( Tulisan ini adlah dokumen lama, ditulis sekitar tahun 1997-1998, ketika pemerintah orde baru belum tumbang )
Pada edisi lalu telah diterangkan arti
“Rasul” dan “Ulil Amri” secara panjang lebar. Saat ini penulis ingin
memfokuskan pembahasan kali ini pada seputar ‘teknis mengembalikan
urusan urusan politik kepada ulil umri’, yang dalam hal ini adalah para
pemimpin yang terpercaya dan ulama yang memadai. Itu semua masih dalam
rangka menerangkan kalimat walau rudduhu ila rosul ila ulil amri
minhum ‘
Tulisan berikut ini adalah rangkuman dari
tulisan-tulisan para ulama dalam bidang Siyasah Syar’iyah (dalam
perpolitikan Islam), juga merupakan inti sari yang sempat penulis ambil
dari perjalanan sejarah perpolitikan Islam. Khususnya pada zaman
keemasannya yang pernah dicapai oleh tiga generasi Islam pertama
(sahabat, tabi’in dan tabiit tabi’in), sebagaimana pernah disinyalir
oleh Rasulullah dalam salah satu haditsnya
Artinya : “Sebaik baik generasi adalah generasiku kemudian yang berikutnya (tabi’in) kemudian berikutnya (tabi’it tabi’in)”
Oleh karenanya, bisa dinyatakan disini bahwa sebuah teori kemasyarakatan ataupun kenegaraan yang keluar dari kerangka berpikirnya tiga generasi Islam diatas, sudah dipastikan akan menemui kegagalan. Para pembaca bisa membuktikan kebenaran pernyataan diatas, melalui serial tulisan ini. Khususnya didalam perpolitikan Islam. Namun sebelum memasuki point selanjutnya, sebagai follow up dari pembahasan lalu, ada beberapa hal yang perlu diselesaikan berhubungan dengan keterlibatan ulama didalam dunia politik. Apalagi dunia politik sering diidentikkan dengan dunia yang penuh kekotoran, kepalsuan, penipuan dan berbagai perbuatan keji lainnya. Diakui atau tidak, kenyataannya memang begitu. Apalagi kalau orang yang terjun didalamnya tidak menjunjung tinggi nilai-nilai agama.
Disini, keterlibatan ulama dalam dunia
politik sering menjadi sebuah dilema, kalau mereka mundur, maka orang
orang rusaklah yang akan bermain didalamnya, sebaliknya sering merreka
larut didalam hubungan politik yang kotor tersebut. Banyak dari mereka
sebelum tejun kedunia politik, adalah para pimpinan pesantren atau
guru-guru ngaji yang barang kali tidak mau pusing memikirkan harta dan
kesenangan dunia, yang pola pikir seperti itu, tidak disenangi oleh
setan dan iblis. Mereka berusaha mencari berbagai jalan untuk
menyesatkan orang-orang seperti itu. Maka harta dan kekuasaan–dua hal
yang sangat menonjol didalam dunia perpolitikan— merupakan senjata yang
sangat ampuh untuk membekuk mereka.
Oleh karenanya, kita kadang -kadang risih
dengan kerakusan sebagian kyai, yang semestinya diharapkan untuk bisa
mengarahkan ummat kepada jalan yang lebih baik, justru bergelimangan
didalam perebuatan kekuasaan. Bahkan tidak sedikit dari mereka dengan
begitu berani mengorbankan aqidah mereka demi kekuasaan, harta maupun
hanya sekedar untuk mendapatkan fasilitas dari pemerintah. Ulama model
seperti ini, tentunya bukan yang dimaksud penulis untuk hadir didalam
dunia perpolitikan
.
FORMAT-FORMAT KETERLIBATAN ULAMA DI DALAM DUNIA PERPOLITIKAN
Paling tidak ada dua format yang diijinkan oleh syara’ berhubungan dengan keterlibatan ulama dalam dunia perpolitikan :
-Pertama, Format luar pagar bermain diluar lapangan.
