Ya Allah, malna gherak ya Allah… Ya Allah, ajjil nashrak ya Allah..Ya Allah, tak ada lagi yang kami miliki selain Engkau. Ya Allah, turunkan segera pertolongan-Mu
arrisalah13.blogspot.com - Tiba di Suriah menjalankan misi kemanusiaan, telinga saya akrab dengan syair Arab tersebut. Semula saya kurang tertarik, karena orang-orang Suriah melantunkan syair tersebut di sela-sela pembicaraan mereka dengan logat amiyah(bahasa sehari-hari Suriah). Namun seiring dengan keakraban terhadap suasana, saya mulai “menikmati” bait-bait yang dirangkai menjadi nasyid tersebut.
Di tengah hujan ratusan kilogram TNT dalam birmil yang dijatuhkan dari udara setiap hari, saya merasa berada di titik nadir harapan. Semburat sinar sang surya, bagi kebanyakan orang menandakan secercah harapan. Tapi tidak bagi kami, relawan kemanusiaan dan penduduk di Jabal Akrad, Latakia, Suriah. Cerahnya cuaca berarti mendung kekhawatiran yang menggelayuti perasaan. Sebab, sebentar lagi pasti jet-jet tempur dan helikopter Bashar Ashad bakal meraung-raung di atas kami, seolah memanggil nama-nama yang harus berpindah ke alam fana, hari itu.
Itu baru birmil. Belum mortar yang siap terlontar dari perbukitan yang mengepung Rumah Sakit Lapangan tempat kami berada. Atau pasukan Bashar Asad yang hanya berjarak 2 km dari tempat kami berada, yang sewaktu-waktu bila garis demarkasi bobol, cerita pancung, gorok dan cincang yang kami dengar sebelumnya mungkin bakal kami alami—na’udzubillah min dzalik. Atau tentang makanan pokok, pakaian, dan listrik yang harus pandai-pandai berhemat untuk bisa survival di tempat terkepung ini.
Itu baru saya, yang hanya merasakan kehidupan beberapa hari di Suriah, dan di wilayah pinggiran bernama Latakia. Sama sekali tidak mewakili, apalagi layak dibandingkan dengan, kritisnya keadaan sesungguhnya di lapangan. Ini bukan Aleppo, Homs, Dar’aa atau Damaskus, tempat-tempat “favorit” terjadinya pembantaian yang dilakukan tentara pemerintah Bashar Asad. Tapi sekelumit kehidupan yang saya alami tersebut membuat saya semakin bisa memahami bait-bait syair di atas. Bait-bait tentang kesendirian.
Dibantai oleh rezim penguasa sendiri, oleh sebab keinginan untuk bisa hidup lebih baik ketimbang sebelumnya. Penguasa, alih-alih yang seharusnya menjadi pengayom dan pelindung, sejak hari itu menahbiskan jatidirinya sebagai monster kemanusiaan. Tak ada istilah wanita atau laki-laki; dewasa atau anak-anak. Semua dibabat habis.
Kesendirian itu semakin terasa perih oleh mereka tatkala dunia diam. Baiklah, kalau PBB, NATO atau aliansi internasional lain yang sama sekali tak ada sentimen keagamaan. Tapi mereka menyesalkan diamnya dunia Arab atas hari demi hari yang mereka lalu bersama darah yang menggenang dan daging yang tersayat. Kepiluan itulah yang membuat mereka nekat mengunjukkan rasa. Khadzalanal Arab wal Muslimun (Arab dan kaum Muslimin cuek terhadap nasib kami).
Bahkan seorang wanita menelepon sebuah tayangan TV langsung di Saudi, “Demi Allah, kami akan tuntut di hadapan Allah kelak atas sikap diam kalian selama ini.”
Arab pun kemudian bersuara. Sayang, itu suara itu tak tulus. Tak berselang lama setelah kedatangan Menlu AS Hillary Clinton pertengahan 2012 lalu, Arab Saudi diikuti negara-negara lain mulai lantang menantang Bashar Asad. Kemudian, sikap itu ditindaklanjuti dengan melakukan latihan militer bersama yang dipimpin oleh AS, dengan sandi Al-Asad Al-Mutaahhib, menyongsong kejatuhan Asad. Bukan untuk menghasung rakyat memasung Bashar. Tetapi sebuah upaya besar, bagaimana agar bila Asad benar-benar ambruk, tongkat estafet Suriah selanjutnya tidak berada di tangan Mujahidin.
