Selasa, 17 Februari 2015

Wejangan Abu Hafs Al-Maqdisi: Bekal Umat Meraih Kemenangan (1/2)


By on 19.50

Wejangan Abu Hafs Al-Maqdisi: Bekal Umat Meraih Kemenangan (1/2)Sumber gambar: blog.amin

arrisalah13.blogspot.com  - Runtuhnya Khilafah Utsmaniyah menjadi titik tonggak hilangnya supremasi Islam. Umat Islam sedunia memasuki babak baru tanpa adanya kepemimpinan yang sah menurut syariat. Tentu hal ini berimbas kepada kondisi umat Islam yang hidup tanpa pemimpin. Terombang-ambing dan ditindas dimanapun berada. Sebenarnya usaha-usaha telah banyak dilakukan untuk mengembalikan era kejayaan itu, tetapi tentu saja musuh-musuh Islam tidak akan pernah tinggal diam.
Mulai dari perang fisik, perang pemikiran dan teknologi pun dilakoni musuh-musuh Allah. Tak sedikit usaha-usaha mereka untuk meredam cahaya Islam. Ketika perang fisik tak mampu menanggulangi kekuatan Islam, justru hal ini membuat masyarakat Islam tersadar akan rencana jahat orang-orang kafir. Usaha lain pun digalakkan dengan merusak moral pemuda-pemudi Islam. Kita bisa lihat, bagaimana generasi muda Islam masih banyak yang lupa identitas murninya.

