Senin, 10 Maret 2014

NU Tersihir Faham Pluralisme dan Multikulturalismenya Gus Dur


By on 22.48


NU Tersihir Faham Pluralisme dan Multikulturalismenya Gus Dur
Ilustrasi

Pengantar : 
  1. Baru saja ada tokoh Muhammadiyah (Malik Fajar) yang pernah jadi rector perguruan swasta ormas itu bahkan jadi menteri agama lalu menteri pendidikan masa lalu, dia berbicara di televise swasta bahwa Multikulturalisme bisa membangun kecerdasan. Ungkapannya itu jelas tidak benar, karena multikulturalisme itu menganggap semua kultur sejajar, paralel, tidak boleh ada kultur yang mengaku hanya kulturnya sendiri yang benar, sedang Islam dimasukkan sebagai sub kultur. Sehingga ketika Islam berdasarkan QS 2: 19 dan QS 2: 85 menyatakan selain Islam itu agamanya tertolak dan di akherat termasuk orang-orang yang rugi; maka menurut multikulturalisme adalah sumber konflik alias musuh bersama. Multikulturalisme itu adalah puncak dari kemusyrikan baru yang diberi nama pluralisme agama, karena menganggap semua agama sama menuju kepada keselamatan, hanya beda teknis. Jadi multikulturalisme itu kemusyrikan baru (pluralism agama) plus menjadikan Islam sebagai musuh bersama. Maka Umat Islam hendaknya waspada terhadap aneka hembusan faham liberal yang merusak Islam dan telah diharamkan MUI tahun 2005.
  2. Situs resmi NU memberitakan,
Alhamdulillah, kisah serial Gus Dur wali yang selama ini dipublikasikan di NU Online telah diterbitkan, sehingga bisa dibaca lebih enak dan nyaman, untuk dijadikan koleksi atau untuk hadiah. Sebanyak 99 kisah pilihan Gus Dur wali plus humor Gus Dur ini diterbitkan oleh Renebook Jakarta. (Jakarta, NU Online, Jumat, 27/12/2013 19:58)
Diterbitkannya buku Gus Dur Wali yang berasal dari situs resmi NU itu membuktikan benarnya tulisan Hartono Ahmad Jaiz yang termuat di buku  Mengungkap Kebatilan Kyai Liberal Cs, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta).
Inilah tulisan yang berjudul NU Tersihir Faham Pluralisme dan Multikulturalismenya Gus Dur. Selamat menyimak dengan baik. (Redaksi nahimunkar.com).
 ***
Meninggalnya Gus Dur bukan hanya disusul dengan munculnya fitnah di antaranya orang-orang cari berkah ke kuburannya, mengada-adakan aneka bid’ah, do’a lintas agama dan sebagainya yang semuanya tidak sesuai dengan Islam; namun memunculkan pula gelar bapak pluralisme dan multi kulturalisme. Tidak tanggung-tanggung, gelar itu dari Presiden SBY (Soesilo Bambang Yudhoyono) walau sampai menjelang meninggalnya, Gus Dur sikapnya sangat keras terhadap Presiden itu.
Sebagaimana diberitakan Okezone (Senin, 19 Mei 2008 – 17:24 wib), Gus Dur pernah mengatakan: “Saya sudah tidak mengakui SBY sebagai Presiden. Semakin banyaknya masalah yang melanda negeri ini adalah bukti ketidakberesan pemerintah dalam memimpin negeri ini.”
Pernyataan tersebut dilontarkan Gus Dur dalam sambutan di acara Munas Alim Ulama, yang berlangsung di Hotel Kartika Chandra, Jalan Gatot Subroto, Jakarta, Senin, 19 Mei 2008. (http://news.okezone.com/read/2008/05/19/1/110686/gus-dur-sudah-tak-akui-sby-sebagai-presiden)
Bahkan menjelang ajalnya Gus Dur sempat memberikan wasiat kepada 30 tokoh dalam pertemuan tanggal 4 Desember 2009 di kediaman Soetardjo Soeryoguritno (mantan Ketua MPR) di Jalan Denpasar, Kuningan, Jakarta. Isi pesannya: turunkan SBY dan gantikan dengan pemerintahan baru. Wasiat itu disampaikan oleh Sri Bintang Pamungkas dan Ridwan Saidi pada sebuah diskusi yang berlangsung di markas Benteng Demokrasi Rakyat (Bendera), jalan Diponegoro 58 (eks kantor PDI), Menteng, Jakarta Pusat, pada hari Ahad tangal 3 januari 2010. (nahimunkar.com, January 7, 2010 2:18 am)
Gelar bapak pluralisme dan multikulturalisme itu walaupun yang mengucapkan presiden namun istilah itu sendiri mengandung makna menyamakan semua agama. Bahkan multikulturalisme itu sendiri lebih dahsyat lagi, semua kultur di dunia ini berkedudukan sama, tidak boleh ada kultur yang dipandang paling benar. Sedangkan Islam hanya dipandang sebagai bagian dari kultur, maka ketika Islam menyatakan hanya Islam lah yang benar, maka dianggap sebagai sumber konflik. Jadi bagaimanapun, istilah pluralisme, walaupun tidak disebut pluralisme agama, ketika disandingkan dengan multikulturalisme maka sudah jelas maknanya, yakni faham yang telah diharamkan oleh MUI (Majelis Ulama Indonesia) tahun 2005, dan Ummat Islam dilarang mengikutinya.
Lebih jelasnya, faham multikulturalisme Gus Dur itu seperti apa, inilah tulisan seorang ketua PBNU:
Gagasan Gus Dur tentang multikulturalisme adalah keinginannya agar kemajemukan yang terdapat dalam berbagai kelompok sosial dipahami sebagai khazanah kekayaan bangsa. Setiap pribadi berhak melakukan pilihan terhadap agama dan tradisi budayanya oleh karena itu baik negara maupun masyarakat harus menghargai serta menghormatinya.
