Muqaddimah
Pertarungan antara kebenaran dan kebatilan ,
adalah sunatullah dan keniscayaan yang tidak bisa di hindari lagi.
Agama Islam bagi kaum muslimin adalah kebenaran yang harus diperjuangkan
dan harus ditegakkan , baik pada tataran individu, masyarakat , maupun
negara. H. Omar S.Cokroaminoto pernah menulis : “ ..Tak boleh tidak ,
kaum muslimin mesti mempunyai kemerdekaan umat atau kemerdekaan
kebangsaan ( nationalle vrijheid ) dan mesti berkuasa atas negri tumpah
darah sendiri “.
Islam dan Negara adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Oleh karenanya, tak ayal, umat Islam- walupun jatuh bangun- senantiasa interes terhadap dunia perpolitikan. Melalui politik , umat Islam hendak meraih kekuasaan, tapi bukan untuk kekuasaan itu sendiri , ia hanyalah sebuah sarana untuk memperbaiki agama dan dunia secara bersama- sama. Karena tanpa itu, ajaran- ajaran Islam yang universal ini akan terus pincang. Ini sebagaimana yang di sebut oleh para ulama ketika memahami Lembaga Kekhilafahan, sebagai suatu sarana untuk mengatur dan menegakkan urusan dunia dan agama, secara bersamaan. Namun , di dalam perjalanannya, khususnya pasca runtuhnya Khilafah Utsmaniyah, Umat Islam hampir tidak pernah berhasil, kalau tidak mau dikatakan gagal, di dalam menegakkan ajaran- ajarannya lewat pertarungan politik terbuka. Inilah , barangkali yang membuat pesimis beberapa kalangan terhadap usaha penegakkan syare’at lewat politik. Sikap semacam itu sangatlah wajar , apalagi mereka merasa mendapatkan justifikasi dan dukungan dari beberapa dalil syar’I serta realita yang mereka saksikan sendiri. Kasus- kasus yang terjadi di negara- negara Islam, seperti Al Jazair , Mesir, Marokko, Tunis, Yordan, dan Turki merupakan bukti kuat bahwa umat Islam memang tidak pernah berhasil dalam masalah yang satu ini . Termasuk di dalamnya negara kita,
Indonesia. Tepatnya, sejak penentuan dasar negara di BPUPKI dan PPKI , sehingga menghasilkan rumusan Pancasila dan UUD 1945 yang terkenal dengan Jakarta Charter ( 22 juni 1945 ) , penghapusan tujuh kata di dalam pembukaan UUD 45, hingga pemilu terakhir setelah runtuhnya Rezim Soeharto pada bulan Juli 1999.
Sejarah tersebut, mestinya dijadikan ‘ibroh
dan pelajaran bagi kaum muslimin untuk selalu membenahi diri,
intropeksi dan memikirkan format baru perjuangan umat. Sejarah ,
bukanlah angka-angka dan kata- kata yang harus di hafal, akan tetapi
sejarah adalah pelajaran berharga bagi manusia , bangsa dan umat yang
berpikir , untuk selanjutnya dijadikan pijakan untuk melangkah menatap
ke depan menggapai sebuah cita- cita agung. Tulisan yang sangat singkat
ini, sekedar pengantar untuk memberikan beberapa alternatif pemecahan,
problem solving dari centang perentangnya keadaan negara kita Indonesia,
paling tidak sebagai kontribusi di dalam menentukan format perjuangan
umat pada masa mendatang.
MELACAK AKAR PERMASALAHAN.
Pada tanggal 16 Oktober 1905 berdiri
Syarikat Dagang Islam ( SDI ) di Solo, di bawah pimpinan H. Samanhudi,
yang kemudian berubah menjadi “ Syarekat Islam “ ( SI ) di bawah trio
politiknya yang terkenal : Cokroaminoto, Agus salim, dan Abdul Muis. SI
inilah , menurut Prof. DR.A. Syafi’I Ma’arif dan KH Firdaus AN, adalah
yang pertama kali menuntut sekaligus yang memperjuangkan Indonesia
merdeka. Bahkan, menurut pengamatan KH Firdaus AN, SI lebih pantas untuk
dijadikan pelopor kebangkitan nasional dari pada gerakan Budi Utomo
yang feodalistis dan keningratan .