Di dalam format ini, para ulama tidak
terlibat dalam delik administrasi perpolitikan secara langsung, tetapi
mereka tetap duduk ditengah-tengah masyarakat mengajar, membimbing dan
mengarahkan mereka kejalan yang benar. Walaupun demikian, mereka tetap
beramar ma’ruf dan nahi munkar menurut kondisi lingkungan yang ada.
Termasuk didalamnya mengingatkan para pengusa jika melakukan kesalahan
dan penyelewengan, memberikan fatwa-fatwa kemasyarakatan, kenegaraan dan
urusan-urusan politik, yang tentunya diambil dari Al-Kitab dan
As-Sunnah.
Tugas mereka tidak ternodai sedikitpun
dengan harta-harta kenegaraan maupun kepentingan kepentingan orang-orang
tertentu. Oleh karenanya, mereka tidak takut sedikitpun dengan
kediktatoran seorang penguasa. Bahkan mereka siap mati dalam
mempertahankan dan mengemban amanat Allah ini. Inilah sebaik baik jihad
sebagaimana yang disabdakan Rosul saw,
Artinya : “ Sebaik baik jihad adalah berkata benar didepan pengusa yang dholim”
Dikatakan sebaik baik jihad, karena seorang
ulama yang berkata benar didepan seorang penguasa yang lalim, akan
menemui resiko yang sangat besar. Paling tidak akan dicaci dikecam dan
disiksa dengan semena mena, bahkan akan dibunuh tanpa ada satupun orang
yang membelanya. Disisi lain, beramar ma’ruf nahi munkar didepan para
penguasa yang lalim merupakan aktifitas tertutup dan tidak terikat oleh
banyak manusia, sehingga lebih mendekatkan kepada keikhlasan.
Terlalu banyak contoh ulama, untuk
disebutkan dalam hal ini, terutama yang hidup pada masa masa kejayaan
Islam pada abad pertama, kedua dan ketiga hijriyah. Salah satunya adalah
Said bin Jubair yang disembelih oleh Hajjaj At-Tsaqofi hanya karena
mengatakan kalimatul haq dihadapannya. Ketika Hajjaj Ats-Tsaqofi
bertanya, “Bagaimana pendapat anda tentang saya?” Dengan tenang Said bin
Jubair menjawab, “Anda adalah seorang penguasa yang menyelisihi ajaran
kitab dan sunnah, yang berbuat semena-mena kepada rakyat demi mencari
kewibaaan. Perbuatan anda semacam ini akan mengantarkan anda kepada
kehancuran.” (Lihat Sofatus Sofah, Ibnu Jauzi 3/56).
IBNU TAIMIYYAH DAN FATWA POLITIK
Termasuk contoh format pertama, tapi dalam bentuk yang lebih luas, adalah apa yang dilakukan oleh Ahmad Taqiyuddin Ibnu Taimiyyah yang terkenal dengan keberanainnya didalam menyampaikan kebenaran didepan penguasa. Tak heran jika beliau sangat segani, bukan saja oleh orang awam, murid-murid dan para rivalnya, bahkan khalifah dan para gubernur sendiri sangat menghormatinya. Salah satu peran beliau yang sangat besar didalam dunia poliotik waktu itu, adalah fatwa politik yang beliau sampaikan berkenaan dengan invansi militer bangsa Tartar terhadap negeri-negeri Islam. Disaat-saat kaum muslimin panik, disaat para gubernur dan khalifah sudah mulai putus asa, tampillah Ibnu Taimiyah, dia bangkit menghadap khalifah seorang diri, menasehatinya dan mengajaknya untuk mengangkat senjata dan mengumandangkan jihad suci melawan tentara Tatar. Demikianlah, wilayah kaum muslimin dapat diselamatkan hanya dengan seorang ulama yang konsisten memegang teguh ajaran-ajaran Islam.
Perlu dicatat disini, bahwa keterlibatan
Ibnu Taimiyah sebagai seorang ulama didalam dunia politik, bukan berarti
beliau terjun didalamnya bersama pejabat negara lainnya, yang
sekalipun waktu itu, bisa disebut negara Islam yang menerapkan
hukum-hukum Islam didalam kehidupan bernegara secara resmi dan luas.
Itu terlihat jelas dalam satu pernyataannya
“Saya seorang tokoh agama bukan seorang negarawan.” (Lihat Ibnul Abdil Hadi, Al Uqud ad Duriyah Hal 177)
Format Kedua Bergerak di dalam sistem,
yang berarti Ulama terlibat secara langsung didalam adminstrasi negara
dan menduduki salah satu jabatan pemerintahan.
Untuk mengetahui lebih jauh tentang
kelompok atau format kedua ini, silahkan mengikuti pembahasan Ahlul
Halli Wal Aqdi dibawah ini. Hal itu, karena hanya merekalah (para
negarawan) atau orang-orang yang memiliki sifat-sifat yang serupa dengan
merekalah, yang berhak masuk dan terjun ke dalam medan politik yang
sangat berbahaya tersebut. Adapun keterangannya sebagai berikut ;
PENGERTIAN AHLUL HALLI WAL AQDI
Ahlul Halli wal Aqdi adalah istilah baru
tidak terdapat dalam Al-Quran dan As-Sunnah. Namun demikian, para
ulamalah yang telah meletakkan istilah tersebut. Ini bukan berarti
istilah tersebut bid’ah karena belum pernah digunakan pada zaman
Rasulullah saw, maupun pada zaman Sahabat. Akan tetapi, istilah-istilah
keilmuan semacaam ini bisa di golongkan didalam MASHALIHUL MURSALAH
(kemaslahatan umum) yang diizinkan oleh Syariat Islam,sebagaimana
istilah-istilah ushul fiqh, ilmu Nahwu, Mustholahul Hadits dan
lain-lainnya.
Istilah Ahlul Halli wal Aqdi ini banyak
kita dapati pada buku-buku siyasah syar’iyyah, seperti Ahkam
Sulthaniyah-nya Abul Hasan Al-Mawardi dan Abu Ya’la Al Farra’. Adapun
secara bahasa, Istilah Ahlul Halli wal Aqdi terdiri dari tiga kalimat:
a. Ahlul, yang berarti orang yang berhak (yang memiliki).
b. Halli, yang berarti, melepaskan, menyesuaikan, memecahkan.
c. Aqdi, yang berarti mengikat, mengadakan transaksi, membentuk.
Dari pengertian secara bahasa di atas,
dapat kita simpulkan pengertian Ahlul Halli wal Aqdi secara istilah
yaitu “Orang-orang yang berhak membentuk suatu sistem didalam sebuah
negara dan membubarkannya kembali jika dipandang perlu.”
SIAPAKAH YANG DIANGGAP AHLUL HALLI WAL AQDI?
Para ulama berselisih pendapat didalam menentukan kriteria Ahlul Halli wal Aqdi, akan tetapi semua pendapat yang beredar tersebut,tidak keluar dari kerangka pengertian Ulil Amri, yang pernah penulis jelaskan pada edisi yang lalu. Dari situ, penulis cenderung untuk mengatakan bahhwa Ahlul Halli wal Aqdi adalah Ulil Amri itu sendiri. Kalau begitu, kenapa pembahasan Ulil Amri tidak disatukan dengan Ahlul Halli wal aqdi? Atau kenapa tidak memakai salah satu istilah saja, agar tidak membingungkan pembaca? Untuk menjawab pertanyaan pertanyaan tersebut, penulis menyediakan beberapa jawaban dibawah ini ;
Pertama, Ulil Amri adalah istilah Syar’i
yang terdapat didalam Al-Quran. Sehingga didalam penafsiirannya, perlu
menukil pendapat mufassirun yang tsiqqoh, sebagaimana telah diterangkan
pada edisi lalu. Ulil Amri dalam konteks semacam ini, lebih terkesan
sebuah sosok dan tokoh, atau sekumpulan sosok dan tokoh yang harus
ditaati perintah-perintahnya selama itu sesuai dengan syara’.(tanpa
banyak menyentuh proses terangkatnya tokoh tersebut dan bagaimana teknis
kerjanya). Oleh karena itu penulis letakkan pembahasan ini didalam
penafsiran kata Ulil Amri.
Kedua. Disisi lain, ketika penulis hendak
menerangkan kalimat yaitu bagaimana teknis
mengembalikan permasalahan politik kepada Ulil Amri, ternyata penulis
mendapatkan para ulama didalam pembahasan ini, lebih banyak menggunakan
istilah Ahlul Halli wal Aqdi daripada istilah Ulil Amri itu sendiri.
Dari situ penulis menemukan sebuah konklusi sebagai berikut:
1. Ulil Amri lebih sering digunakan didalam menggambarkan tokoh atau orang yang wajib ditaati selama itu sesuai denga syara’
2. Ahlul Halli wal Aqdi lebih sering digunakan ketika membicarakan teknis kerjanya. wallahu a’lam
KENAPA TIDAK MENGGUNAKAN SISTEM PARLEMEN ATAU DPR/MPR, SEPERTI YANG TELAH DIPRAKTEKKAN KEBANYAKAN ORANG ?
Secara jujur, harus dikatakan bahwa sebenarnya tugas Ahlul Halli wal aqdi didalam negara Islam identik dengan tugas DPR/MPR (Dewan Permusyawaratan Rakyat/ Majlis Permusyawaratan Rakyat) didalam negara sekuler, walaupun tidak secara mutlak. Seperti halnya didalam mengangkat dan menurunkan seorang imam (pemimpin), membuat undang-undang, mempelajari problematika umat dan mencari solusinya dll. Adapun rinciannya bisa merujuk pada buku-buku siyasah syar’iyyah, seperti Ahkam Sulthoniyah-nya Imam Maawardi dan Abu Ya’la, Giyatsul Umam-nya imam Al-Juwaini, Ma’tsaril Inaqoh-nya, Siyasah Syar’iyyah Ibnu Taimiyyah dll. Qolqosyandi
Namun demikian, ada beberapa perbedaan mendasar antara dua lembaga tertinggi negara tersebut, sehingga banyak ulama yang menolak eksistensi DPR/MPR sebagai lembaga tertinggi didalam sebuah negara, dengan sistem demokrasi yang banyak dianut oleh negara-negara Islam. Adapun perbedaan sistem khilafah dengan Ahlul Halli wal Aqdi dengan sistem Parlemen DPR/MPR adalah sebagai berikut ;
1. Dari Segi Perkembangannya
Sistem Ahlul Halli wal Aqdi berkembang
sejak adanya pemerintahan Islam pertama kali pada masa Abu Bakar
Ash-Shiddiq yang merupakan Ijma’ Shahabat ra, dan merupakan hujjah yang
tidak terbantahkan. (untuk rincian dan contoh-contohnya akan diterangkan
kemudian). Adapun sistem parlemen berkembang akibat benturan antara
kekuasaan dan gereja yang terjadi di Eropa, dan mulai menjadi sistem
yang mapan setelah revolusi Perancis pada tahun 1789M.
2. Dari Segi Keanggotaan
A. Didalam sistem Ahlul Halli wal Aqdi, anggotanya harus seorang muslim yang adil. Adapun dalam sistem parlemen, anggotanya tidak harus beragama Islam, orang Komunis/atheis pun bisa menjadi anggota, bahkan menjadi ketua DPR/MPR, selama rakyat mendukung,
B. Didalam sistem Ahlul Halli walAqdi
anggotanya harus seorang laki-laki. Namun dalam sistem parlemen,
perempuan dibolehkan menjadi anggota di dalamnya. (Benarkah ulama
berbeda pendapat didalam masalah ini? Ataukah orang-orang yang sering
tidak puas dengan ketentuan ini salah di dalam memahami perkataan ulama?
Keterangannya bisa diikuti pada kajian-kajian mendatang)
C. Anggota Ahlul Halli wal Aqdi harus
seorang yang berpengetahuan luas terhadap ajaran Islam, sedangkan
anggota Parlemen boleh dari orang yang paling goblok tentang masalah
agama.
3. Dari Segi Tugas dan Peranannya
Tugas Ahlul Halli wal Aqdi harus sesuai denga aturan Syariah Islamiyyah. Mereka tidak boleh merubah aturan Allah dan Rasul-Nya yang sudah paten dan mapan, walau seluruh anggota dan rakyat menghendaki perubahan itu. Adapun didalam Parlemen, mereka bebas dan leluasa menentukan sebuah hukum, undang-undang, dan bahkan merubah hukum Allah selama hal itu disepakati seluruh anggota atau atas kehendak rakyat.
Lain-lain
Ahlul Halli wal Aqdi diwarnai dengan
suasana ukhuwwah, kekeluargaan dan kerjasama didalam kebaikan dan
ketaqwaan. Keanggotaan Parlemen diwarnai rasa Ta’ashub terhadap
golongan, sektarian, dan penuh dengan persaingan yang tidak sehat.
(Secara lebih rinci, lihat DR. Abdullah bin Ibrahim At Thoriqi, Ahlul
Halli wal Aqdi Sifatuhum wa Wadloifuhum. Hal 211-218)
SEBUAH CATATAN
Kaitannya dengan istilah “DPR/MPR”, atau istilah-istilah baru lainnya, yang semuanya tidak tercantum di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, atau belum pernah digunakan sebelumnya oleh para ulama-ulama tsiqoh didalam kajian keilmuan mereka, maka hendaknya kita tinjau dahulu substansinya. Seandainya sesuai dengan Islam, maka istilah itu kita terima (walaupun demikian, sebaiknya kita gunakan istilah syar’i yang sudah ada). Namun kalau bertentangan, dengan tegas kita menolaknya.
Yang menjadi permaslahan kita sekarang, apabila ‘istilah baru’ tersebut mengandung dua sisi : ‘kebenaran dan kebatilan’.
Dalam arti yang lebih luas, bahwa istilah tersebut bersifat elastis, bisa ditafsirkan macam-macam, menurut versi pengamatnya. Kalau dia seorang sekuler, maka penafsirannyapun cenderung ke arah sekuler, sebaliknya jika pengamatnya seorang cendikiawan muslim, maka akan diembel-embeli dengan sifat-sifat ke-Islaman. Seperti istilah-istilah yang sedang ngetrend dan berkembang luas di dunia Islam yaitu : Demokrasi, Theokrasi, Monarki, Sosialisme, Kapitalisme, Nasionalisme, Parlemen, DPR/ MPR, dll yang tidak mungkin disebut satu persatu di sini. Maka, sikap seorang muslim didalam menghadapi Ma’rokatul Mushtholahat (Perang Istilah) hendaknya merujuk kepada sikap dan pendapat para ulama salaf dan tsiqoh ketika mereka menghadapai peperangan seperti ini. Kita dapatkan, mereka enggan menggunakan istilah–istilah yang diimpor dari luar Islam tersebut, selama substansinya belum jelas dan masih dipertentangkan oleh para ulama. Karena hal itu akan mengakibatkan porak porandanya pemikiran seorang muslim di dalam memahami kontek-kontek ajaran Islam yang sesungguhnya.
Bahkan lebih dari itu, akan mengakibatkan
perpecahan dikalangan kaum muslimin sendiri. Bagaimana tidak pecah,
kalau sebagian mereka akan menolak keras istilah baru tersebut, dan
sebagian lainnya akan mempertahankan nya. Karena—menurut
mereka—subtansinya sesuai dengan ajaran Islam, kenapa harus di tolak.
Saat itu juga tenaga dan pikiran umat Islam terkuras untuk
mempertahankan pendapatnya masing-masing.
Yach ..kelihatannya umat Islam sangat bodoh
sekali. Ribut sendiri hanya untuk mengurusi ‘PR’ yang dilontarkan
musuh-musuh Islam. Bukankah kita lebih baik memakai istilah-istilah yang
sudah menjadi kesepakatan kaum muslimin, atau paling tidak, sudah
dilegitimasi oleh para ulama pendahulu kita.
Kalaupun terpaksa sekali kita meggunakan
istilah-istilah tersebut, itupun hanya dalam rangka menjelaskan kepada
pihak-pihak tertentu (tentunya selain kaum muslimin atau orang- orang
yang terpengaruh dengan pikiran mereka), bahwa substansi
istilah-istilah tersebut adalah batil, tidak sesuai dengan kebenaran.
