- Written by Adian Husaini
Menelusuri persoalan penggunaan nama
Tuhan dalam agama Kristen di Indonesia seperti memasuki ruang perdebatan
yang tiada berujung. Ellen Kristi, dalam bukunya yang berjudul “BUKAN
ALLAH, TAPI TUHAN” (Borobudur Indonesia Publishing: 2008), mengajak kaum
Kristen untuk secara tegas menyebut nama Tuhan mereka dengan “Yahweh”,
bukan menerjemahkan nama Tuhan “YHWH” dengan “TUHAN” seperti yang
dilakukan Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) selama ini.
Ellen Kristi mengajak untuk menyimak satu ayat Bibel berikut versi terjemah LAI: “Ya TUHAN, Tuhan kami, betapa mulianya nama-Mu seluruh bumi,” (Mazmur 8:2,10, teks versi LAI, tahun 2007).
“TUHAN, Tuhan kami”, berarti nama Tuhan
kita itu TUHAN? Beginilah jadinya kalau nama Yahweh dibaca sebagai
TUHAN. Padahal, “Ya Yahweh, Tuhan kami!” tulis Ellen Kristi, yang
mengaku sebagai penganut paham Kristen-Tauhid.
Ellen mengambil contoh lain tentang
keganjilan menerjemahkan “YHWH” menjadi “TUHAN” sebagaimana yang
dilakukan LAI selama ini. Misalnya teks Yeremia 16:21, ditulis: “Sebab
itu, ketahuilah, Aku mau memberitahukan kepada mereka, sekali ini Aku
akan memberitahukan kepada mereka kekuasaan-Ku dan keperkasaan-Ku,
supaya mereka tahu, bahwa nama-Ku TUHAN”.
Contoh lain, teks Yesaya 42:8 tertulis:
“Aku ini TUHAN, itulah nama-Ku; Aku tidak akan memberikan kemuliaan-Ku
kepada yang lain atau kemasyhuran-Ku kepada patung.”
Ellen Kristi mengajak kaum Kristen untuk
dengan tegas menyebut nama Tuhan mereka adalah Yahweh. Tulisnya:
“Sekalipun kita bukan bangsa Israel, kita pun bangsa Timur yang
memandang penting arti sebuah nama, bukan seperti Shakespeare yang
berkata, “What is in a name?” Bayangkan betapa anehnya jika seorang anak
cuma bisa memanggil ayahnya, “Bapak! Bapak!” Tetapi waktu ditanya,
“Siapa nama Bapakmu?” ternyata dia tidak tahu.” (hal. 22-24).
Sebagaimana kita bahas dalam CAP ke-352,
“YHWH” adalah nama Tuhan dalam agama Yahudi yang tidak diketahui cara
membacanya dengan pasti. Oxford Concise Dictionary of World Religions
menulis: “Yahweh: The God of Judaism as the ‘tetragrammaton YHWH’, may
have been pronounced. By orthodox and many other Jews, God’s name is
never articulated, least of all in the Jewish liturgy.” Lihat, John
Bowker (ed), The Concise Oxford Dictionary of World Religions, (Oxford
University Press, 2000).
Dalam Bibel edisi bahasa Inggris versi
King James Version, teks Yeremia 16:21 pada frase terakhir tertulis: “…
and they shall know that my name is The Lord.” Sementara itu, dalam
sebuah manuskrip Kitab al-Muqaddas (Bibel bahasa Arab, tahun 1866),
frase teks tersebut ditulis: “… wa ya’lamuuna anna ismiy huwa al-Rabb.”
Dari berbagai terjemah tersebut, tampak,
tetragram Ibrani “YHWH” diterjemahkan menjadi “TUHAN” (Indonesia),
“The LORD” (Inggris), dan “al-Rabb” (Arab), dengan makna “Tuhan itu”.
Meskipun sejumlah teks Bibel itu menunjukkan bahwa “YHWH” memang
menunjukkan nama Tuhan, tetapi nama itu tidak diketahui dengan pasti
bagaimana membacanya.
Di Indonesia, masalah penerjemahan
“YHWH” ke dalam bahasa Indonesia telah menjadi bahan diskusi panjang
selama beratus tahun. Dalam rangka HUT emas, LAI (tahun 2005),
diterbitkan buku kumpulan makalah seminar berjudul “Satu Alkitab Beragam
Terjemahan”. Dalam makalahnya yang berjudul “Terjemahan Alkitab dalam
Konteks Lintas Bahasa dan Budaya: Menerjemahkan Nama Allah”, Prof. Dr.
Tom Jacobs, S.J., dari Universitas Katolik Sanata Dharma Yogyakarta
memberikan uraian tentang “YHWH” sebagai berikut:
“Nama Allah itu
biasanya disebut “Tetragram” (artinya: Empat huruf). Maksudnya, dalam
bahasa Ibrani asli hanya ditulis huruf mati. Bagaimana keempat huruf itu
diucapkan, atau apa huruf hidupnya, tidak ada orang yang tahu. Malahan,
mulai abad ke-3 s.M. orang sama sekali tidak mengucapkan nama itu lagi,
dan menggantikannya dengan kata yang lain, khususnya adonay
(=”Tuhanku”), kadang-kadang juga dengan elohim (=”Allah”).” (hal. 53).
Dengan menerjemahkan “YHWH” menjadi
“TUHAN” sebagai nama Tuhan dalam bahasa Indonesia, memang bisa memancing
orang untuk terus bertanya “siapa nama Tuhan yang sebenarnya”. Apakah
“TUHAN” itu nama diri (proper name) atau sebutan untuk Yang Maha Kuasa?
Perhatikan terjemahan sejumlah teks Bibel edisi Indonesia versi LAI
(tahun 2007) berikut ini:
“Lalu Musa berkata kepada Allah: “Tetapi apabila aku mendapatkan orang Israel dan berkata kepada mereka: Allah nenek moyangmu telah mengutus aku kepadamu, dan mereka bertanya kepadaku: bagaimana tentang nama-Nya – apakah yang harus kujawab kepada mereka?”
Firman Allah kepada Musa: “AKU ADALAH AKU.” Lagi Firman-Nya: “Beginilah kau katakan kepada orang Israel itu: AKULAH AKU telah mengutus aku kepadamu.”
Selanjutnya berfirmanlah Allah kepada Musa: “Beginilah kaukatakan kepada orang Israel: TUHAN, Allah nenek moyangmu, Allah Abraham, Allah Ishak dan Allah Yakub, telah mengutus aku kepadamu: itulah nama-Ku untuk selama-lamanya dan itulah sebutan-Ku turun-temurun.” (Keluaran 3: 13-15).
Seperti sudah dimaklumi, YHWH – yang
sebenarnya merupakan nama Tuhan orang Israel – masih tetap misterius,
tak pernah bisa diketahui bagaimana membacanya dengan pasti. Prof. Tom
Jacobs menulis:
“Yang disebut Adonai
adalah YHWH. Tetapi, dalam Keluaran 20:7 (=Ul.5:11) dikatakan, “Jangan
menyebut nama TUHAN, Allahmu (YHWH Eloheka), dengan sembarangan.” Dan
untuk menghindari ucapan “dengan sembarangan”, maka lama kelamaan orang
sama sekali tidak lagi mengucapkan nama YHWH dan menggantikannya dengan
Adonai.” (hal. 57).
Cara penerjemahan “YHWH” menjadi “TUHAN”
versi LAI seperti itulah yang dikritik oleh kalangan Kristen yang
menolak penggunaan kata Allah. Dalam Bibel terbitan mereka yang diberi
nama “KITAB SUCI: Indonesian Literal Translation” (Jakarta: Yayasan
Lentera Bangsa, 2008), Teks Keluaran 20:7 itu ditulis sebagai berikut:
“Jangan menyebut nama YAHWEH, Elohimmu, untuk kesia-siaan, karena
YAHWEH tidak akan membebaskan orang yang menyebut Nama-Nya dalam
kesia-siaan.”
King James Version menulis Keluaran 20:7
sebagai berikut: “Thou shalt not take the name of the LORD thy God in
vain; for the LORD will not hold him guiltless that taketh his name in
vain.” Sementara itu, The New Jerusalem Bible (NewYork:Doubleday,
1985) menulis Keluaran 20:7: “You shall not misuse the name of Yahweh
your God, for Yahweh will not leave unpunished anyone who misuse his
name.”