Kira – kira pada tahun 1938 , H. Agus
Salim, A.M. Sangaji dan Muhammad Roem memisahkan diri dari SI, dengan
membentuk partai “ Penyadar “. Bahkan sampai terbentuknya MIAI ( Majlis
Islam A’la Indonesia ) pada tahun 1937 M yang waktu itu menjadi
konferedasi partai-partai dan organisasi- organisasi Islam waktu itu ,
seperti Muhammadiyah, Persis, NU, PERTI dan PERMI, Partai “ Penyadar “
belum juga mau berkabung dengan MIAI, yang kemudian pada tanggal 8
Nopember 1945, melalui Konggres Umat Islam di Yogykarta berubah menjadi
partai politik Islam , yaitu MASYUMI ( Majlis Syuro Muslimin Indonesia )
.
Dan pada tanggal 5 april 1952 , dengan
alasan bahwa Majlis Syuro Masyumi yang terdiri dari kalangan para Ulama
dirubah statusnya , yang tadinya berperan di dalam menentukan
kebijaksanaan partai, menjadi Dewan Penasehat saja, maka PBNU dan rapat
pengurusnya di Surabaya telah memutuskan keluar dari MASYUMI . Dan
dikuatkan dalam konggres NU di Palembang , pada tahun tersebut. Sehingga
, pada Pemilu 1955 NU menduduki peringkat ke 3 dan meraih 7 juta suara
atau 18, 4 % dari seluruh suara serta memperoleh 45 kursi di parlemen,
yang tadinya waktu berkabung dengan MASYUMI hanya memperoleh 8 kursi
saja.
Kasus- kasus tersebut, menunjukan bahwa
Umat Islam, belum mampu untuk mengesampingkan kepentingan- kepentingan
pribadi atau kelompoknya demi mencapai kepentingan umat, yang oleh
Gellner , sikap- sikap berislam seperti itu disebut sebagai cara
berislam tingkat rendah, yaitu beragama Islam yang hanya melakukan
penghayatan dengan mementingkan simbol, syiar, permukaan, keakuan dan
justifikasi syare’ah bagi kepentingan kepentingan internal. Cara
ber-Isam yang bersifat eksklusif dan kurang toleran terhadap perbedaaan.
Penyakit perpecahan dan kaku di dalam bersikap terhadap perbedaan,
merupakan ganjalan utama bagi Umat Islam sehingga gagal di dalam meraih
cita- citanya.
Oleh karenanya, para tokoh umat , hendaknya
banyak menimba ajaran- ajaran Islam sebelum mereka berikrar untuk
memimpin umat, sebagaimana yang pernah dikatakan oleh Umar bin Khottob :
“ Belajarlah dahulu, sebelum kalian menjadi pemimpin “. Sebuah petuah
yang seharusnya diabadikan dengan tinta emas oleh kader- kader pemimpin
bangsa. Bahkan Alvin Toffler, di dalam bukunya “ Pergeseran Kekuasaan “,
membagi kualitas kekuasaan menjadi tiga tingkatan :
Kekuasaan dengan kekerasan adalah kekuasaan yang berkualitas rendah.
Kekuasaan dengan kekayaan merupakan kekuasaan berkualitas medium
Sedang kekuasaan yang berasal dari penerapan pengetahuan adalah kekuasaan yang berkualitas tinggi
Kekuasaan dengan kekerasan adalah kekuasaan yang berkualitas rendah.
Kekuasaan dengan kekayaan merupakan kekuasaan berkualitas medium
Sedang kekuasaan yang berasal dari penerapan pengetahuan adalah kekuasaan yang berkualitas tinggi
Di bawah ini , penulis sebutkan beberapa
hal yang dirasa sangat urgen dan mutlak diperlukan untuk meniti jalur
Kepemimpinan Bangsa diantaranya adalah :
1/Fiqih Prioritas
Dengan menguasai Fikih Prioritas , seorang
pemimpin mampu meng-agendakan masalah yang harus lebih diutamakan lebih
dahulu dari masalah- masalah lainnya. Perang Jamal, pada masa Kholifah
Ali ra, yang telah mengorbankan beribu- ribu putra terbaik Islam,
hanyalah bermula dari perbedaan pandangan di dalam menentukan skala
prioritas, apakah harus mencari para pelaku kerusuhan dan pembunuhan
terhadap kholifah Utsman ra, ataukah harus ditertibkan dahulu negara
dengan membai’at seluruh rakyat baru kemudian melacak para perusuh.