Dunia Arab lagi-lagi membuktikan diri sebagai tangan panjang kepentingan Amerika. Ideologi rapuh oleh sikap menghambakan diri di hadapan Amerika dan sekutunya. Lain halnya dengan Iran yang bersebrangan dengan Barat dalam kasus Suriah. Kesamaan ideologi membuat Teheran habis-habisan mensupport Bashar Asad yang seorang Alawiyyin—sebutan penjajah Perancis untuk kelompok yang menuhankan Ali bin Abi Thalib. Meski keyakinan Nushairiyah yang dianut Bashar dicap ekstrem oleh ulama Syiah, namun setidaknya kedua idelogi itu berdampingan menghadapi kelompok Ahlussunnah wal Jamaah.
Kelompok Syiah memang habis-habisan menyokong Bashar Asad. Bila di sayap kanan Syiah Iran dan Iraq merangsek masuk Suriah, maka di sayap kiri ada Hizbullah Lebanon yang siap menekan dari sayap kiri. Dari hari ke hari, kehadiran pasukan asing dari Iran, Iraq dan Hizbullah Lebanon makin terbukti. Selain beberapa prajurit hingga perwira mereka yang ditemukan tewas di medan Suriah, selama bertugas saya mendapatkan cerita dari seorang mantan tentara Bashar Asad yang membelot ke kelompok perlawanan.
“Orang-orang Iran banyak memainkan peran penting. Biasanya menjadi pilot tempur kalau tidak operator rudal,” tutur pemuda 20-an tahun yang baru beberapa minggu kabur dari kamp tentara Bashar Asad.
Itulah kecamuk kepentingan dalam konflik Suriah, yang saya sempat saya potret di sana. Sementara, di tanah air potret serupa pun sangat terasa. Sebagian orang di Indonesia menganggap konflik Suriah made byAmerika dan Israel untuk mendongkel Bashar Asad yang sekutu Iran.
Kampanye seperti ini lebih mudah diterima oleh kaum Muslimin di Indonesia yang memang sudah jengah dengan polah anak dan induk semang itu. Ditambah lagi dengan memasang Iran sebagai satu-satunya kekuatan kongkrit yang menantang Amerika. Pelan dan tanpa disadari, kaum Muslimin di Indonesia sedang dikelabuhi. Menayangkan kebejatan AS—yang memang bejat—namun pada saat bersamaan menyembunyikan taring rezim Bashar Asad yang belepotan daging dan darah rakyat Suriah.
Lucunya, di Surakarta ketika ribuan kaum Muslimin hendak turun ke jalan menggalang solidaritas untuk rakyat Suriah, sesaat sebelum demo berlangsung turun instruksi dari MUI setempat. “Boleh demo, tapi jangan mencela Bashar Asad!”
Ibarat memunculkan Al-Wala’ tanpa boleh mengumumkan Al-Barra’, seperti memisahkan antara La Ilahadengan illal-Lah. Bak mengelu-elukan datangnya orde Reformasi tanpa boleh mencaci maki rezim Orde Baru Soeharto. Usut punya usut, ternyata jaring-jaring Syiah di Solo (hari ini masih underground atau taqiyah) ditengarai berusaha membuat aksi solidaritas itu gembos. Laskar mereka yang biasa gigih turun membela isu-isu seperti Gaza, tak nampak dalam aksi itu. Apakah Suriah juga menjadi pisau pembelah yang membedakan mana Sunni mana Syiah?
Kembali ke soal kesendirian yang dialami rakyat Suriah. Akhirnya terjawablah gelitik saya terhadap Amjad, staf Rumah Sakit Lapangan yang selalu mengantar kami “baksos” ke desa-desa di pinggir Latakia.
Saat mengenalkan kami kepada para penduduk, ia selalu berkata : “Di saat seluruh bangsa baik Timur dan Barat meninggalkan kita. Hari ini sekelompok kaum Muslimin datang dari Indonesia. Mereka harus menempuh perjalanan udara 15 jam untuk sampai ke hadapan kita, dan menyampaikan pesan bahwa kita masih mempunyai saudara, kaum Muslimin, yang tidak pernah melupakan kita.”
Terharu, air mata saya pun menetes, meski saat itu belum memahami makna “kesendirian” yang dialami orang-orang di sini.
Oleh : Abu Yahya Al-Maqdisi – Jurnalis An-Najah Media Group, editor in Chief Penerbit Jazera, pernah bertugas dalam misi kemanusiaan HASI di Suriah.
sumber ; Bumisyam
0 komentar:
Posting Komentar