- Written by Adian Husaini
Januari 2013 ini, Sultan Selangor
menegaskan kembali larangan penggunaan kata ’Allah’ oleh non-Muslim.
Perdebatan kembali memanas. Di Indonesia, sejumlah kelompok Kristen
sudah mulai meninggalkan kata Allah. Bahkan ada geraja yang melakukan
ritual pengusiran Roh Allah karena dianggap sebagai Roh Setan.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Pada awal Januari 2013 ini, banyak kalangan di Malaysia dan Indonesia dibuat terkejut saat Sultan Negeri Selangor, Sharafuddin Idris Shah, mengeluarkan dekrit yang menegaskan, bahwa kata Allah merupakan kata suci khusus umat muslim dan tidak boleh digunakan oleh agama selain Islam. Di Selangor. Dekrit ini bukan baru. Tahun 1998, Negeri Selangor sudah menetapkan undang-undang yang melarang penggunaan kata Allah oleh non-Muslim.
Dekrit Sultan Selangor itu mengangkat
kembali kontroversi penggunaan kata Allah di Malaysia yang sudah muncul
sejak awal 1980-an dan kemudian merebak tahun 2007. Kasus ini bermula
saat pihak Katolik menolak larangan penggunaan kata Allah oleh
pemerintah Malaysia. Mereka membawa kasus ini ke pengadilan. Pada 21
Desember 2009, Mahkamah Tinggi Kuala Lumpur membenarkan penggunaan kata
''Allah'', sebagai pengganti kata Tuhan oleh media Katholik Herald-The
Catholic Weekly. Akan tetapi, pemerintah Malaysia berkeberatan dengan
keputusan tersebut dan mengajukan Banding ke peradilan yang lebih
tinggi.
Media Katolik Herald edisi bahasa
Inggris memang tidak menggunakan kata Allah. Tapi, kata Allah mereka
gunakan untuk edisi bahasa Melayu. Karena itulah, kaum Muslim di
Malaysia melihat, ini salah satu indikasi jelas, bahwa ada tujuan ”misi
Kristen” dibalik penggunaan kata Allah tersebut. Tapi, kaum Katolik di
Malaysia berkeberatan dengan larangan pemerintah atas penggunaan kata
"Allah" di media mereka. Logika yang sering dimunculkan: mengapa di Arab
dan Indonesia boleh, tetapi di Malaysia tidak boleh?
Menurut I.J. Satyabudi, dalam bukunya,
Kontroversi Nama Allah (Jakarta: Wacana Press, 2004:1), pelarangan
penggunaan kata ’Allah’ oleh non-Muslim di Malaysia sudah bermula pada
awal 1980-an. Ketika itu, umat Muslim melakukan kampanye pelarangan bagi
umat Kristen untuk menggunakan nama ’Allah’ sebagai sebutan bagi
Pribadi Dia Yang Maha Tinggi. Umat Muslim yakin, ’Allah ’ adalah Nama
Diri, dan bukan sekedar untuk Tuhan yang bermakna ”Tuhan itu” (al-ilah).
Kaum Kristen harusnya tidak menyebut ”Allahku”, tetapi ”ilahku”. Tahun
1982, pemerintah federal Malaysia dan beberapa negara bagian secara
resmi mengeluarkan larangan penggunaan kata Allah oleh non-Muslim.