2/Fiqih Maslahah.
Fiqih Maslahat atu dengan sebutan lain
pemahaman terhadap konsep Masholih Mursalah atau Maslahah Syar’iyah di
dalam menyikapi perubahan- perubahan politik. Fiqih semacam ini sangat
penting untuk dimiliki oleh para kader pemimpin bangsa , mengingat
banyak Partai atau Ormas Islam terjebak di dalam permainan politik,
walaupun dengan dalih maslahat. Sebut saja misalnya : Perpecahan NU yang
terjadi, ketika menyikapi politik yang dimainkan Soekarno yang pada
waktu itu ingin merubah sistem Negara menjadi Demokrasi Terpimpin dan
merangkul PKI . Terdapat dua kubu NU ; Pertama adalah yang mendukung
kebijaksanaan tersebut dengan dalih maslahat . Kubu ini dipimpin oleh KH
Wahab Hasbulah, yang kemudian dikenal dengan Kelompok Pragmatis. Sedang
kubu kedua : adalah yang menolak kebijaksanaan tersebut . Kubu ini
dipimpin oleh KH.Ahmad Siddiq dan KH. Bisri Syamsuri.
Kasus di atas menggambarkan betapa
pentingnya Fiqih Maslahat di dalam perpolitikan Islam , tentunya
memahami maslahat tersebut dengan segala syarat dan kriterianya.
3/Mengklasifikasikan ajaran agama yang
bersifat mendasar dan tidak bisa ditolerir dengan masalah- masalah
Ijtihadiyah yang bersifat furu’ ( cabang ) dan bisa ditolerir.
Salah satu faktor yang menyebabkan
keluarnya NU dari MASYUMI adalah ditolaknya usulan NU yang menginginkan
Menteri Agama dari kalangan NU, sedangkan MASYUMI sendiri justru malah
menempatkan orang Muhammadiyah di departemen tersebut. Begitu juga yang
dialami oleh para kader Bulan Bintang, waktu dibentuk BKUI ( Badan
Koordinasi Umat Islam ) sebagai bibit pembentukan PBB ( Partai Bulan
Bintang ) yang terdiri dari 22 Organisasi Masa dan 20 Yayasan Besar
Islam, justru Amien Rais yang diperkirakan oleh banyak kalangan akan
menjadi Ketua Partai tersebut, serta Yusril sebagai Sekjennya, malah
tidak hadir sewaktu deklarasi PBB, bahkan justru malah mendirikan PAN (
Partai Amanat Nasional ) , sedangkan Deliar Noor yang juga merupakan
kader Bulan Bintang, pada kesempatan lain , juga telah mendirikan PUI (
Partai Umat Islam ) .
4/Mengambil langkah- langkah strategis untuk kemaslahatan umat
Diantara langkah-langkah strategis itu yang
di tawarkan di sini adalah , sebagai contoh , menyatukan para pemimpin
Islam melalui Konggres Umat Islam ( KUI ), sebagaimana yang pernah di
lakukan kaum muslimin pada tahun 1945 di Jogyakarta. Langkah strategis
ini, ternyata tidak mampu dilaksanakan umat Islam pada pemilu 1999,
sehingga PDI-P memperoleh suara terbanyak, pada saat partai- partai Umat
Islam menjadi partai gurem. Walaupun setelah itu , terbentuk aliansi
Poros Tengah dan berhasil menaikkan Abdurohman Wahid sebagai Presiden .
Namun langkah tersebut terkesan diambil setelah umat Islam merasa
terpojokkan . Jadi, lebih bersifat reaksi dari pada aksi, sehingga
hasilnyapun bukan seperti yang kita harapkan. Padahal, yang kita
perlukan adalah langkah-langkah strategi yang terencana dan teratur, dan
tentunya dalam jangka panjang.
