arrisalah13.blogspot.com — Editorial Akhir-akhir ini, berita jihad Suriah memasuki fase baru. Setelah fase pertama, air mata penderitaan, berlanjut dengan fase kebangkitan jihad. Kini berlanjut dengan sebuah fase yang membingungkan sekaligus memprihatinkan, yaitu fase fitnah.
Konflik dan perselisihan antarmujahidin menjadi headline. Saling bantah di antara tokoh kelompok jihad seru terjadi, ditingkahi komentar para pengamat dan penonton yang kerap memperkeruh suasana.
Di antara isu yang menjadi buah bibir hari ini adalah pro-kontra masalah ISIS dengan beberapa kelompok jihad lainnya. Soal ini dibicarakan dari kalangan ulama hingga ibu rumah tangga.
Atmosfer media Islam dan jihad pun diwarnai saling bantah, kritik, kecam dan tuduh. Yang lucu, hampir semuanya mengambil sikap berpihak pada salah satu. Entah fanatik pro-ISIS atau sebaliknya, mati-matian menuduh ISIS sebagai duri dalam daging mujahidin Suriah.
Fenomena seperti ini sebenarnya bukan barang baru. Situasi yang mirip pernah dihadapi mujahidin di Afghanistan setelah futuh. Barangkali bedanya, saat itu mujahidin sudah bisa mengalahkan Rusia dan komunis. Ditambah waktu itu internet belum muncul sebagai media komunikasi instan yang mempercepat berkembangnya berita dan isu. Baik berita positif maupun fitnah yang negatif.
Pada saat itu, terjadi pertempuran berebut kekuasaan antara faksi-faksi mujahidin Afghan. Situasi “perang fitnah” ini membuat harakah-harakah jihad yang mengirim kombatannya ke Afghan menarik anggotanya kembali. Termasuk Al-Qaidah yang para pemimpin dan kadernya, termasuk Syaikh Usamah bin Ladin sendiri, kembali ke negerinya masing-masing.
Selama ini kerap dikisahkan bahwa para mujahidin itu mencari medan jihad baru setelah Afghan futuh. Hal itu benar, namun alasan utama lainnya adalah menghindari terlibat dalam perang fitnah.
Langkah yang sama pun diambil oleh mujahidin asal Nusantara di Afghan. Kamp mereka ditutup dan mereka pindah ke bumi jihad yang lain.
Syaikh Usamah dan Al-Qaidah baru kembali lagi ke Afghan setelah muncul kelompok pemenang di Afghan, yaitu Taliban. Meskipun ada juga faktor lain, yaitu beliau diusir dari Sudan.
Fenomena ini menarik, “menahan diri dari terlibat dalam perang fitnah dan mendukung kelompok pemenang.” Suatu sikap yang pernah ditempuh oleh sahabat Abdullah bin Umar bin Khaththab radhiyallahu’anhuma. Sikap Ibnu Umar ini seolah terlupakan dalam memandang fitnah di antara sesama Muslim yang saat ini terjadi di Suriah.
Ketika dua kubu kaum Muslimin yang seaqidah, semanhaj dan sama-sama lurus bertarung, maka sikap terbaik yang diambil adalah diam dan menunggu hasil peperangan.
“Nahnu ma’al ghalib,” kata Ibnu Umar radhiyallahu’anhuma ketika ditanya sikapnya soal peperangan antara Ali dan Mu’awiyah dalam Perang Shiffin.
Sikap ini terkesan pragmatis dan tidak tegas. Tapi di dalamnya terkandung hikmah besar, yaitu tidak terjerumus dalam fitnah dan siap melanjutkan perjuangan bersama siapapun yang muncul sbg pemenang.
Sikap ini tidak menafikan upaya ishlah dan mendamaikan mereka yang bertikai. Tetapi realita perang yang kompleks kadang sulit dipahami oleh orang awam yang menjadi penonton, bahkan ulama yang menjadi pengamat.
Sikap ini terutama paling tepat bagi penonton dan pengamat yang tak punya kekuatan dan kemampuan untuk menghentikan konflik. Daripada memperkeruh suasana dengan komentar yang keliru, lebih baik menghindari fitnah dan sabar menunggu dinamika peperangan.
Setiap orang perlu bersikap sesuai kemampuannya. Jangan berlagak seperti suporter bola yang lebih pandai daripada pemain di lapangan. Jangan pula sok tahu dengan sedikit ilmu, karena berilmu belum tentu Allah beri kepahaman.
Maka, bagi mereka yang cuma penonton dan pengamat, bukan ulama ataupun amir harakah jihad dengan kekuatan riil untuk menghentikan konflik, lebih baik bersikap seperti Ibnu Umar. Diam dan menjaga diri dari jebakan fitnah, apalagi menjadi bensin yang semakin memperbesar apinya, dan sabarlah menunggu. Allah akan pilih mujahidin yang terbaik sebagai pemenang. Lalu bersiaplah membantu mereka melanjutkan jihad penuh berkah di negeri Syam. Wallahu a’lam.
sumber : kiblat.net
0 komentar:
Posting Komentar