Lebih dari itu, negara hendaklah memberikan pelayanan yang sama terhadap semua warga negaranya tanpa kecuali. Demikian juga tradisi budaya yang ada dalam setiap kelompok sosial hendaklah dipahami sebagai nilai-nilai kehidupan dunia (world life). Negara memiliki jarak yang sama terhadap setiap warganya.
Oleh karena itu multikulturalisme dalam pandangan Gus Dur adalah bahwa keragaman bukan saja diakui akan tetapi harus diberikan kebebasan karena dengan keragaman maka akan saling melengkapi satu dengan yang lain. Sekarang, keragaman identitas menjadi persoalan yang serius dalam perjalanan bangsa Indonesia.
M RIDWAN LUBIS, Dosem UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ketua PB NUMultikulturalisme , waspada.co.id, Wednesday, 06 January 2010 06:02   )
Mari kita simak gagasan Gus Dur tentang multikulturalisme:
Setiap pribadi berhak melakukan pilihan terhadap agama dan tradisi budayanya oleh karena itu baik negara maupun masyarakat harus menghargai serta menghormatinya.
Ungkapan itu menunjukkan, semuanya serba boleh, asal itu namanya agama dan tradisi budaya, maka Negara maupun masyarakat harus menghargai serta menghormatinya. Ini jelas ajaran syetan melek-melekan. Kalau zina sudah diaku oleh orang sebagai tradisi budayanya maka Negara maupun masyarakat harus menghargai serta menghormatinya. Ini tidak lain hanya akan menjerumuskan manusia ke jurang hawa nafsu yang sangat dalam dan menjadi rekanan syetan serta musuh Allah Ta’ala. Karena di Indonesia ini betapa banyaknya tradisi budaya yang sangat bertentangan dengan Islam, dengan aneka kemusyrikannya, dosa yang tidak diampuni Allah Ta’ala, bila pelakunya sampai meninggal tidak bertaubat. Misalnya ruwatan (acara kemusyrikan untuk membuang sial agar tidak dimangsa Betoro Kolo), larung laut yakni melarung sesaji ke laut, mengadakan upacara sesaji ke gunung, menyembelih tumbal (untuk syetan) ke sungai, pohon, tempat-tempat tertentu dan sebagainya. Itu semua disebut tradisi budaya. Ketika Negara dan masyarakat harus menghargai serta menghormati, berarti Ummat Islam dilarang amar ma’ruf nahi munkar. Karena ketika mencegahnya berarti melawan multikulturalisme yang dikembangkan jenate (mendiang) Mbah Gus Dur.
Kalau seorang dosen di perguruan tinggi Islam terkemuka di Indonesia, dan sekaligus ketua satu organisasi namanya saja organisasi pakai ulama tetapi menjunjung dan menyebarkan faham busuk orang yang berfikiran kotor (karena melawan Islam) seperti itu, maka hancurlah orang-orang yang disesatkannya!
 Astaghfirullahal ‘Adhiem.
Adanya gelar bapak pluralisme dan multikulturalisme untuk Gus Dur itu satu sisi tampaknya dibanggakan oleh orang yang mengekspose faham multikulturalismenya Gus Dur barusan, (sampai-sampai dia menulis opini diawali dengan kalimat: Wafatnya Abdurrahman “Gus Dur” Wahid beberapa hari yang lalu menyadarkan kita kembali betapa bermaknanya sosok beliau) tetapi bagi sebagian yang lainnya, gelar tersebut tampaknya menimbulkan semacam rasa risih. Maka muncullah pernyataan Hasyim Muzadi ketua umum PBNU secara miring-miring bahwa konsep pluralisme di NU bukan pluralisme teologis “tahu campur” namun pluralisme sosiologis.
Muncul pula pernyataan seorang Kiyai dari Jember Jawa Timur bahwa Gus Dur tidak pernah terdengar pernyataannya bahwa dia menyamakan semua agama.
Pernyataan petinggi NU dan Kiyai NU itu tampaknya membela NU dan sekaligus membela Gus Dur. Namun justru memperlihatkan, ketika mereka membela Gus Dur seperti itu, maka sejatinya NU secara disadari atau tidak adalah sudah berfaham Gusdurisme, yakni menyamakan semua agama, pluralisme agama dan multikulturalisme.
Di samping itu, sekalipun Hasyim Muzadi menegas-negaskan bahwa konsep pluralisme di NU adalah pluralisme sosiologis, bukan teologis, namun tidak ada bukti yang nyata. Cara bersikap NU dalam berhubungan dengan golongan lain secara sosiologis, ternyata sering-sering NU lebih dekat dengan orang-orang kafir daripada orang Muslim yang menegakkan Sunnah dan memberantas bid’ah. Dari lembaga resmi di bawah NU seringkali disaksikan oleh masyarakat bahwa mereka rajin menjaga gereja-gereja di hari-hari raya orang kafir, sementara wala’ (kecintaan) terhadap sesama Muslim apalagi yang menegakkan Sunnah dan memberantas bid’ah maka jauh dari tuntutan Islam. Lantas, pluralisme sosiologis NU itu apakah artinya asyiddaa’u ‘ala ba’dhil mu’minin wa ruhamaau bainahum wa bainahum? Bersikap keras terhadap sebagian orang mu’min (terutama yang menegakkan Sunnah bahkan mau menerapkan syari’ah) dan berkasih sayang antara mereka dan mereka (di luar Islam)?
Lisaanul hal afshohu min lisaanil maqol, kenyataan yang ada lebih jelas daripada perkataan yang diucapkan. Padahal tuntunan dalam Al-Qur’an menyebutkan:

مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ

Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka (QS Al-Fath/ 48: 29)
Dari bukti itu, pluralisme sosiologis ala NU pun tetap condong kepada pihak gereja daripada kepada mu’minin yang menegakkan Sunnah memberantas bid’ah. Sehingga, pada hakekatnya justru Hasyim Muzadi menambahi penjelasan kepada masyarakat, sebenarnya NU itu pluralismenya seperti apa, di samping pluralisme yang sudah dipelopori oleh Gus Dur, yang bukti-buktinya akan kita baca berikut ini.
Mari kita simak bukti-bukti bahwa Gus Dur memang benar-benar pluralis dalam arti sebagaimana istilah itu sendiri yang bermakna menyamakan semua agama, hanya beda teknis; apalagi ketika disandingkan dengan istilah multikulturalisme.
Untuk lebih runtutnya, kami harap pembaca bersabar sejenak, kami kutip berita-berita masalah itu sebagai berikut:
 .
Kamis, 31 Desember 2009 | 14:41 WIB

Presiden : Gus Dur Bapak Pluralisme Indonesia

Jombang, Warta Kota
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan almarhum KH Abdurrahman Wahid adalah tokoh nasional yang sejak awal mengedepankan pluralisme dan kemajemukan di Indonesia sehingga patut disebut sebagai Bapak Pluralisme Indonesia.
Hal itu disampaikan Presiden saat memberikan sambutan usai pemakaman mantan Presiden RI ke-4 itu di Kompleks Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur, Kamis (31/12) siang.
“Sebagai pejuang reformasi almarhum selalu ingat akan gagasan universal bahwa kita menghargai kemajemukan melalui ucapan, sikap dan perbuatan. Gus Dur menyadarkan sekaligus melembagakan penghormatan kita pada kemajemukan ide dan identitas, kemajemukan pada kepercayaan agama, etnik dan kedaerahan. Beliau adalah bapak multikulturalisme dan plurasme di Indonesia,” kata Presiden.
Lebih lanjut Kepala Negara mengatakan sejarah Indonesia mencatat, Gus Dur adalah tokoh yang memiliki jasa besar terhadap perkembangan dan kemajuan bangsa Indonesia dalam segi keagamaan, demokrasi dan anti diskriminasi.
“Pada 1998, beliau bersama pemimpin dan ulama NU mendirikan PKB, sebuah partai yang hingga hari ini memperjuangkan kemajuan bangsa atas dasar Islam dan kebangsaan. Beliau juga pemikir Islam yang sangat dihormati di Indonesia dan dunia. Beliau juga dikenal tokoh yang berpengaruh di kalangan Nahdiyin dan kalangan masyarakat Indonesia,” tegasnya.
Ia menambahkan, saat menjabat sebagai presiden, Gus Dur menetapkan kebijakan yang mengurangi diskiminasi dan menegaskan bahwa negara memuliakan kemajemukan. Jasa beliau terhadap perkembangan masyarakat dan bangsa yang berlandaskan demokrasi sungguh sangat berarti pada negara Indonesia.
Meski demikian, kata Presiden, sebagai manusia biasa dan juga pemimpin, tentu pernah diliputi kesalahan dan kekurangan. Untuk itu, Kepala Negara meminta semua pihak dengan hati yang besar dan jernih untuk menghargai jasa-jasa Gus Dur.
“Dengan jujur dan hati yang bersih, kita akui begitu banyak jasa diberikan tapi kita sadari sebagai manusia biasa dan pemimpin tidak luput dari kekurangan dan kekhilafan, untuk itu mari kita sebagai bangsa yang berjiwa besar ucapkan terima kasih dan penghargaan atas darma bakti pada bangsa dan negara,” kata Presiden.
Upacara pemakaman mantan Presiden Abdurrahman Wahid berlangsung mulai pukul 13.10 hingga pukul 14.10 dipimpin langsung oleh Presiden Yudhoyono. Ikut hadir Ibu Ani Yudhoyono, Wapres Boediono dan Ibu Herawati, mantan Wapres Try Sutrisno beserta ibu Try Sutrisno serta sejumlah menteri kabinet Indonesia Bersatu dan para tokoh nasional lainnya.
Ribuan orang memadati areal pesantren itu dan berebut untuk mendekat dan melihat langsung prosesi pemakaman yang berlangsung dalam Upacara Kenegaraan. Suara tahlil dan isak tangis mewarnai proses pemakaman itu. (Ant/apr)
Penjelasan Hasyim Muzadi ketua umum PBNU, beritanya sebagai berikut:

Pluralisme dalam Konsep NU adalah Pluralisme Sosiologis

By Republika Newsroom
Senin, 04 Januari 2010 pukul 11:50:00
JAKARTA–Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Hasyim Muzadi menegaskan bahwa pluralisme yang diperjuangkan oleh Nahdlatul Ulama (NU) di Indonesia adalah pluralisme sosiologis bukan plurarisme teologis. ”Pluralisme teologis justru merugikan teologi semua agama. Tidak ada keimanan atau keyakinan “tahu campur” dalam agama,” tegas kiai Hasyim dalam pernyataannya yang diterima Republika di Jakarta, Senin (4/12).
Ini ditegaskan kiai Hasyim untuk meluruskan konsep pluralisme. Konsep pluralisme ini mengemuka menyusul meninggalnya KH Abdurrahman Wahid yang disebut oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai Bapak Pluralisme.
”Masalah teologi dan ritual (transenden) adalah hak original agama masing-masing yang tidak boleh dicampuri dari luar. Sehingga doa bersama lintas agama bukanlah tukar-menukar teologi atau keimanan, namun sekedar tempat dan waktu yang bersamaan,” tegasnya.
”Sedangkan pluralisme sosiologis merupakan kebersamaan ‘umat’ beragama dalam komunitas keduniaan atau immanentsebagai pengejawantahan Bhinneka Tunggal Ika atau unity and diversity karena setiap agama di luar teologi dan ritualnya pasti ada ruang humanisme dan di situlah umat lintas agama bertemu.
‘Keimanan ‘tahu campur’ pasti ditolak semua agama karena hal tersebut bagian dari sekularisasi dan liberalisasi agama. Yang kita perlukan adakah co eksistensi atau multi eksistensi, dimana eksistensi agama yang independen diakui dan setingkat dengan kooperasi atau toleransi,” tegas kiai Hasyim.
Menurutnya, hal yang ia sampaikan mengenai pluralisme itu telah disampaikan dan disepakati melalui utusan ICIS saat berada di Vatikan, Wina, WCC/Kristen di Porto Alegre Brazilia dalam Assembly ke-9 tahun 2006, dan dengan Katolik Ortodox di Moskow dan para biksu di Thailand.
”Sedangkan khusus persaudaraan umat Islam atau ukhuwah islamiyah NU menggalang pengertian bahwa mazhab dan golongan merupakan bagian dari Islam, bukan Islam yang merupakan bagian dari mazhab atau golongan. ”Maka NU menggunakan garis moderasi bukan ekstrimisasi atau liberalisasi,” papar kiai Hasyim. osa/taq
Reaksi juga datang dari daerah, di antaranya seorang Kiyai di Jember:
 .

Pernyataan Ketua PCNU Jember Gus Aab (KH. Abdullah Syamsul Arifin), yg mengatakan :

“Gelar Gus Dur sebagai Bapak pluralisme bukan berarti Gus Dur membenarkan semua agama. Agama yang benar tetap Islam,” ujar Gus a’ab ketika diwawancarai hidayatullah. Com Senin (4/1).

Membela yang Tidak Benar

Suara-suara itu akan kami buktikan, bahwa mereka membela yang tidak benar. Tentu saja, baik terasa ataupun malah sengaja, maka justru memperlihatkan belangnya. Karena sepak terjang dan omongan Gus Dur sudah banyak orang yang tahu, berseberangan dengan Islam itu sendiri. Bahkan sampai berani bilang, Al-Qur’an adalah Kitab Suci paling Porno (lihat buku Hartono Ahmad Jaiz, Al-Qur’an Dihina Gus Dur, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta).
 Untuk lebih jelasnya, mari kita buktikan.