Keliru guna kata ‘Allah’
Yang juga tak kalah pelik dalam masalah nama Tuhan adalah penggunaan istilah ‘Allah’, allah, ilah, Tuhan, dan tuhan dalam Bibel versi LAI. Perhatikan dua naskah teks Bibel (LAI, tahun 2007) berikut ini (perhatikan penggunaan huruf kecil dan kapital):
Keliru guna kata ‘Allah’
Yang juga tak kalah pelik dalam masalah nama Tuhan adalah penggunaan istilah ‘Allah’, allah, ilah, Tuhan, dan tuhan dalam Bibel versi LAI. Perhatikan dua naskah teks Bibel (LAI, tahun 2007) berikut ini (perhatikan penggunaan huruf kecil dan kapital):
“Sebab TUHAN,
Allahmulah segala allah dan Tuhan segala tuhan, Allah yang besar, kuat
dan dahsyat, yang tidak memandang bulu atau pun menerima suap.” (Ulangan
10:17).
“Tentang hal makan daging persembahan berhala kita tahu: “tidak ada berhala di dunia dan tidak ada Allah lain daripada Allah yang esa. Sebab sungguhpun ada apa yang disebut “allah”, baik di sorga maupun di bumi – dan memang benar ada banyak “allah” dan banyak “tuhan” yang demikian – namun bagi kita hanya ada satu Allah saja, yaitu Bapa, yang dari pada-Nya berasal segala sesuatu dan yang untuk Dia kita hidup, dan satu Tuhan saja, yaitu Yesus Kristus, yang oleh-Nya segala sesuatu telah dijadikan dan yang karena Dia kita hidup.” (1 Korintus 8:4-6).
“Tentang hal makan daging persembahan berhala kita tahu: “tidak ada berhala di dunia dan tidak ada Allah lain daripada Allah yang esa. Sebab sungguhpun ada apa yang disebut “allah”, baik di sorga maupun di bumi – dan memang benar ada banyak “allah” dan banyak “tuhan” yang demikian – namun bagi kita hanya ada satu Allah saja, yaitu Bapa, yang dari pada-Nya berasal segala sesuatu dan yang untuk Dia kita hidup, dan satu Tuhan saja, yaitu Yesus Kristus, yang oleh-Nya segala sesuatu telah dijadikan dan yang karena Dia kita hidup.” (1 Korintus 8:4-6).
Coba bandingkan dua teks Bibel versi LAI
tersebut dengan Bibel versi “KITAB SUCI: Indonesian Literal
Translation”. Ulangan 10:17 ditulis sebagai berikut:
“Sebab YAHWEH,
Elohimmu, Dialah Elohim atas segala ilah dan Tuhan atas segala tuan.
Elohim yang besar, yang perkasa dan yang ditakuti, yang tidak memandang
muka, juga tidak menerima suap.”
Sedangkan 1 Korintus 8: 4-6 ditulis:
“Kemudian, berkaitan dengan makanan binatang-binatang yang dikurbankan kepada berhala, kita telah mengetahui bahwa berhala bukanlah apa-apa di dunia, dan bahwa tidak ada Elohim yang lain kecuali Yang Esa. Sebab, jika mungkin ada yang dikatakan ilah-ilah, baik di langit maupun di bumi, sebagaimana memang ada banyak ilah dan banyak tuhan, tetapi bagi kita, ada satu Elohim, yaitu Bapa, daripada-Nyalah segala sesuatu, dan kita ada bagi Dia; dan satu Tuhan, yaitu YESUS Kristus, melalui-Nyalah segala sesuatu, dan kita ada melalui Dia.”
Sedangkan 1 Korintus 8: 4-6 ditulis:
“Kemudian, berkaitan dengan makanan binatang-binatang yang dikurbankan kepada berhala, kita telah mengetahui bahwa berhala bukanlah apa-apa di dunia, dan bahwa tidak ada Elohim yang lain kecuali Yang Esa. Sebab, jika mungkin ada yang dikatakan ilah-ilah, baik di langit maupun di bumi, sebagaimana memang ada banyak ilah dan banyak tuhan, tetapi bagi kita, ada satu Elohim, yaitu Bapa, daripada-Nyalah segala sesuatu, dan kita ada bagi Dia; dan satu Tuhan, yaitu YESUS Kristus, melalui-Nyalah segala sesuatu, dan kita ada melalui Dia.”