Satyabudi menulis:
”Di satu sisi, umat Muslim Malaysia bertindak benar dengan melarang umat Kristen menyebut ”Allahku, Allahmu” karena dalam keyakinan iman umat Muslim, nama Allah itu memang adalah sebuah Nama Diri. Tetapi pada sisi yang lain, umat Muslim di Malaysia juga sebaiknya memahami iman Kristen, karena iman Kristen meyakini bahwa nama Allah adalah bukan Nama Diri dari Pribadi Dia Yang Mahatinggi tetapi hanyalah sebuah ”Nama Sebutan Gelar saja”. (hal. 3)
”Di satu sisi, umat Muslim Malaysia bertindak benar dengan melarang umat Kristen menyebut ”Allahku, Allahmu” karena dalam keyakinan iman umat Muslim, nama Allah itu memang adalah sebuah Nama Diri. Tetapi pada sisi yang lain, umat Muslim di Malaysia juga sebaiknya memahami iman Kristen, karena iman Kristen meyakini bahwa nama Allah adalah bukan Nama Diri dari Pribadi Dia Yang Mahatinggi tetapi hanyalah sebuah ”Nama Sebutan Gelar saja”. (hal. 3)
Di Indonesia
Beda dengan Malaysia, di Indonesia, gugatan terhadap penggunaan kata ’Allah’ oleh kaum Kristen, justru datang dari kalangan Kristen sendiri. Tahun 1999, muncul kelompok Kristen bernama ”Iman Taqwa Kepada Shirathal Mustaqim” yang menyerukan penghentian penggunaan kata ’Allah’ oleh kiaum Kristen. Setelah mengganti nama menjadi Bet Yesua Hamasiah (BYH), kelompok ini menerbitkan Bibel sendiri dengan nama ”Kitab Suci Torat dan Injil”. Belakangan, terbit juga Bibel tanpa kata Allah, bernama ”Kitab Suci Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru – Indonesian Literal Translation (ILT), terbitan Yayasan Lentera Bangsa, Jakarta, 2008).
Beda dengan Malaysia, di Indonesia, gugatan terhadap penggunaan kata ’Allah’ oleh kaum Kristen, justru datang dari kalangan Kristen sendiri. Tahun 1999, muncul kelompok Kristen bernama ”Iman Taqwa Kepada Shirathal Mustaqim” yang menyerukan penghentian penggunaan kata ’Allah’ oleh kiaum Kristen. Setelah mengganti nama menjadi Bet Yesua Hamasiah (BYH), kelompok ini menerbitkan Bibel sendiri dengan nama ”Kitab Suci Torat dan Injil”. Belakangan, terbit juga Bibel tanpa kata Allah, bernama ”Kitab Suci Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru – Indonesian Literal Translation (ILT), terbitan Yayasan Lentera Bangsa, Jakarta, 2008).
Bibel versi BYH mengganti kata "Allah"
menjadi "Eloim", kata "TUHAN" diganti menjadi "YAHWE"; kata "Yesus"
diganti dengan "Yesua", dan "Yesus Kristus" diubah menjadi "Yesua
Hamasiah". Berikutnya, muncul lagi kelompok Kristen yang menamakan
dirinya "Jaringan Gereja-gereja Pengagung Nama Yahweh" yang menerbitkan
Bibel sendiri dengan nama "Kitab Suci Umat Perjanjian Tuhan ini".
Kelompok ini pun menegaskan, "Akhirnya nama "Allah" tidak dapat
dipertahankan lagi."
BYH mengedarkan brosur berjudul ”Siapakah Yang Bernama Allah Itu?” yang isinya mengecam penggunaan kata Allah oleh kaum Kristen. Mereka menyebut penggunaan kata ”Allah” dalam Kristen sebagai satu bentuk penghujatan kepada Tuhan. Mereka membuat seruan: ”Stop! Stop! Stu-u-op! Jangan diteruskan hujatan Anda. Kalau Anda semula tidak tahu, pasti akan diampuni, tetapi sekarang melalui pembacaan traktat pelayanan ini, Anda menjadi tahu. Maka jangan diterus-teruskan! (Dikutip dari buku Herlianto, Siapakah yang Bernama Allah Itu? (Jakarta: Badan Penerbit Kristen, 2005, cetakan ke-3), hal. 4).