Inilah pluralismenya Gus Dur
Inilah pluralismenya Gus Dur yang menyiarkan bahwa  taqwa itu tidak pandang agama, “Tidak peduli muslim atau bukan.” Pernyataan Gus Dur itu dia pidatokan, dan dimuat di situs lembaga dia, The Wahid Institute. Padahal taqwa itu menurut Umar bin Khathab adalah taqwa (menjaga diri) dari kemusyrikan.
Jadi otomatis orang musyrik sama sekali tidak bertaqwa. Tetapi menurut Gus Dur, tidak peduli muslim atau bukan. Betapa jauhnya antara pemahaman Gus Dur dengan pemahaman Umar bin Khatab.
Inilah teks berita pidato Gus Dur:
Selasa, 29 Januari 2008 05:01
Islam dan Umat Agama Lain

“Ketakwaan Bukan Monopoli Islam”

Presiden Republik Indonesia ke-4 KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menyatakan, ketakwaan bukanlah ukuran spesifik dalam Islam. Ketakwaan juga dimiliki orang nonmuslim, baik Yahudi, Nasrani maupun yang lain. Ini, katanya, berdasarkan firman Allah Swt: Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah Swt ialah orang yang paling bertakwa. (Qs. al- Hujurat: 13).
“Berdasarkan ayat ini, takwa itu bukan monopoli orang Islam saja.”
Demikian dikatakan mantan ketua PBNU itu saat menjadi narasumber pada Workshop Islam dan Pluralisme V bertema Islam dan Umat Agama Lain di Kantor The WAHID Institute Jl. Taman Amir Hamzah No. 8 Matraman Jakarta, Jum’at (18/01/2008) malam. Hadir juga sebagai narasumber Ketua PCNU Kota Bandung KH. Maftuh Kholil. Dan tampak Direktur the WAHID Institute Yenny Wahid. Sedang peserta forum tersebut adalah pendeta, calon pendeta dan aktivis sosial Kristen.
Takwa atau ketakwaan, kata Gus Dur, itu bermakna takut kepada Tuhan Yang Maha Esa. Orang yang betul-betul takut pada Tuhan, imbuhnya, dia telah bertakwa. “Tidak peduli muslim atau bukan,” ujarnya. “Tolong ini dipikirkan lebih jauh lagi. Saya nggak ada waktu lagi untuk semua ini,” imbuhnya disambut tawa.
http://www.wahidinstitute.org/Programs/Print_page?id=67/hl=id/Islam_Dan_Umat_Agama_Lain_Ketakwaan_Bukan_Monopoli_Islam
Komentar kami: Coba bandingkan dengan penjelasan ahli tafsir, bahwa taqwa itu dalam ayat

إن أكرمكم عند الله أتقاكم

Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah Swt ialah orang yang paling bertakwa. (Qs. al- Hujurat: 13). Artinya bahwa Allah Ta’ala lebih tahu kepadamu dengan tingkatan-tingkatanmu dalam iman.[1]
Sedangkan menurut Umar bin Khatab, orang yang paling taqwa (menjaga diri) adalah orang yang paling taqwa (menjaga diri) terhadap kesyirikan.[2]
Yang ulama tafsir merujuk kepada Sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan, taqwa itu menjaga diri dari kemusyrikan, sedang faham yang disebarkan Gus Dur, taqwa itu “Tidak peduli muslim atau bukan”.
Masa sih orang musyrik bertaqwa, wahai para pendukung Gus Dur?
Mari kita bandingkan, taqwa menurut Gus Dur dengan sifat orang yang bertaqwa menurut Al-Qur’an.
Takwa atau ketakwaan, kata Gus Dur, itu bermakna takut kepada Tuhan Yang Maha Esa. Orang yang betul-betul takut pada Tuhan, imbuhnya, dia telah bertakwa. “Tidak peduli muslim atau bukan,” ujarnya.
Pernyataan Gus Dur itu sangat melawan ayat al-Qur’an yang mensifati orang yang bertaqwa dalam awal-awal Surat Al-Baqarah:

الم (1) ذَلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ (2) الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ (3) وَالَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ وَبِالْآخِرَةِ هُمْ يُوقِنُونَ (4) أُولَئِكَ عَلَى هُدًى مِنْ رَبِّهِمْ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ (5) } [البقرة: 1 - 5]

Alif Laam Miim.
Kitab (Al Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa,
(yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka,
dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al Qur’an) yang telah diturunkan kepadamu dan Kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat.
Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhan mereka, dan merekalah orang-orang yang beruntung. (QS Al-Baqarah: 1-5).
Dalam Al-Qur’an dan Terjemahnya terbitan Departemen Agama RI ada penjelasan, di antaranya:
- Takwa yaitu memelihara diri dari siksaan Allah dengan mengikuti segala perintah-perintah-Nya; dan menjauhi segala larangan-larangan-Nya; tidak cukup diartikan dengan takut saja.
–  Iman ialah kepercayaan yang teguh yang disertai dengan ketundukan dan penyerahan jiwa. tanda-tanda adanya iman ialah mengerjakan apa yang dikehendaki oleh iman itu.
–  yang ghaib ialah yang tak dapat ditangkap oleh pancaindera. percaya kepada yang ghaib yaitu, mengi’tikadkan adanya sesuatu yang maujud yang tidak dapat ditangkap oleh pancaindera, karena ada dalil yang menunjukkan kepada adanya, seperti: adanya Allah, malaikat-malaikat, hari akhirat dan sebagainya.
–  Shalat menurut bahasa ‘Arab: doa. menurut istilah syara’ ialah ibadat yang sudah dikenal, yang dimulai dengan takbir dan disudahi dengan salam, yang dikerjakan untuk membuktikan pengabdian dan kerendahan diri kepada Allah. mendirikan shalat ialah menunaikannya dengan teratur, dengan melangkapi syarat-syarat, rukun-rukun dan adab-adabnya, baik yang lahir ataupun yang batin, seperti khusu’, memperhatikan apa yang dibaca dan sebagainya.
Mari kita tes: Apakah agama apa saja selain Islam ada yang berimannya sesuai dengan Al-Qur’an?
Apakah agama selain Islam keimanannya terhadap hal ghaib sesuai dengan suruhan Al-Qur’an.
Apakah agama selain Islam, shalatnya sesuai dengan yang dijelaskan Al-Qur’an dan As-Sunnah seperti yang didefinisikan tersebut di atas?
Apakah selain Islam ada yang beriman kepada Al-Qur’an?
Al-Qur’an pun menjawab:

فَإِنْ آَمَنُوا بِمِثْلِ مَا آَمَنْتُمْ بِهِ فَقَدِ اهْتَدَوْا وَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا هُمْ فِي شِقَاقٍ فَسَيَكْفِيكَهُمُ اللَّهُ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ (137)

Maka jika mereka beriman kepada apa yang kamu telah beriman kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk; dan jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan (dengan kamu). Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka. Dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS Al-Baqarah: 137)

وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا (115) إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا بَعِيدًا (116)

Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu’min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu (Allah biarkan mereka bergelimang dalam kesesatan) dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.
Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan Dia mengampuni dosa yang selain dari syirik itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya. (QS An-Nisaa’: 115, 116).
Jelaslah, pendapat Gus Dur tersebut sangat bertentangan dengan Al-Qur’an. Lantas, ketika sudah jelas bertentangan dengan Islam, bagaimana faham Gus Dur sebenarnya.
Inilah faham pluralismenya Gus Dur:
 .
Pluralismenya Gus Dur menurut orangnya Gus Dur.
Berikut ini  pemahaman pluralisme yang di antara tokohnya adalah Gus Dur, menurut Moqsith.
Moqsith sendiri yang dia itu orangnya Gus Dur, dalam arti orang yang duduk di lembaga The Wahid Institute yang didirikan Gus Dur, menulis tentang pluralisme, sebelum MUI berfatwa. Inilah pluralisme yang ditulis Moqsith, dan Gus Dur disebut sebagai salah satu tokohnya:
Yang dikembangkan dalam Islam Liberal adalah inklusivisme dan pluralisme. Inklusivisme itu menegaskan, kebenaran setiap agama harus terbuka. Perasaan soliter sebagai penghuni tunggal pulau kebenaran cukup dihindari oleh faksi inklusif ini. Menurutnya, tidak menutup kemungkinan ada kebenaran pada agama lain yang tidak kita anut, dan sebaliknya terdapat  kekeliruan pada agama yang kita anut. Tapi, paradigma ini tetap tidak kedap kritik. Oleh paradigma pluralis, ia dianggap membaca agama lain dengan kacamata agamanya sendiri.  Sedang paradigma plural (pluralisme) : Setiap agama adalah jalan keselamatan. Perbedaan agama satu dengan yang lain, hanyalah masalah teknis, tidak prinsipil. Pandangan Plural ini tidak hanya berhenti pada sikap terbuka, melainkan juga sikap paralelisme. Yaitu sikap yang memandang semua agama sebagai jalan-jalan yang sejajar. Dengan itu, klaim kristianitas bahwa ia adalah satu-satunya jalan (paradigma eksklusif) atau yang melengkapi jalan yang lain (paradigma inklusif) harus ditolak demi alasan-alasan teologis dan fenomenologis (Rahman: 1996). Dari Islam yang tercatat sebagai tokoh pluralis adalah Gus Dur, Fazlurrahman  Masdar F Mas’udi, dan Djohan Effendi. (Abdul Moqsith Ghazali, Mahasiswa Pascasarjana IAIN Jakarta, Media Indonesia, Jum’at 26 Mei 2000, hal 8).
Di situ Gus Dur sudah dimasukkan sebagai tokoh pluralisme dalam arti paradigma plural (pluralisme) : Setiap agama adalah jalan keselamatan.  Perbedaan agama satu dengan yang lain, hanyalah masalah teknis, tidak prinsipil.
Moqsith adalah orang di Wahid Institut yang didirikan oleh Gus Dur. Jadi, kalau Kyai Aab di Jember Jawa Timur tidak dengar tentang Gus Dur menyamakan semua agama, perlu didengar dari tulisan Moqsith itu. Dan Hasyim Muzadi ketua umum PBNU kalau berkilah-kilah, ya terserah saja. Itu belum lagi tentang Gus Dur bilang bahwa taqwa itu tidak peduli muslim atau non Muslim seperti tersebut di atas.
Di samping menganggap taqwa itu tak peduli muslim atau non muslim, masih pula Gus Dur mendirikan pesantren multi agama Soko Tunggal di Mijen, Semarang, Jawa Tengah.
Dia di antaranya menekankan: “   Jangan lagi membeda-bedakan agama…”
Inilah beritanya:

Ponpes Multiagama Soko Tunggal Meningkatkan Kerukunan Antaragama

PRASASTI SOKO TUNGGAL: Gus Dur dan tokoh-tokoh agama berfoto bersama di depan Prasasti Soko Tunggal yang telah mereka tandatangani. Penandatanganan itu menandai berdirinya pesantren multiagama di Kelurahan Purwosari, Mijen. (30j) – SM/Saptono JS
SEMARANG - Bertolak dari misi menjaga kesatuan bangsa dan kerukunan hidup antarumat beragama, Forum Keadilan dan Hak Asasi Umat Beragama (Forkhagama) mendirikan pesantren multiagama Bhinneka Tunggal Ika.
Bertempat di Pondok Pesantren Soko Tunggal Jl Sendangguwo Raya, Sabtu petang kemarin, pemancangan Prasasti Deklarasi Soko Tunggal ditandatangani Presiden RI ke-4 KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Tokoh-tokoh agama yang turut menandatangani prasasti berasal dari agama Islam, Hindu, Budha, Kristen, Katolik, dan Khonghucu.
Selain Gus Dur, hadir mantan Pangdam IV Diponegoro Jendral TNI Tyasno Sudharto yang mewakili umat Islam serta perwakilan dari China dan Korea.
Menurut Gus Dur, pesantren tersebut diharapkan bisa memberikan kebaikan bagi masa depan bangsa. “Yang terpenting, menjaga kerukunan antaragama itu tugas semua agama tanpa pandang bulu. Jangan lagi membeda-bedakan agama, ras maupun kesukuan agar negara bisa maju,” paparnya.
Gus Dur yang diangkat sebagai Bapak Tionghoa Indonesia itu berharap semua pihak bisa membantu menyukseskan pembangunan pesantren, agar tercipta kerukunan dan antarumat beragama tidak saling melakukan intervensi. (http://www.suaramerdeka.com/harian/ Senin, 19 Desember 2005).
Pemurtadan model baru dan bertentangan dengan Islam
Kehadiran Gus Dur dan disebut Presiden ke-4, itu bukan selaku presiden, karena dia sudah lama tidak jadi presiden sejak 2001, sedang dia bertandatangan mendirikan pesantren multi agama itu tahun 2005. Mungkin orang bisa berkilah bahwa dia itu dalam kapasitas pemimpin Negara, ternyata tidak, karena sudah lama Gus Dur dilengserkan oleh MPR melalui putusan politiknya ketika itu, melalui sidang tahunan MPR mengeluarkan keputusan politik, memberhentikan Gus Dur dari jabatan presiden. Di antaranya karena keterlibatannya di dalam kasus korupsi, penyalahgunaan wewenang seperti Brunei-gate dan Bulog-gate. Jadi kedatangan Gus Dur dan bertandatangan bersama tokoh-tokoh dari berbagai agama dan kepercayaan untuk pendirian pesantren multi agama itu tentunya untuk melaksanakan faham pluralismenya, yang sampai pada faham  bahwa:
Takwa atau ketakwaan, kata Gus Dur, itu bermakna takut kepada Tuhan Yang Maha Esa. Orang yang betul-betul takut pada Tuhan, imbuhnya, dia telah bertakwa. “Tidak peduli muslim atau bukan,” ujarnya.
Coba bandingkan perkataan Gus Dur itu dengan fatwa berikut ini:
 Dan firman Allah subhanahu wa ta’ala:

إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا أُولَئِكَ هُمْ شَرُّ الْبَرِيَّةِ (6)

“Sesungguhnya orang-orang kafir yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik (akan masuk) ke naar Jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk.” (Al-Bayyinah:6)
Dan yang tersebut dalam ayat-ayat lainnya. Dalam Shahih Muslim diriwayatkan bahwa rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

{ وَاَلَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لاَ يَسْمَعُ بِي أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ الأُمَّةِ يَهُودِيٌّ أَوْ نَصْرَانِيٌّ ثُمَّ يَمُوتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِاَلَّذِي أُرْسِلْت بِهِ إلاَّ كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ }

“Demi Dzat yang jiwaku berada di tanganNya, tidak ada seorangpun dari umat manusia yang mendengar kerasulanku, baik ia seorang Yahudi maupun Nasrani lalu mati dalam keadaan belum beriman kepada ajaran yang kubawa melainkan ia pasti termasuk penduduk Neraka.”  (HR Muslim).
Oleh karena itu pula barangsiapa tidak mengkafirkan Yahudi dan Nasrani maka dia kafir. Sebagai konsekuensi kaidah syariat:
“Barangsiapa tidak mengkafirkan orang kafir setelah ditegakkan hujjah (argumentasi) atasnya maka ia kafir”[3]
Sekali lagi, Di samping menganggap taqwa itu tak peduli muslim atau non muslim, masih pula Gus Dur mendirikan pesantren multi agama Soko Tunggal di Mijen, Semarang, Jawa Tengah.
Masih ragukah wahai para pendukung Gus Dur bahwa itu semua bertentangan dengan Islam bahkan pemurtadan model baru?
Masih ragukah bahwa sejatinya yang terjadi adalah pembusukan besar-besaran di NU bahkan di Ummat Islam dan di perguruan tinggi Islam se-Indonesia dengan adanya faham pluralisme agama yang diharamkan oleh MUI itu sekarang digembar-gemborkan dan disuntikkan kepada Ummat Islam lewat lembaga-lembaga pendidikan Islam negeri dan swasta, bahkan ormas-ormas Islam wabil khusus NU?
Departemen Agama, UIN, IAIN, STAIN, STAIS dan semacamnya serta NU dan lainnya sekarang sudah jadi ajang pembusukan Islam oleh mereka-mereka yang menjajakan pluralisme agama dan multikulturalisme secara sistematis dan dikomandoi oleh petinggi negeri ini. Sadarlah wahai saudara-saudaraku…
Maka tidak mengherankan, orang sudah mati pun kalau mereka menyebarkan kesesatan kepada Ummat Islam maka diberi hadiah secara resmi. Contohnya, baru-baru ini Harun Nasution yang ketika hidupnya menyebarkan faham sesatnya, tidak percaya bahwa taqdir itu termasuk dalam rukun Iman, dan Nurcholish Madjid yang menyebarkan faham sesatnya bahwa Iblis kelak masuk surga dan surganya tertinggi, maka mereka ini diberi hadiah oleh UIN Jakarta dan dihadiri serta disambut oleh Menteri Agama Surya Dharma Ali yang konon memang alumni UIN Jakarta. Ini sebagai bukti tambahan saja tentang pembusukan Islam di Indonesia secara sistematis dan bahkan dibiayai dengan duit dari Ummat Islam pula.
Ya Allah, saksikanlah, bahwa ini semua telah kami sampaikan… ya Allah… ampunilah hamba-Mu yang lemah ini, dan tunjukilah kami bahwa yang benar itu benar agar kami mampu mengikutinya, dan tunjukilah kami yang batil itu batil sehingga kami mampu menghindarinya. Amien ya Rabbal ‘alamien.
(Dari buku Hartono Ahmad Jaiz, Mengungkap Kebatilan Kyai Liberal Cs, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta).
(nahimunkar.com)

[1] Inilah teksnya;
تفسير أبي السعود – (ج 2 / ص 167)
إن أكرمكم عند الله أتقاكم والمعنى أنه تعالى اعلم منكم بمراتبكم في الإيمان الذى به تنتظم احوال العباد وعليه يدور فلك المصالح في المعاش والمعاد ولا تعلق له بخصوص الحرية والرق فرب امة يفوق إيمانها إيمان الحرائر
[2] Ini teksnya:
فتح القدير – (ج 7 / ص 23)
وأخرج ابن مردويه عن عمر بن الخطاب أن هذه الآية : { يأَيُّهَا الناس إِنَّا خلقناكم مّن ذَكَرٍ وأنثى } هي مكية ، وهي للعرب خاصة الموالي ، أي : قبيلة لهم ، وأي شعاب ، وقوله : { إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عَندَ الله أتقاكم } فقال : أتقاكم للشرك
[3] Fatwa Lajnah Daimah No : 19402 tertanggal 25/1/1418 H
وقال جل وعلا: سورة البينة الآية 6 إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا أُولَئِكَ هُمْ شَرُّ الْبَرِيَّةِ وقال تعالى: سورة الأنعام الآية 19 وَأُوحِيَ إِلَيَّ هَذَا الْقُرْآنُ لِأُنْذِرَكُمْ بِهِ وَمَنْ بَلَغَ وقال تعالى: سورة إبراهيم الآية 52 هَذَا بَلَاغٌ لِلنَّاسِ وَلِيُنْذَرُوا بِهِ الآية، وغيرها من الآيات. وثبت في صحيح مسلم أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: صحيح مسلم الإيمان (153),مسند أحمد بن حنبل (2/317). والذي نفسي بيده لا يسمع بي أحد من هذه الأمة: يهودي ولا نصراني، ثم يموت ولم يؤمن بالذي أرسلت به إلا كان من أهل النار . ولهذا فمن لم يكفر اليهود والنصارى فهو كافر، طردا لقاعدة الشريعة: (من لم يكفر الكافر بعد إقامة الحجة عليه فهو كافر).
sumber : nahimunkar.com

0 komentar:

Posting Komentar