ‘he is’. God’s name in that statement is ‘Allah’. Notice
that if you say that God’s name is Yahweh, you are in effect saying that
God’s name is he is. That does not make any sense, Does it?” (hal. 20).
Lebih jauh, kata YHWH muncul dalam
statemen Tuhan kepada Musa dalam Keluaran 3:14; saat Musa bertanya
tentang nama-Nya, lalu Tuhan menjawab yang dalam bahasa Ibrani ditulis:
“ehyeh esher ehyeh.” (I am what I am). Jawaban ini mengindikasikan
seolah-olah Tuhan enggan memberikan nama-Nya kepada Musa. Untuk itulah,
dimasukkan kata Yahweh yang maknanya “he is”. Karena itulah, simpulnya,
“the name of Yahweh is derived through human effort, not expressly
revealed by God.”
Pada sisi lain, adalah menarik mencermati penjelasan tentang Yahweh dalam berbagai versi teks Bibel.
Pertama, versi King
James Version, Keluaran 6:2-3: “And God spoke unto Moses, and said unto
him, I am the LORD. And I appeared unto Abraham, unto Isaac, and unto
Jacob, by the name of God Almighty, but by my name JE-HO-VAH was I not
known to them.”
Kedua, versi The New
Jerusalem Bible, Keluaran 6:2-3: “God spoke to Moses and said to him, ‘I
am Yahweh’. To Abraham, to Isaac and Jacob I appeared as El Shaddai,
but I did not make my name Yahweh known to them.”
Ketiga, versi Kitab
Suci Indonesian Literal Translation, Keluaran 6:2-3: “Dan berfirmanlah
Elohim kepada Musa, “Akulah YAHWEH. Dan Aku telah menampakkan diri
kepada Abraham, kepada Ishak dan kepada Yakub, sebagai El-Shadday, dan
nama-Ku YAHWEH; bukankah Aku sudah dikenal oleh mereka?”
Keempat, versi Lembaga
Alkitab Indonesia (2007), Keluaran 6:1-2: “Selanjutnya berfirmanlah
Allah kepada Musa: “Akulah TUHAN, Aku telah menampakkan diri kepada
Abraham, Ishak dan Yakub sebagai Allah Yang Maha Kuasa, tetapi dengan
nama-Ku TUHAN Aku belum menyatakan diri.”
Kelima, versi Lembaga
Alkitab Indonesia (1968), Keluaran 6:1-2: “Arakian, maka berfirmanlah
Allah kepada Musa, firmannja: Akulah Tuhan! Maka Aku telah menyatakan
diriku kepada Ibrahim, Ishak dan Jakub seperti Allah jang Mahakuasa,
tetapi tiada diketahuinja akan Daku dengan namaku Tuhan.”
****
Bisa dicermati, terjemah Keluaran 6:2-3
versi Indonesian Literal Translation yang menyebutkan “bukankah Aku
sudah dikenal oleh mereka?” seperti menyimpang jauh dari teks-teks lain.
Teks Kitab Keluaran ini menjelaskan bahwa nama
‘Yahweh/Jehovah/TUHAN/Tuhan’ belum diketahui oleh Ibrahim,Isak dan
Yakub. Sementara itu, Kitab Kejadian 26:25, sudah menyebutkan, bahwa
Ishak sudah kenal nama Yahweh. The New Jerusalem Bible menulis: “There
he built an altar and invoked the name of Yahweh.” King James Version
menyamarkan nama Yahweh: “And he builded an altar there, and called upon
the name of the LORD.” Bibel versi LAI menulis ayat ini: “Sesudah itu
Ishak mendirikan Mezbah di situ dan memanggil nama TUHAN.” Sedangkan
Kitab Suci Indonesian Literal Translation menulisnya: “Dan dia
mendirikan mezbah di sana, dan memanggil Nama YAHWEH.”
Jadi, menurut Kejadian 26:25 tersebut,
Ishak sudah mengenal dan menyebut nama Yahweh. Sementara dalam Keluaran
6:1-2 dijelaskan, bahwa nama Yahweh belum dikenal oleh Abraham, Ishak,
dan Yakub. Bibel versi Lembaga Alkitab Indonesia (2007), menulis: “…
Akulah TUHAN, Aku telah menampakkan diri kepada Abraham, Ishak dan Yakub
sebagai Allah Yang Maha Kuasa, tetapi dengan nama-Ku TUHAN Aku belum
menyatakan diri.”