BYH mengedarkan brosur berjudul ”Siapakah Yang Bernama Allah Itu?” yang isinya mengecam penggunaan kata Allah oleh kaum Kristen. Mereka menyebut penggunaan kata ”Allah” dalam Kristen sebagai satu bentuk penghujatan kepada Tuhan. Mereka membuat seruan: ”Stop! Stop! Stu-u-op! Jangan diteruskan hujatan Anda. Kalau Anda semula tidak tahu, pasti akan diampuni, tetapi sekarang melalui pembacaan traktat pelayanan ini, Anda menjadi tahu. Maka jangan diterus-teruskan! (Dikutip dari buku Herlianto, Siapakah yang Bernama Allah Itu? (Jakarta: Badan Penerbit Kristen, 2005, cetakan ke-3), hal. 4).
Menurut I.J. Satyabudi, kampanye
kelompok BYH ini terlihat cukup berhasil menimbulkan keresahan warga
Gereja, dan bahkan berhasil mempengaruhi sebagian umat Kristen untuk
meninggalkan sebutan ’Allah’ dalam Gereja dan menghilangkan sebutan
’Allah’ dalam teks lagu-lagu rohani. Bahkan ada sebuah Gereja di Jakarta
yang beranung di bawah GBI (Gereja Bethel Indonesia) yang melakukan
pengusiran Roh Allah yang dianggap sebagai Roh Setan di dalam nama Tuhan
Yesus Kristus. (Satyabudi, Kontroversi Nama Allah, hal. 6).
Satyabudi memaparkan keresahan yang terjadi di kalangan umat Kristen Indonesia:
”Selanjutnya wacana
penggantian nama Allah menjadi Eloim ini menjadi isu laporan berita
panas di hampir semua tabloid dan majalah Kristen. Umat Kristen terpecah
dan kebingungan untuk memilih dan berpihak pada nama Allah ataukah
Eloim. Ada beberapa denominasi Gereja Protestan yang dengan bangga telah
memproklamirkan bahwa Gerejanya tidak lagi menggunakan nama Allah,
tetapi nama Eloim! Bahkan terjadi pendirian-pendirian Gereja-gereja
Protestan baru yang terbentuk oleh sekalompok sempalan umat Kristen
penyembah khusus nama Eloim ini.” (Ibid, hal. 7).
Bermaksud meredam kontroversi, Lembaga
Alkitab Indonesia (LAI) -- sebagai lembaga resmi penerjemah Bibel edisi
bahasa Indonesia – membuat edaran. Isinya, kaum Kristen di wilayah
Nusantara sudah menggunakan kata ’Allah’ sejak terbitan pertama Injil
Matius dalam bahasa Melayu (terjemahan Albert Cornelis Ruyl, 1692).
Penjelasan LAI, tertanggal 21 Januari
1999, ditandantangani oleh Sekretaris Umumnya, Supardan. Surat LAI ini
penulis kutip dari buku Waspadalah terhadap Sekte Baru, Sekte Pengagung
Yahweh, karya Pdt. A.H. Parhusip. Sang pendeta tampaknya sangat geram
terhadap sekte ini, sehingga menulis: ”Saya tahu kebusukan dan kejahatan
Pengagung YAHWEH, yakni: Hanya untuk menghilangkan sebutan ”Allah” dari
Alkitab, maka dibuatlah ’Kitab Suci’ yaitu Alkitab palsu yang di
dalamnya sebutan ”Tuhan YAHWEH” (=Tuhan TUHAN) begitu mubazir. Bodoh!
Untuk itulah saya serukan: Kalau mau bodoh, bodohlah; tetapi jangan
terlalu bodohlah kawan!”
Meskipun LAI sudah mengeluarkan edaran
resmi, para penggugat nama Allah dalam Kristen masih muncul. Tahun
2009, terbit lagi buku berjudul “Allah” dalam Kekristenan, Apakah Salah,
karya Rev. Yakub Sulistyo, S.Th., M.A., (2009). Buku ini menyerukan:
“Kamus Theologia Kristen sendiri sudah sangat jelas menulis bahwa: Allah
itu berasal dari Arab yang artinya Keberadaan Tertinggi dalam agama
Islam, jadi kalau Anda sebagai orang Kristen atau Katolik (Nasrani) yang
baik, Anda seharusnya menghormati iman orang lain (umat Islam), dengan
tidak mencampur-adukkan dengan iman Nasrani, sehingga menjadi
Sinkretisme. (hal. 43).
Akar masalah
Mengapa kaum Kristen di wilayah Melayu-Indonesia menggunakan kata ’Allah’ untuk menyebut nama Tuhan mereka? Padahal, Kristen yang datang ke wilayah ini berasal dari Kristen Barat, yang tidak mengenal kata ’Allah’? Alasannya, seperti disebut Samin Sitohang dalam buku Siapakah Nama Sang Pencipta? Menjawab Kontroversi Sekitar Pemakaian Nama Allah dalam Alkitab, adalah “pertimbangan misiologis”.
Akar masalah
Mengapa kaum Kristen di wilayah Melayu-Indonesia menggunakan kata ’Allah’ untuk menyebut nama Tuhan mereka? Padahal, Kristen yang datang ke wilayah ini berasal dari Kristen Barat, yang tidak mengenal kata ’Allah’? Alasannya, seperti disebut Samin Sitohang dalam buku Siapakah Nama Sang Pencipta? Menjawab Kontroversi Sekitar Pemakaian Nama Allah dalam Alkitab, adalah “pertimbangan misiologis”.
“Jadi, jika Alkitab bahasa Indonesia
menggunakan Allah untuk nama Sang Pencipta, itu berarti Roh Allah sedang
menyiapkan umat-Nya yang berasal dari golongan lain untuk menerima
Injil karena mereka tidak perlu harus membuang Allah untuk mendapatkan
nama Sang Pencipta yang baruhal. 100-101).
Kontroversi nama Tuhan dalam Kristen
berakar dari ketiadaan konsep nama Tuhan yang baku dalam Kristen. Di
Barat, Tuhan Kristen disebut ’God’ atau ’Lord’. Di Bali, kaum Hindu
memprotes penggunaan nama Tuhan oleh kaum Kristen yang dimiripkan dengan
sebutan Tuhan dalam agama Hindu, seperti ”Sang Hyang Yesus”, ”Sang
Hyang Allah Aji”, “Ratu Biang Maria,” dan sebagainya.” (Majalah Media
Hindu, edisi November 2011). Di Arab, sebelum Islam, kata ‘Allah’ sudah
digunakan dengan makna Tuhan versi Kristen dan Tuhan yang punya sekutu
(syirik).
Problem ketiadaan konsep baku dalam nama
Tuhan Kristen itu berakar dari tradisi Yudaisme yang tidak menyebut
nama Tuhan. Oxford Concise Dictionary of World Religions menulis:
“Yahweh: The God of Judaism as the ‘tetragrammaton YHWH’, may have been
pronounced. By orthodox and many other Jews, God’s name is never
articulated, least of all in the Jewish liturgy.” Lihat, John Bowker
(ed), The Concise Oxford Dictionary of World Religions, (Oxford
University Press, 2000).
Jadi, ucapan “Yahweh” sebagaimana diucapkan sebagian kalangan Yahudi dan Kristen saat ini adalah sebuah bacaan yang bersifat spekulatif terhadap empat huruf mati YHWH. Harold Bloom, menulis, bahwa YHWH adalah nama Tuhan Israel yang tidak pernah bisa diketahui pengucapannya: “The four-letter YHWH is God’s proper name in the Hebrew Bible, where it appears some six thousand times. How the name was pronounced we never will know.” (Harold Bloom, Jesus and Yahweh, (New York: Berkley Publishing Groups, 2005).
Jadi, ucapan “Yahweh” sebagaimana diucapkan sebagian kalangan Yahudi dan Kristen saat ini adalah sebuah bacaan yang bersifat spekulatif terhadap empat huruf mati YHWH. Harold Bloom, menulis, bahwa YHWH adalah nama Tuhan Israel yang tidak pernah bisa diketahui pengucapannya: “The four-letter YHWH is God’s proper name in the Hebrew Bible, where it appears some six thousand times. How the name was pronounced we never will know.” (Harold Bloom, Jesus and Yahweh, (New York: Berkley Publishing Groups, 2005).