Rencana-rencana jahat ini telah disusun rapi dan indah. Sehingga, semuanya seolah telihat umum dan normal-normal saja. Cara pandang yang berbeda dalam hidup, tentu sangat berpengaruh dalam menanggapi sebuah norma dalam masyarakat. Penggunaan asas demokrasi dalam pemerintahan, jauhnya dari cara hidup Islami dalam bermasyarakat serta lainnya, ini menjadi hal yang biasa karena mindset masyarakat Islam sudah berubah. Mustahil pertolongan Allah akan menghampiri, jika pola pikir dan perbuatannya jauh dari nilai Islami.
Di sini Syaikh Al-Mujahid Ismail bin Abd Rahim Hamid atau sering Abu Hafs Al-Maqdisi memberikan wejangan bagi umat. Wejangan ini berkenaan dengan sifat-sifat yang kudu dimiliki,  agar mendapatkan pertolongan dari Allah. Di tengah kesibukannya sebagai Amir Jaisyul Ummah As-Salafi di Baitul Maqdis, beliau masih sempat menuliskan sebuah risalah yang sarat makna, berisi nasehat untuk umat Islam agar disegerakan Nashr/pertolongan dari Allah.
Ada beberapa hal yang harus dimiliki untuk menjemput pertolongan Allah, yaitu:
1. Keimanan
Hal pertama yang harus dimiliki umat adalah pemahaman iman yang benar. Iman adalah ibarat akar dari sebuah pohon yang menjulang tinggi. Hal pertama yang harus dipunyai dan diperbaiki adalah perkara iman. Bilamana perkara yang paling urgen ini cacat atau tidak sempurna, maka yang lain pun tiada guna.
Perjuangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam mengenalkan Islam kepada umatnya di Makkah, mengundang decak kagum banyak orang pada saat itu. Bangsa Arab dulu masih terbelakang dan tidak diperhitungkan. Ini lantaran bercokolnya dua imperium besar, Romawi dan Persia. Tapi, setelah iman dan Islam terpatri dalam hati, mereka pun menjadi bangsa yang disegani.
Di dalam Al-Qur’an, Allah telah memberikan janji-janji kepada orang-orang yang beriman. Kita yakin bahwa Allah adalah satu-satunya Dzat yang tidak pernah mengingkari janji-Nya. Diantara janji-janji Allah adalah:
  • Pertolongan Allah dari musuh-musuh orang beriman. (Ar-Ruum 47)
  • Perlindungan-Nya untuk orang-orang beriman. (Al-Hajj 38)
  • Perwalian-Nya kepada orang yang beriman. (Al-Baqarah 257)
  • Hidayah-Nya kepada orang-orang yang beriman. ( Al-Hajj 54)
  • Janji kemenangan akan selalu meliputi orang beriman. (An-Nuur 55)
  • Dan masih banyak lagi
Begitu besarnya janji Allah kepada orang beriman, jadi sudah sepantasnya syarat pertama yang harus dimiliki umat perindu kemenangan adalah iman yang sempurna kepada Allah. Iman yang sempurna adalah secara totalitas menghilangkan sekutu bagi Allah. Mempersembahkan hidupnya baik jiwa dan raganya hanya untuk Allah ta’ala semata.
2. As-Sam’u wa Tha’ah (Mendengarkan sekaligus Menaati)
Allah ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُوْلِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (An-Nisa’ : 59)
Ayat di atas secara gamblang telah menjelaskan bagaimana Allah memerintahkan untuk taat kepada Allah, Rasul-Nya dan ulil amri. Al-Hafizh Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan makna ayat di atas, bahwa Al-Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata tentang firman Allah: “Taatilah Allah dan taatilah Rasul(Nya) dan Ulil Amri diantara kamu”.
Ayat tersebut turun berkenaan dengan Abdullah bin Hudzafah bin Qais bin ‘Adi, ketika diutus oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam satu pasukan khusus. Inilah yang dikatakan oleh seluruh jamaah, kecuali Ibnu Majah.
Imam Ahmad meriwayatkan dari ‘Ali, ia berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus satu pasukan khusus dan mengangkat salah seorang Anshar menjadi komandan mereka. Tatkala mereka telah keluar, maka ia marah kepada mereka dalam suatu masalah, lalu ia berkata: “Bukankah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kalian untuk mentaatiku?” Mereka menjawab: “Betul”. Dia berkata lagi: “Kumpulkanlah untukku kayu bakar oleh kalian”. Kemudian ia meminta api, lalu ia membakarnya, dan ia berkata: “Aku berkeinginan keras agar kalian masuk ke dalamnya”. Maka seorang pemuda diantara mereka berkata: “Sebaiknya kalian lari menuju Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari api ini. Maka jangan terburu-buru (mengambil keputusan) sampai kalian bertemu dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika beliau perintahkan kalian untuk masuk ke dalamnya, maka masuklah”. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda kepada mereka: ‘Seandainya kalian masuk ke dalam api itu niscaya kalian tidak akan keluar lagi selama-lamanya. Ketaatan itu hanya pada yang ma’ruf’. (Dikeluarkan dalam kitab Ash-Shahihain dari hadits al-A’masy)
Syarat utama setelah iman kepada Allah adalah taat kepada pemimpin yang memerintah sesuai syariat. Juga, pemimpin yang menyuruh bukan dalam hal kemaksiatan kepada Allah. Jika ada pemimpin yang memerintahkan untuk berbuat maksiat, maka tidak boleh menaatinya. Pentingnya sifat As-Sam’u wa Tha’ah adalah, penyatuan energi kaum mukminin dalam satu barisan. Sehingga tidak terpecah belah yang justru melemahkan.
Ketika seluruh umat Islam bersatu dan melaksanakan perintah pemimpin dengan patuh, maka kekuatan Islam akan bersatu padu dan membuat orang kafir bergidik ketakutan. Namun, sebaliknya jika umat Islam tercerai berai dan tidak mengindahkan perintah pemimpinnya, maka tunggu saja saat kehancurannya.
Kita bisa mengambil contoh sikap taat dan patuh dari sahabat Khalid bin Walid pada saat perang Yarmuk. Beliau dengan ikhlas hati menerima keputusan dari Khalifah Umar soal pencopotonnya dari jabatan panglima tertinggi digantikan Abu Ubaidah bin Jarrah. Khalid bin Walid dengan tegas berkata, “Saya berperang bukan karena Umar, melainkan karena Allah semata.” Sikap ketaatan dan keikhlasan yang patut kita tiru.
3. Kemauan Kuat
Seseorang yang memiliki iman dan ketaatan luar biasa, tidak akan memperoleh hasil memuaskan tanpa keinginan membaja. Kita lihat bagaimana sahabat-sahabat Rasulullah yang selalu bersemangat untuk melaksanakan semua perintah beliau. Di samping mereka selalu taat kepada Nabi, para sahabat tidak pernah mengeluh sedikitpun dalam semua amalan yang mereka lakukan.
Keinginan kuat di dalam hati ini jika telah terpatri di jiwa, maka akan secara otomatis membentuk sikap kerja keras dan istiqamah. Keinginan kuat yang membaja akan membuat seseorang terdorong melakukan suatu pekerjaan dengan sepenuh hati. Pekerjaan yang dilakukan sepenuh hati akan membuahkan hasil yang memuaskan.
Jika di tengah perjalanan ada gangguan, rintangan dan cabaran, hal itu tidak akan menghempaskan semangat di dalam hatinya. Sebab, keinginan kuat yang bertransformasi menjadi kerja keras akan menghasilkan kontinuitas atau sering kita sebut dengan istiqamah.
Telah menjadi rahasia umum, kontinuitas atau istiqomah adalah perkara yang berat. Menjaga ritme suatu pekerjaan agar selalu stagnan dalam satu keadaan konstan bukanlah hal yang mudah. Akan bermunculan rasa bosan dalam rutinitas yang dikerjakan. Makna suatu pekerjaan pun akan hilang dan semangat akan pupus. Terlebih amal Islami yang jauh lebih berat ketimbang pekerjaan-pekerjaan duniawi. Tentu membutuhkan tenaga yang lebih ekstra.
Jadi, keinginan yang kuat di dalam hati perlu dibudidayakan mulai dari sekarang. Kecintaan terhadap amal Islami saja tidak cukup, jika tidak dibarengi keinginan yang kuat untuk mengapresiasikannya. Sebuah PR besar bagi kita semua jika terkadang semangat hilang dan futur melanda. Semangat harus selalu kita pupuk agar senantiasa istiqamah dan pantang menyerah muncul di dalam diri.
Musuh-musuh Allah telah mengerahkan semua yang mereka miliki untuk merusak Islam. Mereka berkeinginan kuat untuk mewujudkan semuanya ini. Tentu hal ini harus kita lawan dengan keinginan kuat untuk memperoleh kemenangan dan Allah akan menurunkan pertolongan-Nya karena keinginan kuat yang kita miliki. Karena kita adalah umat terbaik di bumi Allah ini.
كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللّه
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah.” (Ali-Imran : 110)

Penulis: Dhani el_Ashim
Disarikan dari Kitab “Ash Shifaatul Muhimmah Lijaili Nashril Ummah” karya Syaikh Al-Mujahid Ismail bin Abd Rahim Hamid, Amir Jaisyul Ummah As-Salafi di Baitul Maqdis
Sumber : kiblat.net

1 komentar: