Oleh : Abu Nisa (Pemerhati Kontra Intelijen)
Luar biasa opini tentang ISIS ini menyeruak ke permukaan. Memunculkan tanggapan statemen dari berbagai pihak. Mulai dari SBY, Panglima TNI, Kapolri, Kemenko Polhukam, Kemenkum HAM, Kemenkominfo, Kemenag, BNPT, Dirjen Pemasyarakatan, Deputi Bidang Kerjasama Internasional, Tokoh masyarakat, Akademisi, Pengamat, dan lain-lain. Hingga SBY mengadakan sidang kabinet dengan agenda secara khusus menyikapi masifnya dukungan atas ISIS di Indonesia. Dan sidang kabinet itu menghasilkan keputusan politik yang disampaikan melalui Menko Polhukam bahwa ideologi ISIS dinyatakan dilarang. Tidak bisa dipungkiri, opini tentang ISIS seolah mengalihkan sementara opini tentang kebiadaban Israel di Gaza Palestina dan laporan dugaan manipulasi data secara sistematis atas hasil pilpres oleh kubu Prabowo-Hatta.
Opini dukungan atas ISIS di Indonesia ini menyisakan pertanyaan besar antara lain :
Pertama, momentum besar yang memicu kriminalisasi terhadap mereka yang mendukung ISIS justru terjadi di dalam penjara. Adalah Ustadz Abu Bakar Ba'asyir sebagai icon teroris di Indonesia melakukan baiat atas ISIS di penjara pasir putih Nusakambangan. Belakangan tiba-tiba semuanya merasa kebakaran jenggot. Statement Amir Syamsuddin sebagai Menkum HAM untuk memecat kepala penjara. Termasuk pengakuan Dirjen Kemasyarakatan bahwa telah terjadi pembaiatan Ustadz ABB konon di bawah tekanan di dalam penjara adalah sesuatu yang naif. Kenapa peristiwa pembaiatan itu tetap berlangsung dan berjalan lancar. Dan seolah-olah peristiwa itu menjadi momentum legitimasi untuk membenarkan keberadaan dukungan atas ISIS berjalan masif di negeri ini. Termasuk juga peristiwa pembaiatan sejumlah aktivis islam dengan acara yang khas di sebuah hotel kawasan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta serta tempat yang lain seperti di Bima, Solo, Makassar. Serta beberapa rencana baiat di beberapa tempat yang lain di Malang dan Sidoarjo. Semuanya itu menunjukkan bahwa terlalu lugu untuk mengatakan bahwa tidak mungkin intelijen Indonesia tidak mengetahui peristiwa ini. Bahkan anehnya belakangan fenomena dukungan atas ISIS itu di blow up dengan skala besar oleh berbagai media seperti layaknya infotainment. Besok hari Rabu, 6 Agustus 2014 di Makassar tepatnya di Studio Mini Harian Fajar, Graha Pena Fajar lantai 4, dengan mendatangkan para pembicara antara lain : Ansyaad Mbai (Ketua BNPT), Prof Dr H Abd Rahim Yunus, MA, (MUI dan FKUB Sulsel), Prof Dr H M Arifin Hamid, SH, MH (FKPT BNPT Sulsel), dan Ir Moh Kemal Shodiq (Ketua DPD Hizbut Tahrir Indonesia Sulsel) dengan moderator Drs H Waspada Santing, M.Sos.I, M.HI dengan tema : "Double Warning Antisipasi ISIS", jam 13.00-15.00 WITA. Padahal deklarasi dukungannya telah dilakukan sejak tanggal 29 Juni atau sebulan yang lalu.
Kedua, jika benar yang disampaikan oleh Snowden seorang mantan pegawai di National Inteligent AS yang menyatakan bahwa AS dan Inggris ada di belakang ISIS. Maka hal ini membuktikan bahwa target opini internasional terhadap kemunculan ISIS adalah untuk menciptakan black campaign terhadap para mujahidin sekaligus terhadap syariat dan khilafah yang diperjuangkannya. Dengan kata lain, inilah strategi radikalisasi terhadap kelompok islam sekaligus deradikalisasi. Setelah diradikalisasi maka kemudian distigmatisasi. Sedangkan deradikalisasinya dalam bentuk upaya adu domba dan islamophobia yang berujung pada krisis keyakinan kaum muslimin terhadap ajarannya sendiri terutama tentang jihad. Dalam konteks Indonesia, maka pemerintah RI memanfaatkannya untuk kepentingan proyek war on terrorism melalui BNPT dengan landasan filosofis yang sama sebagaimana yang dianut barat. Di tengah oportunisme para pengambil kebijakan menjelang penetapan presiden wakil presiden beserta kabinet yang disusun pasca keputusan gugatan hasil pilpres ke MK oleh kubu Prabowo-Hatta.
Ketiga, atribut-atribut ISIS juga tidak luput dianggap sebagai barang bukti diantaranya bendera dengan kalimat Laa Ilaha Illallah Muhammad Rasullullah. Ada rencana untuk membreidel sekaligus melarang keberadaan bendera yang dianggap sebagai representasi ISIS. Seiring dengan ditetapkannya ISIS dan para pendukungnya sebagai teroris. Momentum ini sebenarnya sebagai titik tolak kriminalisasi terhadap simbol-simbol perjuangan pada kelompok-kelompok islam secara keseluruhan.
Ketiga, atribut-atribut ISIS juga tidak luput dianggap sebagai barang bukti diantaranya bendera dengan kalimat Laa Ilaha Illallah Muhammad Rasullullah. Ada rencana untuk membreidel sekaligus melarang keberadaan bendera yang dianggap sebagai representasi ISIS. Seiring dengan ditetapkannya ISIS dan para pendukungnya sebagai teroris. Momentum ini sebenarnya sebagai titik tolak kriminalisasi terhadap simbol-simbol perjuangan pada kelompok-kelompok islam secara keseluruhan.
Keempat, setelah gagal menjerat kelompok-kelompok islam yang dianggap radikal terutama yang menggunakan jalan jihad (baca kekerasan) melalui pintu legislasi secara langsung misalnya UU Ormas. Maka dukungan atas ISIS adalah momentum untuk menjerat, membubarkan, mengkriminalisasi sekaligus mem “black campaign” nya. JAT bersama Ust ABB menjadi pintu masuk untuk memangkas seluruh kelompok-kelompok islam yang memperjuangkan ide-ide islam kaffah. Baik yang menggunakan jalan perjuangan jihad maupun yang tidak.
Kelima, momentum dukungan atas ISIS menjadi peristiwa yang memperkuat legal aspect untuk apa yang dianggap sebagai tindak terorisme. Implementasi UU Kewarganegaraan No 12 tahun 2006 dan wacana amandemen/revisi terhadap UU Terorisme yang disampaikan oleh Deputi Kerjasama Internasional Harry Purwanto tidak saja mengandung substansi penindakan hukum atas aksi teror fisik namun juga pada aksi teror lisan. Dengan dalih agar mencakup secara menyeluruh mengenai aktivitas terorisme. Diantaranya tindakan menyebar kebencian (hate speech) termasuk mengikuti pelatihan militer di Indonesia maupun luar negeri. Atau menjadikan digital evidence sebagai barang bukti, karena selama ini dianggap baru menjadi petunjuk untuk pembuktian. Nampaknya UU Terorisme No 15/1973 dikehendaki bukan saja mampu menjerat tindakan teror fisik namun juga mampu menindak apa yang dianggap sebagai bentuk teror lisan. Kita membayangkan betapa banyak klaim penindakan hukum atas syiar Islam karena termasuk dalam kategori menyebar kebencian (hate speech) jika amandemen UU Terorisme ini berhasil dilakukan. Bahkan bisa juga dijerat dengan UU Intelijen dan UU Darurat berkaitan dengan ancaman terhadap keamanan nasional.
Beberapa pertanyaan besar seputar fenomena opini masif dukungan atas ISIS menyiratkan sebuah ganjalan pertanyaan lebih besar lagi ada apa sebenarnya di balik fenomena opini dukungan atas ISIS. Di tengah mulai tergambarnya adanya indikasi rekayasa permainan manipulasi suara pilpres secara sistemik. Di antara peperangan konflik kepentingan antar jendral dan antar elit dengan melibatkan tim rekayasa politik dan tim cyber. Disupport oleh para funding di belakangnya. Akhirnya fenomena opini dukungan atas ISIS ini apakah benar-benar murni sebagai peristiwa yang alamiah atau ada intrik politik di balik peristiwa itu. Mengingat betapa banyak rekayasa politik yang dilakukan oleh para penguasa negeri ini selama ini.
Wallahu a'lam bis showab
sumber : voaislam
0 komentar:
Posting Komentar