Walaupun begitu, banyak pihak yang masih
menginginkan terjadinya Poros Tengah jilid ke dua , pada pemilu 2004
ini. Namun , sebagian pengamat merasa pesimis bahwa hal itu akan
terjadi. Paling tidak, menurut Moh Samsul Arifin Aktivis dari
Center of Bureaucracy Studies (CBS) Jakarta, ada tiga hal yang menjadi penyebab :
Center of Bureaucracy Studies (CBS) Jakarta, ada tiga hal yang menjadi penyebab :
Pertama ; di antara para politisi yang
berasal dari kalangan Islam terjadi persaingan yang hebat dalam
memperebutkan kursi RI 1. Sebut saja misalnya :Amien Rais, Abdurrahman
Wahid, Hamzah Haz, Yusril Ihza Mahendera, dan Nurcholish Madjid. Dan
yang terakhir ini, telah menyatakan mundur dan disambut baik oleh banyak
kalangan. Pencalonan para tokoh itu, ditengarai Indonesianis terkemuka
Prof. Harold Crouch akan menyulitkan upaya mempersatukan aspirasi umat
Islam dalam satu poros. Crouch bahkan menebak, kekuatan Poros Tengah
yang sejak beberapa tahun terakhir ini dianggap sebagai aliansi politis
dari aspirasi umat Islam di Indonesia kemungkinan besar akan terpecah
pada Pemilihan Presiden tahun 2004.
Kedua : Syndrome ingin menjadi orang nomor
satu nomor satu (will to power) telahmelanda kalangan elite politik
Islam. Masing-masing tokoh tidak realistis mengukur kemampuan dan
kekuatan yang dimiliki sehingga terjebak pada optimisme yang kelewat
besar.
Ketiga : Poros Tengah memang kurang menjanjikan karena lingkup persoalan dan
medan politik yang dihadapi relatif berubah. Pemilu 2004 tak hanya memilih anggota legislatif, namun juga Presiden/Wapres. Sistem pemilunya juga berubah drastis. Yang lebih legendaris, nanti rakyat sendiri bakal menentukan siapa orang nomor satu dan dua di negeri ini tanpa lewat MPR seperti selama ini. Peta baru politik tidak menguntungkan sama sekali untuk meneruskan kongsi.
medan politik yang dihadapi relatif berubah. Pemilu 2004 tak hanya memilih anggota legislatif, namun juga Presiden/Wapres. Sistem pemilunya juga berubah drastis. Yang lebih legendaris, nanti rakyat sendiri bakal menentukan siapa orang nomor satu dan dua di negeri ini tanpa lewat MPR seperti selama ini. Peta baru politik tidak menguntungkan sama sekali untuk meneruskan kongsi.
BENTURAN DEMOKRASI
Yang perlu diperhatikan oleh para pengamat
politik Islam di dunia umumnya dan di negara Indonesia khususnya, adalah
bahwa Demokrasi yang hendak diangkat dan dijadikan cita- cita negara
ini, tidaklah semudah kita membalikkan telapak tangan, bahkan sebagian
kalangan menganggapnya sebuah mitos.
Hal itu di dukung dengan tidak adanya
kenyataan satu negarapun di dunia ini, yang telah mampu menerapkan
demokrasi yang didengung-dengungkan itu, bahkan demokrasi yang terkesan”
dipaksakan “ pada dunia ketiga , yang notabenenya adalah dunia Islam
merupakan bentuk konspirasi terselubung. Salah satu buktinya adalah
ketika Amerika berencana menyerang Irak , Condoleeza Rice, seorang
keturunan Yahudi mengatakan : “ Kini saatnya bagi kita untuk
mendemokratisasikan negara-negara Islam “ . Bahkan para penganut “teori
elite” dalam ilmu politik, seperti Gaetano Mosca dan Vilfredo Pareto
juga berpendapat sama, sebagaimana yang ditulis Bima Arya Sugiarto,
seorang Kandidat Doktor di Australian National University (ANU)
Canberra.
Mereka meyakini bahwa kekuasaan politik,
ujung-ujungnya hanyalah berada di genggaman segelintir elite politik
belaka. Konfirmasi paling dramatis dari asumsi-asumsi ini adalah
fenomena revolusi Rusia, di mana revolusi yang digerakan kaum sosialis,
bukannya menciptakan demokrasi untuk para kelas pekerja, tetapi hanyalah
penggantian dari satu kelompok penguasa ke kelompok penguasa lainnya.
Begitu pula dengan fenomena kepartaian di
Amerika Serikat. Moisei Ostrogorski, seorang ilmuwan Rusia yang pada
awal abad ke-20 menghabiskan waktu bertahun-tahun di Amerika dan Inggris
untuk meneliti sistem kepartaian di kedua negara tersebut juga melansir
kesimpulan senada. Menurutnya, manipulasi sistem pemilihan, dan
ketidakjelasan ideologi adalah potret buram dari sistem kepartaian di
dua negara itu.