Dan bahwa dalam ajaran-ajaran Islam sendiri sudah ada istilah –istilah
yang lebih pas, mapan, mantap dan lengkap. Allah berfirman
Artinya:“Apakah hukum Jahiliyah yang mereka
kehendaki dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah
bagi orang-orang yang yakin” (QS. Al-Maidah: 50)
Penulis nukilkan disini salah satu sikap ulama salaf yang tsiqoh didalam menghadapi probematika istilah tersebut ;
Imam Ibnu Abdil Izz Al Hanafi (wafat th.792) berkata,
“Para Ulama Salaf, sebenarnya tidak
membenci penggunaan istilah-istilah baru seperti lafadh : Jauhar, jism,
Aradh, dan sejenisnya (yang diimpor dari Kebudayaan Yunani), kalau
seandainya mengandung ajaran yang benar. Sebagaimana istilah-istilah
keilmuan lainnya (ushul fiqih, geomatrik, fisika dll) atau digunaklan
untuk mendebat musuh-musuh Islam. Akan tetapi mereka membenci penggunaan
istilah-istilah tersebut karena mengandung ajaran-ajaran yang batil
dan bertentangan dengan kebenaran. Dan juga bertentangan dengan kontek-
kontek Al-Quran dan As-Sunnah.
Oleh karenanya, orang-orang yang sering
menggunakan istilah-istilah tersebut tidak akan pernah merasakan
keyakinan dan mendapatkan pengetahuan sebagaimana yang dirasakan dan
didapatkan orang- orang awam. Apalagi yang dirasakan dan didapatkan para
ulamanya.
Dan juga, karena muqoddimah istilah-istilah
tersebut mengandung kebenaran dan kebatilan, banyak mengundang
perdebatan dan perselesihan, yang mengakibatkan tersebarnya ‘qiila wa
qola’ (perkataan yang tidak jelas), serta akan menimbulkan
pernyataan-pernyataan yang jelas-jelas menyellisihi kebenaran syara’
dan akal yang sehat.”
(Ibnu Abdil Izz, Syarh Aqidah Thohawiyah I/20 Cet.ke 11, Yayasan Ar Risalah. Lihat juga I/242 dan I/261 )
Demikianlah, jawaban yang sangat tegas,
lugas dan jelas serta ilmiah, yang telah dinyatakan oleh para ulama kita
dalam memecahkan problematika pemikiran umat Islam. Hendaknya setiap
dari kita bisa mengambil pelajaran darinya. Akan tetapi, jika diantara
kita ada yang ingin tetap menggunakan istilah tersebut(seperti
menggunakan istilah DPR/MPR sebagai pengganti dari istilah Ahlul Halli
wal Aqdi) karena alasan-alasan tertentu, Islam masih bisa memakluminya.
Dengan catatan, isi dan ketentuannya harus sesuai dengan syari’at Islam,
sebagaimana isi dan ketentuan yang terdapat di dalam Ahlul halli wal
Aqdi.
Akan tetapi sangat disayangkan, kenyataan
yang bisa kita lihat saat ini, bahwa sistem parlemen tersebut—termasuk
didalamnya DPR/MPR yang diterapkan hampir diseluruh dunia
sekarang—sangat bertentangan dengan ajaran Islam. (Lihat perbedaan
antara Ahlul Halli Wal Aqdi dan DPR/MPR).Yang paling menyolok dan jelas
adalah “Pengukuhan hukum Jahiliyyah/Thoghut, dan terang-terangan menolak
hukum Islam.”
Pernyataan ini (terlepas dari pro dan
kontra di seputar boleh dan tidaknya berdakwah lewat parlemen), tentunya
bagi seorang muslim yang baik, akan MEYAKINI PENUH BAHWA ISLAM ADALAH
AJARAN KAMIL MUTAKAMIL. Islam merupakan way of life yang mempunyai
sistem dan bentuk sendiri yang berbeda dengan sistem manapun yang
berkembang di dunia ini. Kenapa kita harus menengok ke ‘Barat’? Bukankah
apa yang ada dalam ajaran Islam lebih indah, lebih baik, lebih
menyentuh dan lebih mendekati fitrah manusia? Bukankah kita telah
menyaksikan keberhasilan umat ini dalam memimpin dunia, ‘sebuah
prestasi’ yang belum dan tidak akan bisa diraih oleh umat manapun juga.