Adalah juga menarik memperhatikan
terjemahan teks Keluaran 6:1-2 versi Lembaga Alkitab Indonesia edisi
tahun 1968, yang ternyata menerjemahkan tetragram ‘YHWH’ dengan ‘Tuhan’,
bukan ‘TUHAN’. Ini menunjukkan adanya diskusi dan perkembangan soal
nama Tuhan yang terus berubah dalam tradisi Kristen. Cara penerjemahan
LAI terhadap YHWH itulah yang menuai kritik dari kelompok pendukung nama
Yahweh, karena menimbulkan kerancuan makna.
Misalnya, terjemahan LAI untuk Matius
4:4 adalah: “Tetapi Yesus menjawab: “Ada tertulis: Manusia hidup bukan
dari roti saja, tetapi dari setiap firman yang keluar dari mulut
Allah.” Dalam kasus ini, YHWH diterjemahkan menjadi Allah, bukan TUHAN.
Menurut Rev. Yakub Sulistyo, penggunaan kata ‘Allah’ oleh LAI adalah
bentuk penyalahgunaan kata Allah dan bisa menimbulkan konflik dengan
orang Muslim. Yakob Sulistyo menulis:
“Dengan umat Kristen
memakai kata “ALLAH, atau Allah, atau allah” maka muncul istilah Allah
Bapa, Allah Anak dan Allah Roh, serta Bunda Allah bagi kalangan Katolik.
Dan ini menyakiti hati umat Islam dan menimbulkan rasa tidak suka,
karena nama Tuhannya dipakai oleh umat Kristen dan Katolik…. Jadi
kebingungan masalah nama ALLAH dan YHWH (YAHWEH) adalah karena orang
Nasrani di Indonesia tidak mampu membedakan antara SEBUTAN (GENERIC
NAME) dan NAMA PRIBADI (PERSONAL NAME).” (Lihat, Rev. Yakub Sulistyo,
‘Allah’ dalam Kekristenan Apakah Salah, 2009, hal. 18-19. NB. Huruf
kapital sesuai buku aslinya).
*****
Kalangan Kristen pendukung penggunaan
kata ‘Allah’ beralasan, bahwa kaum Kristen di Arab sudah menggunakan
kata ‘Allah’ jauh sebelum Nabi Muhammad SAW diutus sebagai Nabi oleh
Allah SWT. Herlianto menulis:
“Di kalangan orang
Arab pengikut Yesus, penggunaan nama ‘Allah’ sudah terjadi sejak awal
kekristenan. Pada Konsili Efesus (431) wilayah suku Arab Harits dipimpin
Uskup bernama ‘Abd Allah’, Inkripsi Zabad (512) diawali ‘Bism, al-llah’
(dengan nama Allah, band. Ezra 5:1, demikian juga Inkripsi ‘Umm
al-Jimmal’ (abad ke-6) menyebut ‘Allahu ghufran’ (Allah yang
mengampuni)… Nama ‘Allah’ bukanlah kata ‘Islam’ melainkan kata ‘Arab’
sebab sudah digunakan sejak keturunan Semitik suku Arab yang menyebut
‘El’ Semitik dalam dialek mereka, dan juga digunakan orang Arab yang
beragama Yahudi dan Kristen jauh sebelum kehadiran Islam… Kalau mau
jujur, nama Ilah/Allah sebenarnya bukan merupakan terjemahan El/Elohim
Ibrani dan Elah/Elaha dalam bahasa Aram, melainkan merupakan dialek
(logat) yang berkembang dalam suku-suku turunan mereka. Jadi,
transliterasi nama El/Elohim/Eloah menjadi Ilah/Allah justru lebih dekat
dibandingkan istilah Yunani Theos dan Inggris God.” (Herlianto, Nama
Allah, Nama Tuhan Yang Dipermasalahkan, Mitra Pustaka, 2006, hal.
26-27).
Bagaimana pandangan Islam terhadap klaim kaum Kristen soal kata ‘Allah’ tersebut?