Perhatikan, 1 Korintus 8:4-6, LAI
menggunakan ungkapan: “dan memang benar ada banyak “allah” dan banyak
“tuhan” yang demikian – namun bagi kita hanya ada satu Allah saja,”
Sedangkan KITAB SUCI: Indonesian Literal Translation menggunakan
ungkapan: “sebagaimana memang ada banyak ilah dan banyak tuhan, tetapi
bagi kita, ada satu Elohim…”.
Tokoh Kristen Ortodoks Syria, Bambang Noorsena, dalam bukunya “The History of Allah” (Yogyakarta: PBMR Andi, 2005), menolak pelarangan penggunaan kata Allah bagi kaum Kristen. Akan tetapi, Bambang juga mengkritik penggunaan kata “Allah” yang keliru di beberapa bagian dalam terjemahan Bibel versi LAI. Misalnya, penulisan teks berikut ini:
Tokoh Kristen Ortodoks Syria, Bambang Noorsena, dalam bukunya “The History of Allah” (Yogyakarta: PBMR Andi, 2005), menolak pelarangan penggunaan kata Allah bagi kaum Kristen. Akan tetapi, Bambang juga mengkritik penggunaan kata “Allah” yang keliru di beberapa bagian dalam terjemahan Bibel versi LAI. Misalnya, penulisan teks berikut ini:
“Lalu Allah
mengucapkan segala firman ini: “Akulah TUHAN, Allahmu, yang membawa
engkau keluar dari tanah Mesir, dari tempat perbudakan. Jangan ada
padamu allah lain di hadapan-Ku.” (Keluaran 20: 1-3, teks LAI, 2007).
Tentang hal ini, Bambang Noorsena menulis:
“Agaknya, kalangan umat Kristen di Indonesia kurang menyadari fakta bahwa sebutan Allah bukanlah kata benda umum. Pada umumnya, mereka menyamakan sebutan Allah dengan kata god dalam bahasa Inggris yang bisa dimaknai tunggal (apabila ditulis dengan “G” besar, God) atau makna ilah-ilah lain (bila ditulis dengan “g” kecil, god) atau dijamakkan (gods). Kecenderungan ini telah membuat pemaknaan kata Allah dalam bahasa Indonesia umat Kristen terasa janggal dan asing di telinga sebagain besar pemakai bahasa Indonesia yang mayoritas berlatarbelakang Muslim. Bahkan ada penulis Muslim yang mengeluh penggunaan sebutan Allah di lingkungan Kristen sebagai kata benda umum tersebut dangat menghina dan menyakiti hati mereka.” (hal. 40).
Tentang hal ini, Bambang Noorsena menulis:
“Agaknya, kalangan umat Kristen di Indonesia kurang menyadari fakta bahwa sebutan Allah bukanlah kata benda umum. Pada umumnya, mereka menyamakan sebutan Allah dengan kata god dalam bahasa Inggris yang bisa dimaknai tunggal (apabila ditulis dengan “G” besar, God) atau makna ilah-ilah lain (bila ditulis dengan “g” kecil, god) atau dijamakkan (gods). Kecenderungan ini telah membuat pemaknaan kata Allah dalam bahasa Indonesia umat Kristen terasa janggal dan asing di telinga sebagain besar pemakai bahasa Indonesia yang mayoritas berlatarbelakang Muslim. Bahkan ada penulis Muslim yang mengeluh penggunaan sebutan Allah di lingkungan Kristen sebagai kata benda umum tersebut dangat menghina dan menyakiti hati mereka.” (hal. 40).
