arrisalah13.blogspot.com - Perbatasan antara Suriah dan Libanon begitu sesak pada Selasa kemarin, sebenarnya hal itu telah terjadi selama berbulan-bulan.  Namun, ada yang luar biasa di tengah gerombolan orang-orang yang dikontrol paspornya oleh petugas Libanon, mereka sepertinya tidak sering bepergian bahkan setelah perang memasuki tahun ketiga.

Berpenampilan menarik, dengan memiliki hak untuk didahulukan, bagi mereka penyeberangan itu jauh lebih sederhana dibanding orang banyak yang telah mengantri di belakangnya.
“Beberapa dari mereka menggunakan jalur militer,” ujar seorang penjaga perbatasan Libanon mengacu pada rute cepat “tidak ada pertanyaan”, rute terbuka VIP dari kedua sisi dan “Hizbullah” seperti ditulis Guardian.
Rumor serangan udara segera yang akan diluncurkan oleh Inggris, AS, Perancis dan bahkan Turki, bergema di seluruh ibukota Suriah, Damaskus.  Mereka yang melintasi perbatasan merasa bahwa saat ini “musuh” rezim Suriah tidak sedang menggertak.
Di antara mereka yang berangkat ke perbatasan Libanon salah satunya adalah Salah Abur Rahman, seorang pengusaha dari Damaskus yang akhir-akhir ini tidak terlalu sering melakukan perdagangan dan takut gemuruh serangan.
“Keluarga saya telah berada di Libanon untuk waktu yang lama, tapi saatnya bagi saya untuk pergi saat ini,” ujarnya.  “Apapun yang akan datang akan melakukan banyak kerusakan, dengan satu cara atau cara lain.”
Masnaa merupakan persimpangan utama yang tetap terbuka sejak perang Suriah dimulai pada tahun 2011 dan telah menjadi salah satu pojok yang masih tersisa bagi penduduk Damaskus yang ingin mencari perlindungan di Libanon.
Sebagian besar kelas menengah ibukota Suriah secara bertahap telah meninggalkan negara.  Tapi kini para elit yang terlihat di perbatasan itu.  Beberpaa pengusaha terkenal telah melintasi perbatasan dan mengatakan mereka berencana untuk keluar, menghindar dari serangan udara di pegunungan Libanon.
Pria lainnya, yang memiliki bisnis jasa keuangan dan telah bekerja sama dengan sepupu presiden rezim kafir Suriah, Rami Makhlouf, mengatakan ia telah menyerah untuk bertahan di Damaskus dan kini ia akan tinggal di luar negeri sampai perang selesai.
“Mereka akan membom lapangan udara dan gedung-gedung pemerintah,” ujarnya.  “MEreka bisa membom apa yang mereka inginkan.  Tidak banyak yang tersisa dari negara ini dan itulah faktanya.”
Kerabat lingkar dalam militer Suriah mengabarkan bahwa elit militer memfokuskan diri dari upaya untuk menghadapi serangan udara.
“Paman saya adalah seorang perwira senior,” ujar Abur Rahman.  “Dia salah satu pembuat keputusan dan minggu ini satu-satunya keputusan yang dia buat adalah tempat untuk berlindung dari pesawat Amerika.”
Di tempat lain di ibukota, ada sedikit keraguan bahwa fase baru perang sudah dekat.  Mennurut orang-orang yang dihubungi Guardian melalui Skype, mereka menimbun makanan apa pun yang dapat mereka temukan, mempersiapkan lilin dan air, mereka takut serangan udara bisa bergulir selama berminggu-minggu.
Assad Ali (24), seorang pekerja komputer mengatakan serangan udara sangat diharapkannya dan disambut oleh beberapa kalangan.  Menurutnya, itu yang diperlukan untuk mengakhiri perang saat ini.
Dia mengklaim :  “Kami berharap segera.  Kami akan senang jika AS dan Inggris menyerang Suriah.  Saya yakin AS dan Inggris akan menyerang seluruh pertahanan rezim serta beberapa posisi FSA.  Saya pikir setiap serangan yang dilancarkan oleh AS dan Inggris adalah untuk kepentingan rakyat Suriah.  Rezim baru Suriah yang akan datang tidak akan lebih buruk dari yang kita alami sekarang.”
“Semua orang yang mendukung rezim mengatakan bahwa mereka akan mengorbankan diri untuk Suriah dan Assad, tetapi mereka semua akan lari pada peluru pertama.  Kami berharap tentara melarikan diri dengan roket pertama AS yang mendarat di tanah Suriah.”
“Kami dapat merasakan bahwa tentara berada dalam keadaan siaga tinggi dan ketakutan.  Kami tidak akan menyimpan senjata di rumah kami.  Selama tim inspeksi PBB masih di Suriah, serangan itu tidak akan terjadi.  Itu hanya akan terjadi jika mereka telah pergi,” ujarnya.
Ziyad, seorang pria berusia 50-an, mengatakan kepada Reuters :  “Ketakutan terbesar adalah bahwa mereka akan membuat kesalahan yang sama dengan yang mereka buat di Libya dan Irak.  Mereka akan menghantam sasaran sipil dan kemudian mereka akan menangis dan mengklaim kesalahan, tapi kami akan terbunuh dalam jumlah ribuan.”