Mesin politik partai akan senantiasa
menempatkan elite partai untuk menjadi determinator seluruh proses
politik di tubuh partai. Pemilu dengan mekanisme pengambilan keputusan
dimana pilihan publik menjadi representasi kebenaran, akan ditentukan
oleh banyak variabel, yang kalau kita mau jujur, bahwa variabel- varibel
tersebut akan memperlihatkan kepada kita bahwa sistem pemilu yang
diterapkan di dunia ketiga sesungguhnya adalah sistem yang memojokkan
umat Islam , dengan cara yang sangat halus sekali. Variabel- variabel
yang mengganggu jalannya sistem pemilu yang ada dengan luber dan jurdil,
dan harus menjadi perhatian serius umat Islam adalah ;
1. Bedanya tingkat pendidikan yang relatif berbeda.
Sesungguhnya bukanlah suatu bentuk keadilan
kalau orang yang tidak berpendidikan di samakan derajatnya dengan orang
yang berpendidikan. Secara rasional , hak dan kewajiban yang mereka
tanggung pada masing- masing pihak pun berbeda , bahkan dalam banyak
bidang. Artinya, suara orang yang berpendidikan tinggi dan mempunyai
penguasaan terhadap bidang agama maupun sosial-politik tentunya bobotnya
sangat berbeda dengan suara orang yang berpendidikan rendah atau yang
tidak menguasai bidang agama dan sosial-politik. Sebagaimana mereka
berbeda di dalam mendapatkan tugas dan kewajiban serta hak- hak
kemasyarakatan.
Ini, bukan berarti sengaja untuk membedakan
mereka sebagai warga negara yang sama-sama mempunyai hak untuk hidup
dan dihormati serta berkewajiban untuk menjunjung tinggi peraturan. I
nilah salah satu faktor yang menyebabkan
terjadinya kepincangan dalam proses pemilu. Karena sangat dengan mudah,
umpamanya membeli suara dari kalangan orang- orang yang tidak terdidik (
moral dan intelektualnya ).
Oleh karenanya, umat Islam dituntut dahulu ,
untuk memperbaiki taraf pendidikannya , moral dan intelektual, yang
meliputi aspek kognitif, afektif dan psikomotorik.
2/ Pengaruh media massa.
Yang mengusai media massa di dunia saat ini
adalah orang- orang Yahudi. Hal ini, tentunya akan berpengaruh pada
media massa di lokal , sehingga mau tidak mau globalisasi informasi ini
akan berpengaruh pada pembentukan opini publik, yang nota benenya akan
menjadi aktor pemilih.
Kalau umat Islam , belum berhasil menguasai
mass media tersebut, nampaknya sangat jauh untuk bisa memenangkan
pertarungan politik yang mana media
massa akan sangat berperan di dalamnya.
massa akan sangat berperan di dalamnya.
3/Ancaman Keamanan.
Seperti adanya peculikan para aktivis muslim yang terjadi akhir- akhir ini, bahkan di ambang pemilu 2004.
4/Tekanan dan intervensi pihak asing ( investor dan IMF ) .
Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (RAPBN) 2004 yang diajukan pemerintah kepada Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) pertengahan Agustus lalu. Adalah Rp 413,6 triliun, yang
terkuras untuk membayar angsuran pokok dan bunga utang mencapai Rp 137,8
triliun atau sekitar 33 persen untuk diserahkan kepada Badan Moneter
Internasional ( IMF)
IMF ini terbukti banyak campur tangan
terhadap kebijaksanaan – kebijaksanaan politik dan ekonomi di negara
kita. Hal ini sering mengganggu , bahkan menghadang lajunya pertumbuhan
pemerintahan yang sehat dan sistem perpoltikan yang bersih pula. Sebagai
misal , kita dapatkan IMF-lah yang menyarankan untuk menutup 16 bank
tanpa menghitung dampaknya terhadap perilaku para penabung, kemudian
juga memaksakan peningkatan harga BBM pada Mei tahun 1998, yang kemudian
memicu terjadinya kerusuhan sosial. Dan, IMF pula yang memerintahkan
pelaksanaan rekapitalisasi perbankan, yang menyebabkan terpuruknya
ekonomi Indonesia ke dalam kubangan utang dalam negeri Rp 650 triliun.
5/Politik Uang .
Hal ini sudah menjadi rahasia umum , bahkan
tersiar pernyataan, bahwa partai yang akan memenangkan pemilu adalah
partai yang memiliki dana besar. Karena dengan uang , mereka bisa
membeli suara. Nampaknya , seluruh sistem pemilu yan diterapkan pada
banyak negara tidak bisa lepas dari politik uang ini, baik secara
sembunyi- sembunyi, maupun secara transparan, seperti yang kita saksikan
pada pemilihan Gubernur di beberapa Propinsi akhir-akhir ini.
6/Rekayasa Global dalam bidang ekonomi maupun politik.
Banyak kalangan melihat lengsernya Soekarno
dan ambruknya Soeharto , bahkan mundurnya Habibie merupakan salah satu
bentuk rekayasa global. Umat Islam , harus mencermat hal ini. Seperti
isu terorisme dan jaringan Jama’ah Islamiyah, sebenarnya hanyalah salah
satu rekayasa global untuk menyudutkan umat Islam di Indonesia.
PENUTUP
Pada akhirnya umat Islam, harus menyadari
bahwa perjuangan menegakkan syare’at lewat jalur politik, bukanlah satu-
satunya jalan, dan hendaklah jangan memaksakan diri, jika memang belum
siap, karena bukannya kemenangan yang akan diraih tapi justru bumerang
yang akan menodai track record umat Islam sendiri. Kasus lengsernya
Abdurohman Wahid, sebagai seorang Kyai dan tokoh umat Islam dari kursi
presiden Indonesia ke 4 , tentunya harus dijadikan pelajaran oleh umat
Islam. Barangkali yang lebih urgen dan mendesak adalah sosialisasi
nilai- nilai ke-Islaman pada masyarakat Indonesia, sebagi tahapan awal
untuk menuju Bangsa dan Umat yang berwibawa.
Isu Dakwah Kultural yang digulirkan oleh
Muhammadiyah dan disambut baik oleh Nahdhotul Ulama, dengan konsep “
Kembali ke Khitthoh “ – nya, perlu di dukung dan disambut baik
masyarakat Islam Indonesia. Para pemimpin Islam hendaknya, melakukan
prioritas pendekatan yang evolusioner dan bersifat kultural. Politik
Islam Indonesia ke depan haruslah melakukan objektivikasi terhadap
praktik perjuangan politiknya. Fokus perhatian yang berlebihan pada
kekuasaan yang berlebihan , akan berakibat terbengkalinya bidang-bidang
lain yang justru segera membutuhkan solusi.
Bagi mahasiswa yang ada di Kairo maupun
berada di belahan bumi manapun , tentunya akan lebih baik menekuni
bidang-bidang yang dihadapinya serta berusaha meraih prestasi yang
memuaskan untuk kemudian disumbangkan kepada Bangsa Indonesia yang masih
sangat miskin dengan para intelektual yang berilmu dan bermoral. Sekali
lagi, Bangsa Indonesia harus banyak belajar dahulu, para kader pemimpin
umat , harus membekali diri mereka dengan ilmu-ilmu yang cukup sebelum
menggelinding menuju kepimpinan nasional. Kerusakan Bangsa Indonesia
adalah akibat elit pemimpinnya yang kurang berbobot, serta cacat moral
dan intelektual, ditambah dengan lemahnya kontrol dari kaum agamawan
yang cenderung larut dalam dunia dan menanggalkan amar ma’ruf dan nahi
mungkar . Sangatlah tepat apa yang dikatakan oleh Ibnu Mubarok : “
Bukankah rusaknya dunia ini, karena pemimpin yang jelek, para pendeta
serta ahli ibadah yang lengah “. Semoga Bangsa Indonesia terhindar dari
itu semua. Amien.
.
* Makalah ini diprensentasikan pada acara
Diskusi Umum yang diselenggarakan oleh Departemen Study dan Peningkatan
Intelektual DPP-PPMI ( Dewan Pengurus Pusat Persatuan Pelajar dan
Mahasiswa Inonesia ) Mesir, Kairo pada tanggal 20 September 2003 di
Wisma Nusantara.
sumber : ahmadzain.com
0 komentar:
Posting Komentar