Menurut Bambang Noorsena, penggunaan
kata “allah” dengan huruf kecil, sebagai kata benda umum, secara
gramatikal, tidak bisa dibenarkan. Sebab, kata “al” yang mendahului kata
‘Allah’ adalah “lam ta’rif”, yang sudah menunjuk kepada satu-satunya
Ilah yang sebenarnya. Demikian juga, lanjutnya, menempatkan kata milik
ku, mu, mereka, di belakang kata ‘Allah’ juga salah. Seperti kata the
wife bila digabung dengan my, maka ‘the’ harus hilang sehingga menjadi
my wife. Oleh karena itu, yang benar adalah Ilahku, Ilah kita, Ilah
mereka; bukan Allahku, Allah kita, dan Allah mereka. Demikian kritik
Bambang Noorsena. (hal. 40-41).
Mengapa rumit?
Pangkal kerumitan penyebutan nama Tuhan dalam Yahudi dan Kristen – dalam perspektif Islam – bermula ketika mereka menolak kenabian Muhammad SAW dan kewahyuan al-Quran. Upaya para teolog Kristen di Indonesia untuk membuktikan keabsahan penggunaan kata Allah dalam Bibel versi Indonesia menampakkan hal itu. Bahkan, ada yang keliru dalam memahami konsep Islam tentang Tuhan dan Allah, karena hanya mengutip perkataan sebagian orang dari kalangan Muslim.
Herlianto, misalnya, dalam bukunya yang berjudul “Gerakan Nama Suci: Nama ALLAH yang Dipermasalahkan” (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), menulis: “Yang menarik adalah pernyataan tokoh Islam Ulil Abshar Abdala yang mengatakan bahwa sekitar 70 % isi Alquran bersumber dari Alkitab.” (hal. 150).
Mengapa rumit?
Pangkal kerumitan penyebutan nama Tuhan dalam Yahudi dan Kristen – dalam perspektif Islam – bermula ketika mereka menolak kenabian Muhammad SAW dan kewahyuan al-Quran. Upaya para teolog Kristen di Indonesia untuk membuktikan keabsahan penggunaan kata Allah dalam Bibel versi Indonesia menampakkan hal itu. Bahkan, ada yang keliru dalam memahami konsep Islam tentang Tuhan dan Allah, karena hanya mengutip perkataan sebagian orang dari kalangan Muslim.
Herlianto, misalnya, dalam bukunya yang berjudul “Gerakan Nama Suci: Nama ALLAH yang Dipermasalahkan” (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), menulis: “Yang menarik adalah pernyataan tokoh Islam Ulil Abshar Abdala yang mengatakan bahwa sekitar 70 % isi Alquran bersumber dari Alkitab.” (hal. 150).
Konsep al-Quran seperti ditulis Pendeta
Herlianto itu sangat asing bagi umat Muslim. Sebab, al-Quran adalah
“tanzil” yang lafadz dan maknanya diyakini berasal dari Allah. Al-Quran
bukan ditulis atau dikarang seseorang yang menjiplak isi Bibel, meskipun
ada berbagai kemiripan isi al-Quran dengan Bibel. Tentang
tuduhan-tuduhan bahwa al-Quran adalah jiplakan dari Bibel sudah banyak
dijernihkan oleh sarjana Muslim. Juga, saintis Barat seperti Dr. Maurice
Bucaille dalam buku terkenalnya, Bible, Quran, and Science, sudah
menulis tentang masalah ini.
Tentang nama Tuhan, konsep Islam berbeda
dengan konsep Yahudi/Kristen yang tidak mementingkan nama Tuhan. Dalam
konsepsi Islam, nama Tuhan sangat penting dan bersumber dari wahyu,
bukan hasil konstruksi budaya. Bagi umat Muslim, Allah adalah nama diri
(proper name) dari Dzat Yang Maha Kuasa, yang memiliki nama dan
sifat-sifat tertentu. Sifat-sifat Allah dan nama-nama-Nya pun sudah
dijelaskan dalam al-Quran, sehingga tidak memberikan kesempatan kepada
terjadinya spekulasi akal dalam masalah ini.