Sebagai orang yang berpikir jernih,
tentunya dia akan memilih dan mengikuti jejak para pendahulu yang telah
berhasil, dan akan membuang jauh-jauh sistem-sistem yang baru
bermunculan kemarin sore dan telah terbukti kegagalannya berkali-kali
untuk memimpin umat manusia.
MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI) DAN POLITIK
Ada sebuah pertanyaan yang cukup
menggelitik, apakah MUI yang ada dinegara kita tersebut bisa
diidentikkan dengan Ahlul Halli wal Aqdi? sejauh mana keterlibatan
lembaga tersebut dengan kegiatan perpolitikan dinegara Indonesia?
MUI—menurut hemat penulis—adalah sebuah
lembaga yang beranggotakan sebagian alim ulama Indonesia, yang secara
sengaja dipilih oleh pemerintah. Disamping untuk mengurusi bidang-bidang
keagamaan—tentunya yang tidak terjangkau kementerian agama—dan
mengeluarkan fatwa-fatwa berkenaan dengan nawazil kejadian dan peristiwa
yang menimpa umat Islam Indonesia, juga dimaksudkan untuk memperkuat
pemerintahan yang ada.
Dalam perjalanannya selama ini, sangat
jarang kita dapati keputusan-keputusan MUI yang berseberangan dengan
kebijaksanaan pemerintah. Bahkan banyak polemik yang muncul antara para
ulama Indonesia berkenaan dengan keputusan dan
kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah ORDE BARU yang kadang-kadang
merugikan umat Islam. Seperti diberlakukannya undang-undang ormas dengan
asas tunggalnya Pancasila, kemudian masalah Porkas dan SDSB, KB, susu
Dancow (labelisasi halal), lokalisasi WTS, hingga hukum menghadiri
perayaan Natal, MUI selalu berada disamping pemerintah. Padahal fungsi
sebenarnya dari eksistensi ulama dalam lembaga pemerintahan tersebut
adalah untuk amar ma’ruf nahi mungkar, meluruskan kebijaksanaan
pemerintah yang dianggap menyelewe ng dari ajaran Islam.
Dari fakta ini saja, terlihat betapa
jauhnya perbedaan antara Ahlul Halli Wal Aqdi dengan MUI dalam tugas dan
fungsinya. Disamping itu, MUI tidak mempunyai wewe nang sedikitpun
untuk mengganti para pejabat negara. Bahkan sebaliknya, pemerintah
dengan leluasa melakukan mutasi dalam tubuh MUI, jika tidak mendukung
kebijaksa naan pemerintah.
Ini adalah gambaran umum tentang MUI yang
terlihat selama ini.( masa Orde Baru ) . Tentunya di sana ada hal-hal
positif yang dapat kita ambil dari keberadaan MUI di negara yang
mayoritas penduduknya beragama Islam ini. Hanya saja dampaknya belum
bisa dirasakan umat Islam selama ini. Oleh karenanya, perubahan sikap
sangat diperlukan, khususnya setelah adanya perubahan politik
akhir-akhir ini.
Ulama dalam terminologi Al-Quran dan
As-Sunnah adalah pewaris para nabi, yang menyampaikan pesan-pesan langit
kepada manusia, mengarahkan mereka kepada jalan yang lurus, mengajak
kepada yang ma’ruf, melarang dari kemunkaran. Mereka tidak takut kepada
siapapun kecuali kepada Allah, sebagaimana firman-Nya :
Dalam ayat lain, Allah telah menegaskan,
bahwa orang yang tidak takut kepada Allah bukanlah ulama, walau bergelar
Kyai, firman Allah :
Takut kepada Allah akan menumbuhkan sikap
berani menentang yang batil, tegas dalam pendirian, tidak takut terhadap
cercaan orang-orang yang suka mencerca. Dalam masa reformasi ini, MUI
akan kembali diuji kualitasnya sebagai lembaga alim ulama. Bisakah ia
membawa umat Islam ke yang lebih baik atau malah hanya akan bergelmang
dalam perebutan dunia..?! Kita tunggu bersama….
sumber : ahmadzain.com
0 komentar:
Posting Komentar