Islam mengakui, kata ‘Allah’ – sebagai nama Tuhan -- sudah digunakan oleh kaum musyrik Arab dan kaum Kristen. Tetapi, setelah diutusnya Muhammad SAW sebagai Nabi terakhir dan diturunkannya al-Quran sebagai wahyu terakhir, maka Allah telah mengenalkan namanya secara resmi dalam bahasa Arab, yaitu ALLAH: “Innaniy ana-Allahu Laa-ilaaha illaa Ana, fa’budniy wa-aqimish-shalaata lidzikriy.” (Sungguh, Aku ini Allah, tidak ada tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku dan tegakkan shalat untuk mengingat-Ku). (QS Thaha:14).
Islam mengakui, kata ‘Allah’ – sebagai nama Tuhan -- sudah digunakan oleh kaum musyrik Arab dan kaum Kristen. Tetapi, setelah diutusnya Muhammad SAW sebagai Nabi terakhir dan diturunkannya al-Quran sebagai wahyu terakhir, maka Allah telah mengenalkan namanya secara resmi dalam bahasa Arab, yaitu ALLAH: “Innaniy ana-Allahu Laa-ilaaha illaa Ana, fa’budniy wa-aqimish-shalaata lidzikriy.” (Sungguh, Aku ini Allah, tidak ada tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku dan tegakkan shalat untuk mengingat-Ku). (QS Thaha:14).
Tak hanya itu, Al-Quran juga mengkoreksi
penggunaan dan pemaknaan kata Allah yang keliru oleh kaum Kristen,
sehingga Allah diserikatkan dengan makhluk-Nya, seperti Nabi Isa a.s.
yang oleh kaum Kristen diangkat sebagai Tuhan. “Sungguh telah kafirlah
orang-orang yang menyatakan, bahwa Allah adalah salah satu dari yang
tiga.” (QS 5:73).
Logika Islam sangat mudah: Jika ingin
tahu nama Tuhan yang sebenarnya, sifat-sifat-Nya, dan cara yang benar
dalam menyembah-Nya, maka – logisnya -- hanya Tuhan itu sendiri yang
dapat menjelaskannya. Tidak usah bingung, tidak perlu repot-repot dan
tanpa berbelit-belit. Nama Tuhan itu adalah ALLAH. Pakai huruf kecil
atau kapital, nama Tuhan yang sah adalah ALLAH. Tuhan sudah memilih
nama-Nya yang resmi. Nama itu sudah disampaikan kepada Nabi Muhammad
SAW, nabi akhir zaman yang diutus kepada seluruh manusia, bukan hanya
untuk Bani Israil saja (QS 34:28).
Maka, dalam pandangan Islam, amat sangat
tidak patut, jika kata ALLAH – nama Tuhan Yang Maha Suci -- digunakan
secara sembarangan dan diberi sifat-sifat yang tidak sesuai dengan sifat
yang dikenalkan oleh Allah SWT itu sendiri. Karena itulah, kaum Muslim
sangat takut melakukan dosa syirik atau pun mengarang-ngarang nama Tuhan
atau mereka-reka cara-cara ibadah kepada Allah SWT.
Seperti dijelaskan oleh Lembaga Alkitab
Indonesia (LAI), kaum Kristen di alam Melayu-Indonesia baru menggunakan
kata Allah pada abad ke-17. Seyogyanya kaum Kristen tidak perlu
melanjutkan ambisi kaum penjajah untuk mengelabui kaum Muslim agar
berpindah agama melalui penggunaan kata Allah yang tidak sepatutnya.
Karena itu, menyimak kebingungan dan
polemik penggunaan kata Allah di kalangan kaum Kristen di Indonesia yang
tiada ujung, tampaknya akan lebih baik ANDAIKAN kaum Kristen di alam
Melayu-Indonesia, meninggalkan kata ‘Allah’ dan menyebut Tuhan mereka
sebagaimana induk dan asal agama Kristen di Barat, yaitu God, Lord,
Yahweh, Elohim, atau TUHAN. InsyaAllah itu akan lebih baik dan tidak
membingungkan di antara kaum Kristen dan umat beragama lainnya. Wallahu
a’lam. (Bojonegoro, 30 Januari 2013).
sumber : http://adianhusaini.com
0 komentar:
Posting Komentar