Memang, al-Quran menyebutkan, kata
’Allah’ sudah digunakan sebelum turunnya Al-Quran. Tetapi, itu digunakan
dalam makna yang keliru. Allah dianggap hanyalah salah satu Tuhan kaum
Musyrik. Kaum Kristen juga menggunakan kata Allah dalam makna Trinitas
dan mengangkat Nabi Isa sebagai Tuhan. Karena itulah, al-Quran
memerintahkan Nabi Muhammad SAW: ”Katakanlah, wahai Ahli Kitab (Yahudi
dan Nasrani) marilah kita kembali kepada kalimah yang sama (kalimatun
sawa’) antara kami dan kalian, yakni bahwa kita tidak menyembah selain
Allah dan kita tidak menyekutukan Allah dengan apa pun, dan bahwa kita
tidak menjadikan satu sama lain sebagai Tuhan-tuhan selain Allah. Jika
mereka menolak, maka katakanlah, ”Saksikanlah, bahwa kami adalah
orang-orang Muslim.” (QS 3:64).
Tuhan orang Islam adalah jelas, yakni
Allah, yang SATU, tidak beranak dan tidak diperanakkan, dan tidak ada
sesuatu pun yang serupa dengan Dia. (QS 112). Imam Ibn Katsir dalam
Kitab Tafsir-nya menulis bahwa ‘Allah’ adalah ‘al-ismu al-a’dhamu’.
Allah juga merupakan nama yang khusus dan tidak ada sesuatu pun yang
memiliki nama itu selain Allah Rabbul ‘Alamin. Bahkan, sejumlah ulama
seperti Imam Syafii, al-Khithabi, Imam Haramain, Imam Ghazali, dan
sebagainya menyatakan, bahwa lafaz Allah adalah isim jamid, dan tidak
memiliki akar kata. Menurut para ulama ini, kata Allah bukan ‘musytaq’
(turunan dari kata asal). Salah satu bukti bahwa lafaz Allah tidak
”musytaq” adalah jika ditambahkan ”huruf nida” (huruf panggilan, seperti
huruf ”ya nida’” maka tidak berubah menjadi ”Yaa ilah”, tetapi tetap
”Yaa Allah”. Sedangkan jika huruf nida ditambahkan pada kata
”al-Rahman”, misalnya, maka akan berubah menjadi ”Yaa Rahman” (perangkat
ta’rif-nya hilang). (Lihat, Ibn Katsir, Tafsir al-Quran al-‘Adhim,
(Riyadh: Maktabah Darus Salam, 1994), 1:40)
Konsep dan nama Tuhan bagi umat Muslim
sangat sederhana. Muslim yakin, bahwa Tuhan Yang Esa telah
memperkenalkan namanya melalui wahyu yang diturunkan kepada Nabi
terakhir (Muhammad SAW). Nama ”Allah” – dan nama-nama lain dalam
al-Asmaaul Husna -- adalah nama-nama yang dipilih oleh Tuhan Yang Esa
agar disampaikan oleh Nabi terakhir kepada seluruh umat manusia. Muslim
tidak perlu berspekulasi tentang nama Tuhan. Semua nama tersebut dalam
wahyu (al-Quran dan Hadits Nabi SAW). Karena itulah, konsep syahadat
Islam menegaskan pengakuan bahwa Muhammad SAW adalah utusan Allah.
Ada kemiripan kisah Musa dalam Kitab
Keluaran dengan kisah Musa dalam QS Thaha. Dalam keyakinan Muslim,
al-Quran adalah wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Sebagian
isinya berisi cerita para Nabi yang mengkoreksi cerita-cerita versi
sebelumnya. Dalam versi Yahudi/Kristen, Muhammad SAW dianggap telah
menulis al-Quran dengan menjiplak Bibel. Karena itu, tinggal pilih,
percaya yang mana?
Dalam Keluaran 3:14 diceritakan: ”Firman
Allah kepada Musa: “AKU ADALAH AKU.” Lagi Firman-Nya: “Beginilah kau
katakan kepada orang Israel itu: AKULAH AKU telah mengutus aku
kepadamu.”
Sedangkan dalam al-Quran surat Thaha:14
disebutkan: “Innaniy ana-Allahu Laa-ilaaha illaa Ana, fa’budniy
wa-aqimish-shalaata lidzikriy.” (Sungguh, Aku ini Allah, tidak ada tuhan
selain Aku, maka sembahlah Aku dan tegakkan shalat untuk mengingat-Ku).
Wallahu a’lam. (Depok, 23 Januari 2013).
sumber : http://adianhusaini.com
0 komentar:
Posting Komentar