Karena itulah, menurut Pdt. Parhusip
kaum Kristen boleh menyebut nama Tuhan sesuai dengan apa yang terbersit
dalam hati mereka. Ia menulis dalam buku kecilnya: ”Lalu mungkin ada
yang bertanya: Siapakah Pencipta itu dan bagaimanakah kalau kita mau
memanggil Pencipta itu? Jawabnya: Terserah pada Anda! Mau panggil;
Pencipta! Boleh! Mau panggil: Perkasa! Silahkan! Mau panggil: Debata!
Boleh! Mau panggil: Allah! Boleh! Mau panggil: Elohim atau Theos atau
God atau Lowalangi atau Tetemanis...! Silakan! Mau memanggil bagaimana
saja boleh, asalkan tujuannya memanggil Sang Pencipta, yang menciptakan
langit dan bumi... Ya, silakan menyebut dan memanggil Sang Pencipta itu
menurut apa yang ditaruh oleh Pencipta itu di dalam hati Anda, di dalam
hati kita masing-masing.”
****
Jadi, apa kaum Kristen di wilayah
Nusantara sebaiknya masih menggunakan kata Allah? Patut direnungkan,
bahwa kaum Muslim telah resmi menjadikan Allah sebagai nama Tuhan –
bukan sekedar sebutan – sejak al-Quran melakukan Islamisasi konsep
’Allah’ versi kaum musyrik Quraisy dan versi kaum Kristen Arab
pra-Islam. Beda dengan kaum Kristen – yang boleh menyebut Tuhan dengan
nama siapa saja -- bagi Muslim, ’Allah’ adalah nama Tuhan yang Maha
Esa, dan menjadi kata terpenting dalam Islam. Karena itulah, kaum
Muslim lazimnya tidak menerjemahkan syahadat Islam menjadi: ”Saya
bersaksi tidak ada Tuhan kecuali Tuhan itu” sebagaimana ditulis dalam
Ensiklopedi Nurcholish Madjid.
Sementara itu, sebagaimana di
negara-negara Barat, Bali, dan daerah lainnya, kaum Kristen juga
terbiasa menyebut Tuhan tanpa menggunakan kata ’Allah’. Dalam buku
”Mengikuti Jejak Leijdecker: Satu Setengah Abad Penerjemahan Alkitab dan
Penelitian Bahasa dalam Bahasa-bahasa Nusantara” terbitan LAI (2006),
disebutkan adanya perdebatan penggunaan kata ”Allah”, ”ilah”, ”dewa”,
atau ”dewata”, bahkan ”berhala”. Leijdecker memakai kata ”Ilah-ku”,
”Ilah Israel” dalam terjemahannya. Tetapi Klinkert menggunakan kata
”Allah-ku”, ”Allah Israel”. (Jilid 2, hal 316-317).
Apa pun perdebatan kaum Kristen seputar
penggunaan kata ”Allah” di wilayah Nusantara, patut dicatat, bahwa di
wilayah Melayu-Indonesia, sebelum datangnya Kristen, kata ’Allah’ hanya
punya satu makna: Tuhannya orang Muslim, yang tidak punya sekutu, tidak
beranak dan tidak diperanakkan. Barulah pada tahun 1692 (data versi
LAI), kaum Kristen menggunakan kata Allah untuk tujuan misi.
Karena itu, terlepas dari kontroversi
kasus pelarangan penggunaan kata ”Allah” di Malaysia, menurut saya,
tidak ada salahnya jika masalah penggunaan kata Allah oleh kaum Kristen
di Indonesia didiskusikan kembali. Wallahu A’lam bish-shawab!
sumber : http://adianhusaini.com
0 komentar:
Posting Komentar